Ini cerita sukses seorang gubernur. Bukan di Indonesia tapi di Prefektur Oita, salah satu provinsi di Jepang. Ceritanya dimulai pada tahun 1979, ketika Morihiko Hiramatsu menjabat sebagai gubernur di Provinsi itu. Dia mengawalinya dengan berkeliling daerah. Dia mendengar banyak keluhan dan permintaan. Rupanya sang Gubernur tanggap dengan permintaan masyarakat. Dia menyadari bahwa Oita bukanlah daerah yang relative maju. Masyarakatnya juga unik. Iota memiliki beragam klan di zaman feodal yang menyisakan beragam kekayaan cultural juga benih perpecahan. Keadaan topografinya juga tak menguntungkan. Kebanyakan berupa hutan, lembah dan sungai, sedikit tanah yang subur. Penduduknya menu Dgidap penyakit Nrimo alias tak mau banyak menuntut.
Melihat realita demikian, sang gubernur menelurkan kebijakan baru yaitu Gerakan Satu Desa Satu Karya. Dia mengingkari kebijakan pendahulunya dengan konsep tekhnoPolis Plan yang berbasis industry besar dan tekhnologi yang datang dari luar Oita. Inti dari gerakan Satu Desa Satu Karya adalah upaya memotivasi smangat dan energy masyarakat local.
Sang Gubernur segera mencanangkan kampanye bagi gerakannya. Tema-tema kampanyenya selalu berkutat pada “ Ciptaan Kampung Halaman Sendiri”, yang di lakukan lewat acara-acara televise. Setiap Kabupaten diminta untuk memperlihatkan upaya pembangunan di daerahnya masing-masing. Misalnya daerah Oyama menampilkan proyek penanaman buah Ume. Daerah Hita menampilkan proyek pembuatan keramik.
Yang menarik dari konsep ini adalah prinsip-prinsip yang melandasinya. Oleh sang gubernur , agar berhasil membangun daerah dipilihlah hal yang berbau local. Inipun tujuannya agar dapat berdampak secara global. Orang bilang produk yang berbau local mempunyai specialty atau kekhususan jadi jelas punya nilai lebih di pasaran global.
Prinsip kedua adalah kemandirian dan kreativitas. Hiramatsu percaya bahwa gerakan besar bisa macet bila inisiatif datang orang lain bukan masyarakat. Subsidi dan bantuan baginya adalah racun masyarakat. Yang perlu diberikan adalah prasarana. Maka dia bangun pusat-pusat penelitian dan panduan tekhnis. Prinsip ketiga adalah pengembangan Sumber Daya Manusia. Dia membangun sekolah dengan Kearifan Lokal.
Kini siapa di dunia ini yang tak kenal Jamur Shitake, rempah Wasabi dan Shashimi yang khas Jepang itu. Tiap komunitas punya karya dan kebanggaannya sendiri. Bisakah prinsip Gubernur Morihiko itu diterapkan disini? Mungkin ini bisa mengatasi kantong-kantong desa miskin di sebagian besar daerah di Indonesia..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H