Sudah seminggu lebih Awang absen tanpa alasan. Meski surat peringatan sudah berkali-kali dilayangkan, Ibu Ana, guru wali kelas tetap tak memperoleh jawaban. Bebannya makin berat saja tiap hari. Sejak diberlakukannya Otonomi Daerah, daftar potongan gajinya makin transparan. Pemda tak sungkan memotong sekian persen demi biaya administrasi.
Ia lalu ingat mendiang ayahnya. Pensiunan kepala sekolah dasar di kota kecamatan yang selalu berkata bahwa menjadi guru itu harus ikhlas. Lantas ia teringat dengan Pak guru Muda yang tinggal di ujung kampong. Tiap pagi begitu setia menuntun sepeda bututnya memintas jalan tikus di hutan pinggir desa sekadar supaya jangan sampai terlambat ke sekolah.
Bu Ana makin bingung memaknai sebuah pengabdian. Dulu,kata ayahnya, orang rela berlapar-lapar tinggal dihutan bahkan berkorban nyawa sekalipun demi melepaskan diri dari penjajahan. Tetapi ketika pengabdian itu terus berlanjut di bawah pemimpin berdasi, pemahamannya tentang pengabdian menjadi amburadul. Ia begitu terenyuh melihat veteran perang berapi-api menceritakan penderitaan yang dialami pada tiap-tiap peringatan hari ulang tahun kemerdekaan. Mengenakan pakaian lusuh, kebanggaan terpancar jelas dari wajah-wajah keriput meski yang diterima hanya sebatas aplaus semata. Apakah hal itu juga disebabkan oleh pemahaman yang amburadul terhadap makna pengabdian seperti dirinya?
Awang benar-benar membebani pikirannya. Sebenarnya ia murid yang cerdas.Maklumlah, latar belakang pendidikan orang tuanya mendukung. Sayang, ia bandel dan sulit diatur. Sering Bu Ana dibuat pusing oleh tingkah laku nya yang kadang sulit di tebak. Misalnya, pada saat-saat jam pelajaran awal ia kelihatan begitu tekun, memperhatikan papan tulis dengan cermat. Namun sekejap kemudian ia sudah berubah. Ia mulai mengganggu teman-temannya lalu meningkat dengan menciptakan huru – hara di kelas. Ditangkapnya seekor cicak dan dilemparkannya kearah murid perempuan.
Jika sudah begitu , ia akan datangi bocah itu dan menatapnya tepat pada bola matanya. Biasanya bocah itu akan menunduk dan lalu terduduk tak berdaya. Bu Ana paham, ia membutuhkan seseorang. Pernah ia membicarakan hal ini dengan Guru Bimbingan Konseling tapi jawaban yang diperoleh tidak memuaskan. Katanya agar kita tidak terkecoh dengan trik-trik anak sekarang. Mereka biasa bermanja-manja. Biarkan mereka dibiarkan lengah dan tersiksa. Mengapa begitu? Karena banyak orang tua yang membiarkan anak-anak mendidik dirinya sendiri. Di benak mereka hanya ada Leonhart, The Rock, Rikishi dan berbagai tokoh game lain ketimbang dengan ibu – bapak mereka sendiri.
Bu Ana tak puas. Ini bukan solusi. Hanya mencari kambing hitam. Tapi persoalannya memang tidak segampang itu. Dunia bocah memang sudah berganti warna seiring dengan bergesernya peradaban. Boleh jadi dunia bocah memang sudah mengenal trik-tik karena sudah puluhan tahun masyarakat diajar mengenal trik-trik, tipu daya, bagaimana berbuat curang dan sebagainya.
Peringatan yang pernah disampaikan kepala sekolah memang benar-benar menjadi beban. Masyarakat hanya menuntut nama baik, tapi mereka enggan berperan serta meski hanya sebatas wali murid. Guru dan sekolah dianggap tukang sulap yang mampu mengubah sesuatu dalam sekejap.
Awang termasuk anak yang tidak istimewa. Sama sperti anak yang lain. Awang tumbuh normal. Yang membedakan ia dengan anak lain mungkin keberanian atau sikap tegas dan rasa toleran yang tinggi. Sesuatu hal yang istimewa untuk anak seusianya. Ia tidak segan meminjamkan pulpen jika ada yang memerlukan atau memberikan sebagian dari bekal yang dibawanya kepada teman-temannya kendati untuk dirinya hanya ada sedikit sisa.
Sisi lain, dunia mengajarkan kepadanya siapa member kuasa. Kerap ia menyuruh teman-temannya berjongkok sekedar membetulkan tali sepatu yang lepas atau memungut sesuatu yang sebelumnya dilempar dengan sengaja. Sebuah ego yang wajar yang dimiliki manusia.
Karena tak pernah hadir, akhirnya Bu Ana berkunjung ke rumahnya. Tapi kali ini Bu Ana menemui Awang yang berbeda dari biasanya. Awang yang santun. Awang yang menggetarkan perasaan perempuannya. Awang yang protes karena Koko tak dapat mengikuti ulangan karena belum membayar uang sekollah itulah yang menjadi persoalan mengapa dia tidak hadir ke sekolah. Bu Ana berusaha meyakinkan Awang bahwa protes yang di lakukannya tidak tepat.
Memang tak ada reaksi berarti. Dasr anak-anak. Menguntungkan atau tidak tampaknya tidak menjadi persoalan. Yang penting dirinya puasdengan apa yang dilakukannya selama ini. Persis seperti kelakuan para elit dimana-mana. Mereka puas setelah bisa menjatuhkan lawan-lawannya tanpa sekalipun memikirkan kepentingan yang lebih besar . hajat hidup orang banyak.
Beberapa hari setelah kunjungan itu, semua berjalan normal. Awang tampak tekun mengikuti pelajaran tanpa menimbulkan kekacauan yang berarti. Paling hanya melemparkan potongan-potongan kapur atau gumpalan – gumpalan kertas kea rah temannya. Bu Ana merasa lega. Untuk sementara, ia bisa melupakan ancaman administratif akibat kelalaiannya sebagai guru wali kelas.
Segala sesuatunya tidak berjalan lancer. Tiba-tiba ada surat panggilan dari Dinas Pendidikan Kabupaten. Kepala sekolah diharap hadir untuk sebuah klarifikasi menyangkut sebuah lukisan. Kepala sekolah lantas memanggil Bu Ana. Bergegas dia kekantor. Di ruang kerjanya Kasek menunggu dengan wajah cemberut.Ternyata ini ada kaitannya dengan Awang. Karena ulahnya, besok Kasek akan menghadap Bupati. Bu Ana ternganga heran. Tak mengerti arah pembicaraan Kasek. Akhirnya Kasek menuju rak cabinet dan membuka salah satu lacinya. Kasek memperlihatkan sebuah lukisan kepada Bu Ana.
Bu Ana memperhatikan lukisan itu dengan seksama. “Awang mengirimkan lukisan itu ke Media”kata Kasek. Bu Ana manggut-manggut. Dia masih belum menemukan kejanggalan atau kesalahan apapun dalam tulisan Awang. Menurutnya, lukisan itu bagus.
Awang dengan lincah mengoreskan cat minyak pada kanvas. Melukiskan untaian kepulauan Indonesia lengkap dengan kekayaan laut, bumi dan isinya. Tapi tiba-tiba ia menemukan keanehan yang membuatnya tersenyum sendiri. Namun, karena ia tak ingin menyinggung perasaan Kasek, ia tahan senyum itu sesaat. Awang memang keterlaluan. Di bawah judul tulisannya ia gambar bendera Malaysia, Negara asal ibunya, persis di tengah – tengah kata Indonesia.
“Ini jelas-jelas penghinaan terhadap pelajaran Geografi, Sejarah, PPkn dan juga Negara. “Kata Kasek. Akhirnya ketiga guru mata pelajaran yang mengampu masing – masing pelajaran itu di panggil kekantor. Dengan tergopoh-gopoh, ketiga guru tersebut menghadap Kasek. “Siapa yang mengajarkan bendera Malaysia boleh digambar diatas lukisan peta Indonesia?”. Masing-masing guru saling pandang.
“Bukannya Bapak yang selalu menandatangani RPP kami? Jadi otomatis Bapak tau dong siapa yang mengajarkan itu.” Guru PPKn memberanikan diri. “Saya tidak mau tahu. Masing-masing bapak dan ibu guru harus bertanggung jawab atas tindakan murid kita yang memalukan ini.”Ujar Kepsek.
Ketiga guru bidang studi tadi tidak menjawab. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri sembari mengamati gambar Awang dengan seksama. Hampir secara bersamaan mereka menerawang keatas dan merenungi gambar yang tiba-tiba menyadarkan mereka.
Jauh dalam hati mereka pun mungkin mengakui, sama seperti Awang, bahwa tanah air kita tercinta ini lambat laun akan di caplok dengan Negara tetangganya yang bernama Malaysia. Dimulai dari Sipadan dan Ligitan. Berikutnya entah pulau mana lagi yang mendapat giliran….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H