Menurut Roland Barthes dalam
salah satu esai pendeknya yang berjudul Toys, mainan anak-anak adalah cerminan
dunia orang dewasa. Anak-anak diperlakukan bak layaknya seorang dewasa Cuma
ukurannya yang diperkecil. Wajar apabila setiap permainan anak-anak
diperuntukkan bagi mengkondisikan anak-anak untuk menerima masa depannya yaitu
dunia orang dewasa yang telah disiapkan buatnya. Lihatlah benda-benda mainan
seperti miniature kereta api, mobil, tentara, senjata, boneka, pokoknya
semuanya mewakili impian-impian dunia orang dewasa.
Anak-anak akhirnya hanya mampu
mengiddentifikasi dirinya sebagai pemakai bukan pencipta. Mereka tidak pernah
sempat menemukan dunianya sendiri. Lebih-lebih lagi mainan anak-anak umumnya
terbuat dari bahan imitasi bukan dari bahan alamiah. Mainan tersebut tak lagi
punya ketakjuban, mengandung nilai petualangan dan mengasyikkan. Anak-anak akan
menjadi “anak rumahan”.
Coba bandingkan dengan mainan
‘anak kampong”. Di pinggir kali mereka punya pasir dan tanah liat untuk membuat
patung sesuak hati mereka. Pesawat televisi mungkin belum banyak di desa. Tapi
tak mengapa. Anak kampong biasanya paling kreatif dengan membuat tokohnya dari
kertas. Kemudian dengan meminjam kain putih sebagai layar, sang sutradara
memainkan tokoh-tokohnya. Mereka juga suka main perang-perang. Cuma bedanya,
mereka menggunakan senapan-senapan dari ranting kering atau pelepah pisang.
Sebagai seragam tentara cukup daun pisang karena bentuknya seragam.
Daftar ini bisa sangat panjang.
Tapi buka itu intinya. Ketika membuat patung atau tokoh dari kertas, mereka
barangkali sekedar melakukan peniruan. Tapi mereka mempunyai kebebasan untuk
melakukannya. Bukan saja figure yang mereka bentuk. Tapi juga watak dan lakon.
Membaca Toys dan melihat dunia
anak kampong tersebut membuat kita dapat membandingkan. Ternyata banyak hal
yang sangat menakjubkan yang dapat dibuat anak-anak tersebut. Bagaimana mereka
menciptakan karakter tokoh-tokoh. Bagaimana merreka berkarya dengan patung
tanah liat. Tapi sayangnya kreatifitas seperti itu sekarang sudah lama hilang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H