Kekuasaan dan kedudukan sosial merupakan dua faktor penentu penting tentang bagaimana orang berinteraksi, berkomunikasi, dan bereaksi satu sama lain, dan keduanya sering kali berdampak pada komunikasi antarpribadi. Menurut teori status sosial, kedudukan seseorang dalam hierarki masyarakat memengaruhi cara orang lain memandang dan memperlakukan mereka dalam situasi sosial. Orang dengan kedudukan sosial yang tinggi biasanya memiliki akses yang lebih mudah ke sumber daya simbolis seperti pengaruh, rasa hormat, dan kepercayaan. Gus Miftah, seorang tokoh agama memiliki pengaruh besar, dan seorang penjual es teh yang mewakili masyarakat biasa, menjadi studi kasus yang menarik untuk menggambarkan bagaimana perbedaan status sosial dan kekuasaan memengaruhi dinamika komunikasi terkait kekuasaan sosial.
Komunikasi antarpribadi dianggap efektif dalam mengubah perilaku orang lain jika terdapat kesamaan makna mengenai topik yang dibahas. Salah satu ciri khas dari komunikasi ini adalah adanya umpan balik langsung yang dapat diterima oleh komunikator, baik melalui kata-kata secara verbal maupun melalui isyarat non-verbal seperti anggukan dan gerakan lainnya. Selama proses komunikasi antarpribadi yang berlangsung secara langsung, akan terjadi pemahaman yang saling bergantian antara komunikator dan komunikan.
Gus Miftah dipilih karena statusnya sebagai ulama yang memiliki reputasi luas di masyarakat, akses media yang besar, dan pengaruh keagamaan yang signifikan. Sedangkan penjual es teh dipilih karena ia mewakili kelas masyarakat biasa dengan status sosial yang lebih rendah, sehingga menciptakan kontras yang jelas untuk dianalisis dalam pola komunikasi interpersonal. Sebagai ulama yang dikenal luas, Gus Miftah memiliki status sosial yang tinggi karena pengaruhnya di masyarakat, reputasi keagamaannya, dan jangkauan pesannya di berbagai media. Sementara itu, penjual es teh memiliki peran yang berada dalam posisi subordinat dalam hierarki sosial. Interaksi antara kedua individu ini menggambarkan perbedaan mendasar pada kekuatan simbolik dan akses terhadap pengaruh sosial.
Kronologi Kejadian
Pada tanggal 20 November 2024 pada acara pengajian, Gus Miftah bertanya kepada Sunhaji mengenai dagangannya yang tampak masih banyak. Ia kemudian berkata, "Es teh kamu masih banyak enggak? Masih? Ya udah dijual lah goblok," sambil tersenyum. Ucapan ini disambut tawa oleh beberapa jamaah yang hadir. Video tersebut mulai viral di media sosial, mengundang kemarahan publik. Pihak Gus Miftah awalnya hanya memberikan tanggapan melalui pengacaranya, yang menyebutkan bahwa pernyataan tersebut hanyalah guyonan (Kronologi Lengkap Gaduh Gus Miftah Hina Penjual Es Teh, Minta Maaf Usai Viral Kini Mundur dari Kabinet Prabowo, 2024). Kecaman terhadap Gus Miftah semakin meningkat. Sekretaris Kabinet Prabowo, Mayor Teddy Indra Wijaya, menegur Miftah dan meminta agar ia meminta maaf langsung kepada Sunhaji. Setelah menghadapi tekanan publik yang terus meningkat, Gus Miftah akhirnya meminta maaf secara langsung kepada Sunhaji dan mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan utusan khusus presiden.
Identitas Sosial dan Diskriminasi Komunikasi
Kasus Gus Miftah dan Pak Sunhaji, penjual es teh, mencerminkan adanya kesenjangan antara dua individu dengan latar belakang sosial yang berbeda. Identitas sosial terbentuk ketika individu mengadopsi sebagian dari konsep diri mereka melalui keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu. Proses pembentukan identitas sosial ini melibatkan tiga tahapan: kategorisasi, identifikasi, dan komparasi. Pada tahap kategorisasi, individu cenderung mengelompokkan diri mereka dan orang lain ke dalam berbagai kategori sosial berdasarkan faktor-faktor seperti ras, jenis kelamin, kebangsaan, kelas, atau agama. Proses ini membantu individu untuk menyederhanakan pemahaman mereka tentang lingkungan sosial, namun juga dapat memunculkan stereotip, karena munculnya pemisahan antara "kami" dan "mereka" (in-group dan out-group).
Diskriminasi salah satu akibat dari proses identitas sosial yang berlangsung dalam masyarakat. Istilah ini merujuk pada perlakuan yang tidak adil terhadap individu atau kelompok, yang didasarkan pada kategori atau atribut tertentu, seperti ras, etnis, agama, atau status sosial. Peristiwa yang melibatkan Gus Miftah dan Tn. Sunhaji menyoroti adanya diskriminasi yang muncul akibat kesenjangan kelas sosial. Gus Miftah, sebagai bagian dari kelas atas, menikmati berbagai keistimewaan, termasuk pengaruh yang besar terhadap jamaah yang hadir dalam acara keagamaan tersebut. Sementara itu, Tn. Sunhaji, seorang penjual es teh dari kelas sosial bawah, hadir semata-mata untuk mencari nafkah dengan menjual produknya. Perbedaan yang mencolok dalam status sosial antara keduanya sangat terlihat selama acara tersebut. Ketika perbedaan kelas ini secara jelas diungkapkan, baik dalam konteks pribadi maupun publik, hal itu dapat dianggap sebagai tindakan diskriminasi.
Tanggapan Masyarakat Terhadap Sikap Arogansi Gus Miftah
Setelah viralnya video yang menunjukkan sikap arogan Gus Miftah terhadap seorang pedagang es teh bernama Pak Sunhaji, media sosial dipenuhi dengan kegaduhan dan komentar negatif. Banyak masyarakat Indonesia yang merasa terwakili oleh posisi Pak Sunhaji menganggap bahwa pernyataan Gus Miftah telah menyakiti kelompok kelas sosial mereka. Pada tanggal 4 Desember 2024, Gus Miftah mengunjungi rumah Pak Sunhaji untuk memberikan klarifikasi dan meminta maaf. Namun, tindakan tersebut kembali menarik perhatian publik karena sikap dan perilaku Gus Miftah justru semakin menegaskan adanya kesenjangan status sosial antara dirinya dan Pak Sunhaji.
Banyak komentar di media sosial yang menyoroti ketidaksopanan tersebut. Mereka mengamati bahwa gestur Gus Miftah yang merangkul pundak Pak Sunhaji saat klarifikasi menunjukkan bahwa Gus Miftah masih ingin menegaskan posisinya yang lebih tinggi dibandingkan Pak Sunhaji. Publik yang sangat marah melihat tindakan diskriminasi itu menuntut agar Gus Miftah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden. Masyarakat menilai bahwa sikap dan pernyataan Gus Miftah tidak mencerminkan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang agamawan dan Utusan Khusus Presiden, yang seharusnya mampu memberikan rasa damai, kerukunan, dan menjunjung tinggi toleransi. Akibatnya, pada 6 Desember 2024, Gus Miftah mengumumkan pengunduran dirinya dari posisi Utusan Khusus Presiden yang disiarkan di berbagai media nasional.