Mohon tunggu...
Andi Facino
Andi Facino Mohon Tunggu... pegawai negeri -

a banker, a freelance writer, author of Loveable & Replaceable Penerbit De Teens 2013, admin @NBC_IPB, a reader, a dreamer and a traveller.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[NOVEL BLOG] Chapter Satu: Neighbor's Zone

3 Januari 2014   08:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:13 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

1

Aliquam Vicinis

“Love is a war of all for all. That is why we must covet our neighbors as ourselves.”

-Bauvard, Some Inspiration for the Overenthusiastic

BUMI

“Mas, emang apa salahnya sih tiap kamu pergi kerja antar Gigi juga ke kampus?” tanya nyokap gue saat gue sekeluarga menghabiskan santapan malam bersama.

“Gak ada masalahnya, Ma. Nanti kalau ada yang nanya Gigi itu siapa, Bumi kudu jawab siapa?” tukas gue kemudian memasukan potongan empal daging ke dalam mulut.

“Ya, bilang aja tetangga kamu yang kebetulan arah pergi dan pulangnya searah. Gampang, kan? Lagi pula kasihan setiap hari ngelihat Gigi naik angkot ke kampus. Emang kamu gak kasihan, Mas?” tanya nyokap gue lagi sambil menyendokkan nasi tambah ke piring bokap gue. “Cukup, Pa?” dan bokap gue mengangguk mantap.

Gini, nih, salah satu ribetnya hidup bertetangga. Apalagi kalau anak tetangganya kebetulan cewek dan umurnya gak beda jauh. Bukannya gue gak mau, ya, pergi ngantor sekalian bareng Gigi setiap hari. Gue takut aja, ini bagian dari konspirasi kedua orangtua gue buat ngejodohin gue sama Gigi. Tahu sendiri, kan, Gigi anaknya gimana. Cuma cewek biasa yang gue rasa gak pernah dandan kalau ke kampus. Style-nya kalau gue perhatiin cuma jeans belel sama kemeja warna burem serta flat shoes. Jadi bukan cuma karena gue takut dijodohin sama anak tetangga sebelah yang namanya aneh, tapi juga gengsi dong bukan cewek cantik yang gue setirin.

“Kasihan sih, Ma. Emang sih Gigi gak punya motor apa buat ke kampus?”

“Ya Mama gak tahu lah. Tapi ketika kita hidup bertetangga seharusnya kita saling bantu membantu, Mas. Kamu nih ngeles terus sih. Ya, kan, Pa?” tatap Nyokap gue dengan tatapan ‘setuju-gak-nih-atau-papa-gak-dapat-jatah-setahun?’.

Jawab bokap gue dengan anggukan pasrah sambil ngunyah. Bokap gue udah ngerti lah gimana sifat nyokap gue. Kalau lagi serius gini jangan coba-coba dibantah kalau gak mau besok-besok makan kayak di warteg. Nasi, telur, tahu dan tempe. Plus sambal tapi yang diulek kebanyakan tomat dari cabenya.

Gue cuma bisa nyengir-nyengir kalem aja.

“Jadi gimana, Mas? Mulai besok kamu bisa sekalian anterin Gigi ke kampus, kan?”

Gue cuma garuk-garuk kepala sambil menimbang apakah akan menawarinya berangkat bareng atau enggak. Karena kalau gue udah bilang ‘iya’, sekalinya gue gak nganterin Gigi, Nyokap pasti ngomel-ngomel akan ketidakonsistenan gue. Dan bisa dipastikan nama gue berangsur-angsur akan luntur dari kancah perebutan warisan orangtua gue.

“Iya, iya… Mulai besok Bumi anterin Gigi ke kampus. Tapi kalau anaknya gak mau gimana?” tanya gue memastikan bercampur pasrah.

“Eum… ya kamu paksa aja. Bilang demi efisiensi waktu,” ujar nyokap gue tetap bersikeras. Dan pas ngomongnya dengan ekspresi santai banget gitu.

“Kalau anaknya tetap gak mau?” balas gue sama bersikerasnya. Setidaknya gue udah usaha agar gak dibebani nganter Gigi ke kampus. Karena tiba-tiba gue kepikiran gimana hebohnya anak semilabil macam anak kampus kalau ketemu cowok dewasa kayak gue dengan pakaian rapi jali. Gak mungkin kan si Gigi ini unsos gitu gak punya gank atau temen-temen cewek yang suka bergosip? Pasti punya dan gue sangat yakin akan jadi bahan ocehan mereka.

“Ya, kamu rayu, kek. Atau apa, kek.”

Buset! Ini yang butuh siapa yang harus ngerayu siapa. Normally, ya, kalau memang Gigi yang butuh gue anter, ya dia lah yang ngerayu-rayu gue. Masa gue juga yang harus ngerayu tuh anak. Eh, tunggu, tunggu, ini kan nyokap gue yang minta bukan maunya Gigi.

Artinya?

***

GIGI

Kalau dipikir-pikir dengan waras, apa sih yang membuat Mas Bumi akhirnya tergerak sanubarinya nawari gue tumpangan sampai ke kampus. Padahal kan biasanya paling jauh cuma dikasih klakson doang tiga kali saat gue nunggu-nunggu bodoh di depan halaman rumah sambil cengar-cengir sok manis.

“Gi, bareng gue, yuk?” tawarnya tadi pagi. Yang gue tanggapi dengan berpikir keras selama beberapa menit.

Bukannya gue cewek bodoh, ya, yang mau menolak tawaran cowok cakep seperti Mas Bumi. Cewek waras di mana pun tahu, kalau Mas Bumi ini cakepnya melewati pemeran Rangga dalam film Ada Apa Dengan Cinta dan Soekarno dalam film Soekarno.

“Gak usah, Mas. Saya pergi naik angkot aja ke kampus. Kasian mamangnya udah langganan sama saya,” jawab gue kalem. Menunjukan ekspresi muka senormal mungkin tanpa ada efek-efek minta dikasihani atau berharap dipaksa-paksa. Lagian ngapain pula. Gue kan bukan tipe ceweknya Mas Bumi. Jadi gak usah sok dimanis-manisin, deh. Emang udah manis sih pada dasarnya. *ditimpuk batu bata sekampung*

“Gak apa-apa, Gi. Sekalian gue ke kantor kan searah sama kampus, lo,” bujuknya lagi.

Tapi gue agak-agak lost focus saat melihat baju kemeja putih yang mengemas tubuh Mas Bumi yang rajin nge-gym. Euh, selain ketat juga membentuk otot-otot bisep dan trisepnya. Duh, ini benar-benar lost focus. Anak kuliahan macam apa ini. Bahkan, brewok-brewok tipis yang membingkai rahang tegasnya itu hampir-hampir membuat air liur gue tumpah. Mas Bumi versi asli, Ario Bayu versi KW-nya, deh. Apalagi senyum bulan sabit plus lesum pipitnya yang bisa bikin khilaf cabe-cabean maupun terong-terongan normal mana pun. Najis!

“Kapan-kapan aja, deh Mas kalau lagi ada mogok supir angkot se-nasional,” tolak gue lagi dengan alasan yang oh-so-klise. Mungkin Mas Bumi dalam hatinya ngomong gini, “sialan, belum ada nih yang nolak gue dua kali. Nih cewek waras gak sih nolak anteran cowok cakep kayak gue?”.

Hahaha. Gue geli sendiri memikirkannya. Belum pernah, kan Mas ditolak anak kampus yang semilabil?

“Yakin?” tawarnya lagi dengan senyuman pepsodent. Gigi-gigi putihnya seperti barisan perumahan di daerah Senopati sana.

Duh, kenapa ngomong yakinnya pakai tatapan… yang oh-so-cipokable. Mata hitam seperti elang yang siap menyambar siapa saja di depannya.

“Gi..Gigi!”

Gue tersentak. Baru sadar kalau sejak tiba di kampus tadi, gue ngelamun terus saat menyusuri jalan setapak sampai di dalam ruangan kelas.

“Ngelamuni apa, sih lo?” tanya Caroline dengan tatapan menyelidik.

“Eng… apa ya. Lo sih tiba-tiba manggil gue, jadi lupa, kan,” tukasku seraya ngambil choki-choki di dalam tas.

“Eh, yang nganterin lo ke kampus tadi siapa? Pacar lo?” tanyanya sambil menyipitkan mata curigation.

“Bukan. Tetangga gue yang kebetulan searah ke kantornya. Jadi sekalian. Hemat ongkos dan bukan AC alam lagi,” nyengirku kalem. Kepo banget sih nih anak.

But seriously, ya, Gi, emang lo gak tertarik sama dia? Kok, lo biasa-biasa aja, enggak excited?” berondongnya.

Duh, Caroline ini emang, ya. Kalau udah ngelihat cowok bening dikit aja, langsung nanya-nanya kayak petugas keamanan. Ih! Minta disumpel pakai pare dua kilo, deh.

“Doh, dia cuma tetangga gue yang kebetulan entah dapat ilham apa nawarin gue tadi pagi. Gak ada apa-apa. Lagi pula dia udah gue anggap kakak sendiri,” jawab gue lagi dengan nada sesabar mungkin. Kalau gue kelihatannya gelisah—yang jelas bukan geli-geli basah—pasti Caroline makin merongrong gue yang macam-macam.

Wait? Kakak? Darimana gue dapat alesan sejenius ini. Jelas-jelas hubungan gue cuma sebatas senyum-senyum SKSD setiap kali ketemu atau nganter kue kalau lagi ada perayaan apa di rumah gue. Mas Bumi mana pernah nganter kue kalau ada acara apa gitu di rumahnya. Kalau gak nyokapnya, ya adiknya yang masih SMA itu. Yang selalu datang dengan rambut kepang dua ala-ala gadis desa dan senyum-senyum ala Marshanda di film Bidadari.

“Ya, what a pity you are, darling. Buat gue aja kalau gitu, ya?”

“Ambil, deh. Ambil. Besok lo pindah aja ke rumah gue biar dianterin tiap hari ke kampus sama Mas Bumi.”

“Wait. Bumi? Namanya Bumi? Ouch, what a sexy name I ever hear,” ujarnya dengan antusias.

“Udah, udah gak usah heboh gitu. Apa sih kerennya nama Bumi? Perasaan lebih keren nama gue deh. GIGI.”

By the way, ya, by the way aja nih, kenapa gak Mas Bumi lo tawari jadi pendamping lo saat wisuda nanti?”

“Aduh, Car, lo ini, ya. Gara-gara gue diantarin dia sekali ke kampus aja udah heboh gini. Dia cuma TETANGGA gue yang kebetulan keren. Yang kebetulan baik mau nganterin gue. Yang kebetulan… “ kata gue menggantung di udara.

Keren? Serius gue barusan bilang Mas Bumi itu keren? WHAT?!

“Kebetulan apa?” tanya Caroline penasaran. Wajah ovalnya mendekat ke wajahku dengan ekspresi yang tak terbantahkan, oh-so-mau-aja-atau-mau-tau-banget.

Kebetulan single gak, sih? Tebak-tebak buah simalakama ini namanya. Tapi, kalau gue ngomong gitu, pasti Caroline makin brutal nanya-nanyanya.

“Kebetulan kantornya searah sama kampus kita,” tandasku.

“Yeee… Gue kirain apaan sampai lama gitu mikirnya.”

***

BUMI

Kalau dibilang kapok, sebenarnya gue kapok nganterin Gigi lagi ke kampus. Satu, gue udah ngerayu-ngerayu dia sampai mau muntah baru dia mau naik mobil gue. Bayangin ya, cewek mana sih yang berani nolak dianterin ke kampus naik range over sama supir yang ganteng gini? Dua, sepanjang jalan dia berani-beraninya menceramahi gue. Gila ya, tuh anak kampus gak tahu terima kasih. Udah bagus gue anterin dengan selamat sampai kampus, tapi dengan tidak sopannya ngatain gue nambah macet Jakarta.

Sialan.

“Gi, kenapa kamu gak naik motor aja gitu ke kampus?” tanya gue selama perjalanan mengantar Gigi ke kampus.

“Gak ah, Mas. Mending pergi ke kampus bareng rakyat jelata yang lain. Kami kan mendukung gerakan mengurangi Jakarta Macet 2014,” jawabnya kalem waktu itu yang membuat gue pengin ngerem mendadak. Emangnya ada program macam gitu?

“Memangnya ngaruh, gitu?” tanya gue lagi. Masih dengan nada suara yang tenang dan excited.

“Ngaruh dong. Yang gak ngaruh itu ini, Mas. Naik mobil yang isinya berdelapan tapi cuma diisi dua orang. Selain gak efektif dan efisien tapi juga nambah macet Jakarta. Kenapa Mas gak naik angkot aja ke kantor?” komentarnya tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Yakali deh, Gi kantor gue dilewati angkot. Nih, anak ya lancang banget nyuruh-nyuruh gue naik angkot. Terus ngapain dia nebeng sama gue gini kalau dia memang mendukung program apalah itu namanya?

“Karena gak ada angkot yang ke arah sana, Gi,” jawab gue sabar.

Ini kenapa jadi ngobrolin angkot, ya?

“Seandainya pemerintah bikin, Mas mau naik angkot gak?” tanyanya lagi sambil menatap gue lekat-lekat.

Rasa kesal sepertinya ingin membuncah dari kepala gue. Ini anak, benar-benar ya. Pengin gue turunin aja di tengah jalan. “Yang penting angkotnya gak ngetem,” jawab gue masih, masih banget dengan nada suara yang gue paksa setenang Danau Toba.

“Ya udah. Nanti kalau ada program pengajuan jalur angkot baru untuk mengurangi macet tahun 2014, Gigi ajuin deh bikin jalur angkot ke arah kantor Mas Bumi,” katanya enteng tanpa melihat ekspresi muka gue yang ‘siapa-sih-dia-sampai-sampai-bisa-seenak-jidat-begini’.

Oh-come-on-Bumi, kenapa lo jadi mikirin Gigi sih di saat lo mau meeting?

“Bum, udah dipanggil tuh sama Pak Bimo ke ruang meeting. Katanya lo yang presentasi. Pak Bimo lagi sakit tenggorokan.”

Asli gue tersentak. Benar-benar tersentak saat Aryan, teman sebelah kubikel kerja gue mengatakan hal mengerikan barusan. Di samping fokus gue sedang buyar gara-gara anak kampus yang bau kencur itu, sekarang gue harus presentasi tanpa persiapan apa pun. Cuma berbekal doa Mama di pagi hari.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun