Titelatur negara hukum melekat kepada jati diri Negara Indonesia. Supremacy of Law (supermasi hukum) mendapatkan pengakuan secara normatif dan empirik bagi kemaslahatan sistem hukum nasional. Artinya, bahwa produk hukum melalui peraturan perundang-undangan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah untuk diselenggarakan dengan penuh tanggung jawab agar tujuan menjadi negara yang mandiri, maju, adil, dan makmur dapat tercipta dengan menaati konstitusi yang berlaku. Hal ini mencerminkan bahwa pada hakikatnya pemimpin tertinggi negarayang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi (Jimly Asshiddiqie, 2008). Hal ini berlaku bagi seluruh peraturan perundang-undangan yang disahkan pada setiap elemen penyelenggara tata kelola pemerintahan, dan negara memiliki tanggung jawab untuk hadir dalam melaksanakan amanat peraturan perundang-undangan.
Bagi Negara Indonesia, khususnya dalam pelaksanaan Law Enforcement, negara harus hadir bagisetiap sub-sistem yang terintegrasi dalam pelaksana sistem peradilan pidana terpadu. Sistem peradilan pidana merupakan sistem yang dibuat untuk menanggulangi masalah-masalah kejahatan yang dapat mengganggu ketertiban dan mengancam rasa aman masyarakat, merupakan salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima (Mardjono Reksodiputro, 1997). Dalam hal penanggulangan masalah kejahatan, pemikiran mengenai fungsi pemidanaan dan mazhab penghukuman tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah ditetapkan dengan suatu sistem perlakuan terhadap para pelanggar hukum di Indonesia yang dinamakan dengan Sistem Pemasyarakatan. Istilah pemasyarakatan untuk pertama kali disampaikan oleh Almarhum Bapak Sahardjo, S.H. (Menteri Kehakiman padasaat itu) pada tanggal 5 juli 1963 dalam pidato penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa oleh Universitas Indonesia. Beliau merupakan reformator Pemasyarakatan, yang menyatakan bahwa Pemasyarakatan sebagai tujuan dari pidana penjara. Satu tahun kemudian, pada tanggal 27 April 1964 dalam Konferensi Jawatan Kepenjaraan yang dilaksanakan di Lembang Bandung, istilahpemasyarakatan dibakukan sebagai pengganti kepenjaraan. Sehingga terjaditransformasi paradigma penghukuman dengan melakukan terminasi terhadap sistem kepenjaraan dan mengadopsi sistem Pemasyarakatan. Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatandi dalam masyarakat (Y. Ambeg Paramartha, 2014). Dalam perkembangan selanjutnya, secara konstitusional pelaksanaan sistem pemasyarakatan semakin nyata dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dengan adanya Undang Undang Pemasyarakatan ini maka makin kokoh usaha-usaha negara untuk mewujudkan visi Sistem Pemasyarakatan, sebagai tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab (Pasal 1 UU. Nomor 12 Tahun 1995).
Namun pada kenyataannya, Pemasyarakatan yang seyogyanya bekerja sebagai institusi pelaksana putusan pemidanaan dengan konsepsi reintegrasi sosial, mendapat tentangan dari berbagai pihak yang pada akhirnya sampai menimbulkan permasalahan provokatif dan reaktif. Pemberitaan media secara dominatif diberitakan melalui potret kaca mata hitam. Seperti kasus kerusuhan dan pembakaran Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Jambi oleh warga binaannya sendiri, adanya bunker narkoba didalam Lapas Kelas I Medan, dll. Hal-hal tersebut merupakan bukti bahwa Lapas sangat membutuhkan peran negara.
Timbul pertanyaan, siapakah yang salah? Pengelola Lapas? Ataukah penyusun Undang-Undang yang tidak melaksanakan amanat Undang-Undang itu sendiri? Dalam upaya mereduksi permasalahan-permasalahan tersebut, ada beberapa hal yang perlu dikaji untuk mendapatkan perhatian, yakni :
1. Kehadiran Negara dalam Sistem Pemasyarakatan.
Dalam sistem peradilan pidana terpadu, sub sistem yang terintegrasi mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan Negeri secara organisasional memiliki bentuk organisasi yang mandiri, Kepolisian dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan dengan UU.Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dan Pengadilan Negeri dengan UU. Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum dapat melaksanakan amanat masing-masing payung hukum dengan proporsional dan baik. Disatu sisi,Pemasyarakatan yang juga berdiri dengan UU. Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan secara organisasional menganut model Integrated Type (yang dianggap melakukan tugas dan fungsi yangsejenis dengan Direktorat Jenderal lainnya). Pemasyarakatan merupakan organisasi eselon I yang masih tergabung bersama 10 unit eselon I lainnya dilingkungan Kementerian Hukum dan HAM RI. Dengan model organisasi demikian,maka Pemasyarakatan melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan secara khusus memiliki kewenangan dalam perumusan kebijakan teknis (terfokus pada penyusunan Standard Operation Procedur). Sehingga Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam melakukan capaian pada aspek Kepemimpinan; Perencanaan Kinerja; Tata Laksana Organisasi; Manajemen SDM; Penganggaran, Pengukuran, Analisis, dan Manajemen Informasi Kinerja; ManajemenProses; serta Capaian Hasil mendapatkan hasil yang kurang maksimal, dan pada akhirnya menjadi sorotan masyarakat dan media secara meluas.
Menurut Dindin Sudirman, institusi yang tergabung dalam sistem peradilan pidana terpadu merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.Untuk mencapai keseimbangan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, maka yang perlu menjadi “alat ukur” yakni sub-sistem yang cara bekerjanya paling lambat. Dalam hal ini adalah Pemasyarakatan. Keterlambatan Pemasyarakatan dalam melaksanakan amanat Undang-Undang terjadi karena banyak faktor seperti yang dijelaskan diatas. Pada akhirnya, pemerintah seharusnya bertanggungjawab penuh terhadap produk peraturan perundang-undangan yang dibentuknya, sehingga dalamhal ini perlunya rasionalisasi peran negara melalui Presiden dan Wakil Presiden, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, serta Kementerian Keuangan untuk dapat hadir dengan memberikan atensi terhadap Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.Baik dalam hal mengagendakan Pemasyarakatan sebagai prioritas pembahasan pembangunan negara (benchmarking mengenai kebijakan dan model organisasi institusi yang terintegrasi dengan sistem peradilan pidana terpadu), memberikan prioritas penyempurnaan kembali UU. Pemasyarakatan dalam program legislasi nasional, serta memberikan saran kebijakan agar tidak terjadi overlapping-phenomenon dalam upaya penegakkan hukum dari sub-sistem yang terintegrasi.
2. Keretakan Sistem Hukum tentang Pemasyarakatan.
Menurut Lawrence M. Friedmann, disampaikan bahwa keberhasilan penegakkan hukum tergantung tiga unsur pembentukan sistem hukum, yakni struktur hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan, dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat. Mengenai struktur hukum, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sebagai aparatur penegak hukum yang menjalankan fungsi pelaksanaan pidana. Struktur hukum dinyatakan kurang ideal dengan taraf penilaian eksistensi penegak hukum yang secara kualitas dan kuantitas masih perlu mendapatkan fokus pembenahan dan penguatan. Jadi struktur hukum (structureof law) dinyatakan “ada” namun dengan kondisi seadanya.
Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Substansi hukum menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatanyang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum. Dalam sistem Pemasyarakatan, UU. Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menjadi substansi hukumnya. Menurut teori kebijakan publik (Riant Nugroho, 2009), suatukebijakan akan memiliki nilai keberhasilan yang kurang mana kala tidakdiimbangi dengan pelaksanaan sosialisasi dan evaluasi kebijakan yang diimplementasikan. Nampaknya kebijakan “policy socialization” tidak diimplementasikan oleh negara pada 22 tahun silam, yang menyebabkan kegagalpahaman masyarakat dalam cara pandangnya mengenai tujuan pemidanaan. Hal ini relevan dengan budaya hukum (legal culture), budaya hukum masyarakat Indonesia masih kental dengan konsepsi kepenjaraan yang jelas bertentangan dengan sistem Pemasyarakatan. Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif.
Undang-undang Pemasyarakatan sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial tidak lain merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh undang-undang tersebut. Untuk menjamin tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa masyarakat kearah yang lebih baik khususnya dalam hal tujuan pemidanaan yang berdasarkan Pemasyarakatan, maka bukan hanya dibutuhkanketersediaan hukum dalam arti kaidah atau peraturan, melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum tersebut dengan hadirnya negara (merangkul pers dan media, menggerakkan lembaga penyuluh hukum, bahkan bisa dengan mengeluarkan perintah tertulis untuk memasyarakatkan ‘Pemasyarakatan’ kepada masyarakat) ke dalam praktek hukum, atau dengan kata lain adamya jaminan penegakan hukum (law enforcement) yang baik dan tidak mementingkan ego-sectoral. Jadi bekerjanya hukum bukan hanya merupakan fungsi perundang-undangannya belaka, melainkan aktifitas birokrasi pelaksananya, apabila terjadi keseimbangan dan kesatuan tujuan hukum yang bermuara pada sistem Pemasyarakatan sebagai tujuan pemidanaan, maka upaya reformasi birokrasi pada sektor penegakkan hukum dapat terlaksana dengan baik khususnya bagi Pemasyarakatan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya.