Mohon tunggu...
ANDI FIRMANSYAH
ANDI FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Guru - Guru yang Belum Tentu Digugu dan Ditiru

Hanya Seorang Marhaen yang menyenangi bidang Geopolitik, Sejarah dan Ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perang Melawan Narkoba Harus Diakhiri

26 Januari 2024   19:39 Diperbarui: 26 Januari 2024   20:15 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apa persamaan Adolf Hitler, Sigmund Freud dan Drew Barrymore? Mereka semua menggunakan narkoba. Ketenaran, kekayaan dan kekuasaan sirna dalam kecanduan yang tak lekang oleh waktu. Gangguan penyalahgunaan narkoba merupakan penyakit yang tidak membeda-bedakan siapapun.

Hitler, pemimpin Partai Nazi dan kanselir Jerman dari tahun 1933 hingga 1945 adalah pengguna metamfetamin atau "sabu". Sebuah laporan di Daily Mail mengatakan, "Hitler menyalahgunakan sabu sebelum pertemuan tahun 1943 dengan Mussolini, di mana dia mengoceh selama dua jam."

Dr. Freud, yang dikenal sebagai bapak psikoanalisis, mulai menggunakan kokain pada saat tidak ada dokter yang mengetahui efek kecanduannya yang mengerikan. Freud dilaporkan menggunakan kokain untuk meredakan depresinya. Dia berhenti menggunakannya sekitar tahun 1890-an setelah dia hampir membunuh salah satu pasiennya sendiri saat berada di bawah pengaruh alkohol. Freud akhirnya menghasilkan beberapa karyanya yang paling terkenal setelah dia berhenti menggunakan kokain.

Drew Barrymore yang menjadi terkenal pada usia empat tahun dalam film E.T., bercerita tentang kecanduan narkoba masa kecilnya yaitu merokok ganja dan mengonsumsi kokain sejak usia 12 tahun. Barrymore mampu mencapai ketenangan hati dengan bantuan sistem pendukung yang kuat dan komitmen untuk kesembuhannya. Dia memuji keluarga, teman dan program rehabilitasi yang membantunya mengatasi kecanduannya.

Kisah-kisah kecanduan Freud dan Barrymore adalah contoh positif yang menunjukkan bahwa pengguna narkoba bisa berhasil menangkal kehancuran diri dengan membuang barang haram yang merusak hidup mereka.

Di banyak negara, termasuk Indonesia, banyak pengguna narkoba menghadapi stigma dan diskriminasi yang dapat membahayakan kesehatan fisik dan mental mereka serta menghalangi mereka mengakses bantuan yang mereka perlukan. "Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) mengakui pentingnya mengambil pendekatan yang berpusat pada masyarakat dalam kebijakan narkoba dengan fokus pada hak asasi manusia, kasih sayang dan praktik berbasis bukti."

Menurut Laporan Narkoba Dunia UNODC tahun 2022, sekitar 284 juta orang berusia 15-64 tahun menggunakan narkoba di seluruh dunia pada tahun 2020. Meningkat sebesar 26 persen dibandingkan dekade sebelumnya. Generasi muda kini menggunakan lebih banyak narkoba dengan tingkat penggunaan narkoba di banyak negara saat ini lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Secara global, laporan tersebut memperkirakan 11,2 juta orang di seluruh dunia menggunakan narkoba suntik. Sekitar separuh dari mereka hidup dengan hepatitis C, 1,4 juta hidup dengan HIV dan 1,2 juta hidup dengan keduanya.

Para ahli PBB menyerukan diakhirinya perang global melawan narkoba. 'Perang terhadap narkoba' dapat dipahami secara luas sebagai perang terhadap manusia. Dampaknya paling besar terhadap mereka yang hidup dalam kemiskinan dan sering kali terjadi bersamaan dengan diskriminasi yang ditujukan pada kelompok marginal, minoritas dan Masyarakat Adat," kata mereka.

Baca juga: Perang Kognitif

Mengutip perlunya perubahan transformatif dalam pendekatan internasional terhadap narkoba, para ahli PBB mendesak masyarakat internasional untuk mengganti hukuman dengan dukungan yang berfokus pada kesehatan dan mendorong kebijakan yang menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak setiap orang tanpa kecuali.

Perserikatan Bangsa-Bangsa dan komunitas internasional memiliki tanggung jawab historis untuk membalikkan kehancuran yang diakibatkan oleh "perang melawan narkoba" global selama beberapa dekade terhadap masyarakat yang terpinggirkan dan didiskriminasi, kata para pakar PBB, seraya menambahkan bahwa kampanye ini akan berhasil jika didukung oleh individu, komunitas dan berbagai organisasi di seluruh dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun