We found love in a hopeless place (Rihanna)
Beberapa waktu yang lalu, seorang teman saya mengeluhkan hidupnya yang selalu ditimpa kemalangan. Saat itu saya langsung ingat sebuah film Hollywood yang berkisah tentang seorang anak India yang ditimpa kemalangan, Life of Pi. Film Life of Pi, berkisah tentang Pi Patel, seorang anak muda dari India, yang sedang dalam pencarian makna hidup. Besar di dalam keluarga India yang berkecukupan, demokratis dan cukup plural, sejak kecil Pi Patel terbiasa bertanya tentang hal-hal semacam “Ayah, mengapa di dunia ini ada begitu banyak agama?” atau “Bapa, mengapa Tuhan membiarkan Anak-Nya disiksa di tiang salib?”
Suatu waktu, usaha keluarganya yang sukses di India,terancam bangkrut, dan keluarganya memutuskan pindah ke Kanada. Di tengah laut,saat dalam pelayarannya menuju Kanada, kapal yang ditumpangi oleh Pi dan keluarganya, pecah dan tenggelam setelah dihantambadai. tak ada satu pun orang yang selamat dari kapal tersebut, kecuali Pi danseekor harimau bernama Richard Parker.
Berhari-hari Pi terdampar di tengah lautan, sendirian, kedinginan, terancam kelaparan, dan hanya ditemani oleh seekor harimau yang sedang kelaparan (sungguh bukan teman yang tepat di saat di saat-saat seperti itu). Namun di saat putus asa seperti itulah akhirnya, Pi Patel perlahan-lahan mulai mengerti pertanyaan-pertanyaan yang sejak kecil selalu menghantui pikirannya.
Maka benarlah kata Alfred Whitehead, kita hanya mampu benar-benar mengerti makna agama di saat kita merasa sendiri dan tak punya harapan. Mungkin, karena di saat sendirian, putus asa dan kehilangan harapanlah, kita mau “meluangkan” sedikit waktu kita untuk bertanya hal-hal semacam “mengapa Tuhan menciptakan kita lalu membiarkan kita menderita?”, atau “mengapa Tuhan memilih kita untuk menjalani hidup semacam ini?” atau “jika memang Tuhan itu Maha Baik, Maha Mendengar, dan Maha Kuasa, mengapa Ia tak mengabulkan doa kita?”
Pertanyaan-pertanyaan Pi tentang kehidupan ini adalah pertanyaan yang akan terus abadi dalam sejarah manusia. Sejak manusia sampai pada tingkat kecerdasan dan tingkat peradaban di mana mereka mampu berpikir abstrak, pertanyaan-pertanyaan tersebut telah menghantui pikiran manusia. Kita semua juga pastilah pernah bertanya tentang hal-hal di atas setidaknya sekali dalam usia kita sekarang , walau mungkin tak pernah kita ungkapkan. Hanya saja, tak semua dari kita mau meluangkan sedikit waktu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Atau mungkin, kita butuh “sedikit” kemalangan, penderitaan,atau rasa putus asa untuk memaksa kita meluangkan waktu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Kenyataannya, kita tahu bahwa orang-orang tercerahkan dalam sejarah, yang sampai pada jawaban akan pertanyaan-pertanyaan fundamental manusia tersebut, adalah orang-orang yang memilih keluar dari siklus hidup“normal”, keluar dari lingkaran zona nyaman, dan memilih mengasingkan diri. Joshua dari Nazareth memilih mengasingkan diri dan berakhir dengan kesepian di tiang salib, Muhammad putra Abdullah memilih menyendiri di gua hira di pinggiran kota Mekkah, Sidharta Gautama memilih meningalkan takhta dan kemewahan istana untuk menyendiri di hutan.
Ribuan tahun yang lalu, Joshua, Muhammad, Budha Gautama, dan Lao Tze telah memberikan jawaban-jawaban akan pertanyaan manusia tersebut,namun hari ini, dunia tempat kita hidup telah berubah dan berkembang begitu jauh. Pertanyaan-pertanyaan manusia akan realitas-realitas yang dulu hanya mampu dijelaskan dalam kerangka pikir teologis (di mana segala hal yang beradadi luar jangkauan nalar manusia dinisbatkan kepada entitas super bernama Tuhan), kini mampu dijelaskan dalam sebuah konsep sistem pengetahuan dan sains positifistik. Bangunan ontologis dan bangunan epistemologis dunia lama menjadi luluh lantak sejak Descartes memproklamirkan skeptisisme filosofisnya, dan Isaac Newton mengumumkan bahwa alam semesta tak lebh dari sebuah mesin raksasa yang digerakkan oleh hukum-hukum fisika. Bagi filsafat positifistik ini, sudah tak ada lagi tempat bagi kuasa Tuhan di dunia modern, dan karena itu, bertanya tentang tujuan penciptaan Tuhan, konsep keadilan dan kekuasaan Tuhan menjadi tak relevan lagi. ironisnya Rene Descartes menemukan “rasioanlisme metodisnya” ini setelah bertahun-tahun kesepian dalam pengembaraannya keliling Eropa, dan Isaac newton menemukan hukum gravitasi-sebuah sistem dinamis relasi antar materi yang menggerakkan alam semesta- setelah menyendiri di kebun apel depan rumahnya.
Maka, tinggallah kita ini, manusia-manusia yang sedang hidup di abad modern ini, kebingungan antara hidup dalam penjelasan-penjelasan“ilmiah” lagi “rasional” atau hidup di dunia lama (dunia agama-agama) yang semakin lama semakin terasa usang. Disatu sisi, sistem pengetahuan dan sains positifistik telah membawa peradaban manusia berkembang begitu pesat, namun di sisi lain, sistem pegetahuan dan sains positifistik ini tak memberikan ruang penyembuhan bagi rasa kesepian,penderitaan dan keputus-asaan manusia. Sementara di sisi lain, selama bertahun-tahun, agama telah menyediakan motivasi bagi manusia untuk hidup, menyediakan alasan untuk berbuat baik terhadap sesama, sekaligus menyediakan ruang penyembuhan bagi “luka-luka” manusia.
Mungkin, seperti pesan Pi Patel di akhir film, bahwa untuk semua pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam kehidupan ini, ada begitu banyak jawaban yang tersedia. kita berhak memilih untuk percaya pada satu dari berbagai jawaban itu, mulai dari yang terdengar mistis, filosofis, atau mungkin yang lebih rasional, tapi yang terpenting,adalah apakah jawaban yang kita percaya itu mampu memberikan makna bagi kehidupan kita. Apakah jawaban yang kita percaya itu mampu memberikan alasan bagi kita untuk terus berbuat baik? Apakah jawaban itu mampu menyediakan ruang penyembuhan bagi kesedihan, penderitaan, dan keputus-asaan kita?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H