Mohon tunggu...
Andi Febriansyah
Andi Febriansyah Mohon Tunggu... Guru - guru/pendidik

pendidik lepas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pebandingan Anak Muda Indonesia dengan Gibran dan Kaesang

26 September 2024   07:12 Diperbarui: 26 September 2024   07:12 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tokoh Publik (Gibran dan Kaesang): Sebagai tokoh publik, Gibran dan Kaesang memiliki akses lebih mudah ke peluang bisnis, koneksi, dan proyek-proyek yang dapat memajukan karir mereka. Mereka sering kali dapat memanfaatkan jaringan dan dukungan yang luas dari lingkungan mereka.

Perbedaan ini menyoroti ketidaksetaraan yang ada dalam masyarakat dan pentingnya kesadaran akan realitas beragam yang dihadapi anak muda. Meskipun beberapa anak muda mungkin dapat menikmati keberuntungan dan privilege tertentu, banyak lainnya menghadapi tantangan yang perlu diatasi melalui dukungan masyarakat dan kebijakan yang lebih inklusif.

Keistimewaan Anak Penguasa (Presiden)

Akhir akhir ini sering sekali muncul kata Anak Muda di situasi setelah Pemilu 2024 di Indonesia, kata Anak Muda atau pemuda  muncul ketika kebangkitan nasional 1908 dan Sumpah Pemuda 1928. Namun kata Anak muda  hilang dari esensinya sejak kemunculan seorang anak penguasa (Presiden) yaitu Gibran yang melangkahi Mahkamah Kontitusi disodorkan menjadi calon wakil presiden, serta adiknya Kaesang yang baru 2 hari masuk salah satu partai langsung menjadi Ketua Umum, sangat Bim salabim abrakadabra.  Anak muda saat ini harusnya malu dan tak sudi jika di sematkan kata Anak muda pada Gibran dan Kesang karena anak muda tidak harus berlindung di bawah kekuasaan orang tuanya yang memiliki kuasa. Berhenti merepresentasikan Gibran sebagai perwakilan anak muda Indonesia, Anak muda sering merintis jalan menuju kemandirian. Ini mencakup pengambilan keputusan sendiri, bertanggung jawab atas diri sendiri, dan mengatasi tantangan kehidupan yang lebih besar. bukan sewenang wenang demi memuluskan bisnis dan kekuasaan Keluarganya. 1945 bulan Agustus Soekarno dan Hatta sempat diculik dengan kaum muda Syahrir, Sukarni, Aidit dkk ke Rengas dengklok karena terlalu lambat dalam memplokramirkan kemerdekaan Indonesia pada saat yang sama Jepang telah hancur sedangkan Gibran dan Kaesang wajah anak muda yang berwatak  kolonial meneruskan budaya nepotisme dan feodalisme yang diwariskan orang tuanya, yang lebih parahnya lagi dia bersandingkan dengan seorang jendral tua dengan sejumlah kasus didalamnya beserta kroni-kroninya. Menjadi Anak Muda di Indonesia harus memili jiwa yang tangguh dan berani bukan sering sekali memanfaatkan privilege  dari orang tuanya, kalau Anak Presiden saja melakukan tindakan seperti ini bagaimana anak anak Pejabat dibawahnya.

 Gibran adalah momok dari orangtua yang sayang pada anaknya dan ingin menjadikan anak yang berbakti bukan pada Negara melainkan pada Bapaknya demu memuluskan kebijakan yang dijalankan, Kaesang pun sama bukan representasi dari anak muda melaikan hanya pewaris orang tuanya dan berambisi berkuasa dengan Partai yang menjuluki sebagai partai anak muda melainkan Partai Sayang Anaknya Presiden. Berhenti jual kata Anak Muda, Karena tidak pernah sepatutnya melanggar segala bentuk tindakan yang amoral untuk mendapatkan sesuatu, Anak muda tidak minim pengetahuan, apalagi mudah di setir oleh orangtua dengan niat jahat. Mengajak untuk melihat dan menghargai setiap perjuangan anak muda, tanpa terpengaruh oleh citra publik tertentu, merupakan panggilan untuk memahami keragaman dan kompleksitas kehidupan anak muda. Terlalu sering, citra publik seperti Gibran dan Kesang menyoroti hanya segelintir anak muda yang berhasil secara ekonomi atau dikenal secara luas, sementara realitas mayoritas anak muda sering kali terlupakan. Berikut adalah beberapa argumen yang mendukung panggilan ini bahwa setiap anak muda memiliki perjalanan hidup yang berbeda. Beberapa mungkin menghadapi tantangan ekonomi, sementara yang lain berjuang dengan identitas atau masalah kesehatan mental. Memahami keragaman ini membantu kita untuk tidak menggeneralisasi atau membuat asumsi tentang perjuangan mereka. Anak muda mungkin memiliki perjuangan yang tidak terlihat di permukaan, dan penghargaan terhadap keberanian mereka untuk mengatasi berbagai rintangan sangat penting. Terkadang, citra publik dapat menciptakan stigma dan stereotip terhadap kelompok anak muda tertentu. Penting untuk melihat setiap individu sebagai entitas unik dan menghindari penilaian yang didasarkan pada asumsi atau prasangka. Melihat dan menghargai setiap perjuangan anak muda tanpa terpengaruh oleh citra publik tertentu adalah langkah penting menuju masyarakat yang lebih inklusif dan adil. Hal ini memberikan ruang untuk pengakuan nilai-nilai, aspirasi, dan usaha setiap anak muda, tidak hanya yang mencerminkan idealisme sempit dari beberapa individu terkenal.

 

Kaesang dan Gibran Potret nyata Nepotisme abadi di negeri ini

            Politik dinasti atau dinasti politik menunjukan bahwa kerabat dekat atau keluarga merupakan alat yang sangat tepat untuk membentuk kekuasaan yang kuat. Bahkan kekuasaan politik itu bukan hanya sekedar fenomena politik saja, tetapi sudah menjadi budaya politik di Indonesia yang se. Hingga tahun 2020 presentase dinasti politik di indonesia naik sebesar 14,78% atau 80 wilayah dari 541 wilayah, data tersebut di peroleh setelah pilkada diselengarakan dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Data dari "jurnal dinasti politik dalam pilkada di indonesia" mengungkapkan bahwa undang-undang tentang pilkada nomor 1 tahun 2015 yang menyatakan bahwa calon pemimpin daerah tidak boleh memiliki hubungan darah dengan petahana atau politisi lain. Namun, ketentuan tersebut dibatalkan oleh MK melalui putusan Nomor 34/ PUU-XIII/2015 karena keputusan tersebut hanya bersifat politis dan asumtif seolah-olah setiap calon yang memilki hubungan dengan petahana akan membentuk dinasti politik yang akan merusak tatanan bangsamakin menjamur diberbagai daerah,. Konsepnya adalah perilaku politik, strategi, orientasi politik kemudian menjadi budaya politik masyarakat Indonesia.

Melengkapi dari banyaknya kasus Korupsi, Kolusi dan nepotisme,akan tetap abadi di negeri ini bila mana , keputusan tertinggi Mahkamah Konstitusi saja masih ditentangnya bahkan dilanggengkan demi ambisi kuasa dari seorang ayah yang di cap sebagai Raja Jawa, akan terus menjadi potret ketimpangan yang hadir di kalangan penerus anak muda di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun