"Apa kelebihanmu?" tanya seorang pimpinan redaksi dari suatu surat kabar terkenal. "Imajinasi." jawabku. "hahahaha, kita tidak sedang mencari seorang anak kecil yang suka nonton kartun spongebob, Nak. Pulanglah." Surat lamaranku sia-sia di sini, geram iya, tapi aku tidak membantah, aku putuskan untuk keluar dari kantor surat kabar itu. Turun dari lantai dua lewat tangga aku bertanya-tanya, kenapa dia menertawai aku dan memakiku. Menurutku orang seperti itu tidak layak untuk duduk di kursi pimpinan. Dia sangat dangkal, dia tak mengerti bahwaimagination is more important than knowledgeseperti kata Albert Einstein. Aku sedang mencari pekerjaan untuk hidupku, anak gadisku dan istriku. Hujan dan aku tak membawa payung atau mantel, aku berteduh di dekat sebuah toko buku. "Toko Buku Ani." aku membaca nama toko itu. Aku memilih untuk masuk ke dalamnya dan melihat apa saja yang dikoleksi di toko buku ini. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang penjaga toko buku itu. "Emm. tidak-tidak, aku cuma mau liat-liat saja, kenapa Ani?" tanyaku. "hmm? nama panggilanku bukan Ani tapi Ana. Banyak yang memanggilku Ani, tapi aku tak suka aku lebih suka dipanggil Ana " jawabnya. "Oh bukan-bukan, bukan namamu, tapi toko buku ini, kenapa namanya Ani?" ya, mungkin dia punya imajinasi tersendiri dari pertanyaanku tadi. Namanya Septiana Fatmawardhani, tersemat di bagian kiri dadanya. Lalu dia menjawab pertanyaanku, "Oh, maaf-maaf.. Dulu tahun 90-an toko ini namanya Tin-Tin, toko ini sempat tutup setelah pak Harto lengser, barulah mulai tahun 2005 toko ini kembali buka dan diresmikan oleh bu Ani Yudhoyono." Menarik sekali cerita tentang toko ini, pikirku. Hujan ternyata sudah berhenti, ku lanjutkan perjalanku untuk mencari penghidupan.
"Dicari Seorang Wartawan." Pengumuman lowongan kerja itu terpampang di kaca sebuah gedung tua. Aku memutuskan masuk ke dalam, ternyata gedung itu merupakan sebuah kantor surat kabar, tak terlihat seperti kantor surat kabar. Sepertinya mau bangkrut. Kebetulan ada petugas bersih-bersih yang sedang duduk-duduk sambil menikmati roti isi selai nanas. "Pak, sudah lama kerja di sini?" tanyaku. "Iya, sudah sepuluh tahun saya di sini mas.." jawabnya. Dia lalu bercerita panjang lebar tentang kantor surat kabar ini. Dia bercerita kalau kantor surat kabar ini tengah dilanda krisis. Beberapa tahun yang lalu surat kabar ini pernah didemo oleh puluhan bahkan ratusan orang. Mereka marah dengan gaya pemberitaan dari surat kabar ini. Banyak karyawannya yang memilih untuk hengkang dari kantor surat kabar ini, kini yang tersisa hanya belasan orang hanya lima belas orang beserta dia, katanya.
Aku kemudian dipanggil olehreceptionistkantor itu. Beruntung hari itu pimpinan redaksi ada di kantornya. Segeralah aku diminta olehreceptionistitu untuk naik ke lantai tiga menemui pemimpin redaksi. Kantor ini tak sungguh tak terawat bangunannya, dindingnya keropos. Sampai-lah aku di lantai tiga itu. Aku masuk ruang pimpinan redaksi, ruang tak ber-AC hanya kipas angin, jendela besar di belakang kursi pimpinan redaksi. "Yanto Mohamad." terdengar suara memanggil namaku dari belakang. Aku terperanjat dari dudukku lalu menyalami sang Bos itu. "Silahkan duduk kembali, nama saya Juniar Arief" "Saya suka anak muda hahaha anak muda punya semangat." kata pemimpin redaksi itu. Aku hanya senyam-senyum saja. Setekah membacaCurriculum Vitae-ku dia lalu membaca tulisanku, tulisan yang aku persiapkan untuk melamar kerja di kantor surat kabar yang aku kagumi yang ternyata berisi orang-orang dangkal. "hmm, CV yang menarik dan tulisan yang menarik." katanya. "Apa yang kau tawarkan kepada kami selain ini?" lanjut dia. "Imajinasi." jawabku. Dia lalu terdiam dan terlihat sedang berpikir, "(tersenyum) menarik, kau menarik, sudah lama aku tidak bertemu dengan orang seperti kau ini, ha..ha..ha." Aku tak tau harus bagaimana menanggapi reaksi dari orang itu. "Kau diterima, Nak! Selamat bergabung dengan kami (sambil menyalamiku)." katanya. "iya, iya, terima kasih, terima kasih, Pak.." jawabku dengan perasaan campur aduk antara bahagia dan haru. Kemudian dia bercerita tentang kantornya itu, ceritanya mirip dengan apa yang diceritakan oleh petugas kebersihan tadi. Memang beberapa tahun terakhir media sering disorot karena dianggap sebagai pihak yang semakin membuat ribet dan menjadi aktor yang dianggap sangat berbahaya ditambah dengan adanya pertarungan antar media. Pertarungan yang tak sungkan untuk saling menjatuhkan antara satu dengan yang lain secara terbuka, seperti kantor surat kabar yang menjadi tempat kerjaku sekarang ini yang katanya merupakan korban dari pertarungan itu. Tapi untuk saat ini aku tak mau ambil pusing tentang hal-hal semacam itu terlebih dahulu, sekarang aku ingin pulang memeluk gadis kecilku dan istriku lalu mengucapkan selamat hari wanita sedunia... (Insya Allah Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H