Mohon tunggu...
Andi Eka Saputra
Andi Eka Saputra Mohon Tunggu... Seniman - Silakan mampir.

Pegawai Swasta, Penulis apa yang seharusnya ditulis, Penikmat Sastra, Pemerhati Senja, Pecandu kopi. Manusia biasa yang memanusiakan manusia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Nyepi" Salah Satu Identitas Diri

17 Maret 2018   14:14 Diperbarui: 17 Maret 2018   14:52 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sabtu, 17 Maret 2018.

Hari ini adalah hari raya bagi umat Hindu yang dirayakan setiap Tahun Baru Saka. Nyepi kita biasa mengenalnya.

Bagi kebanyakan orang di luar Pulau Bali, mungkin menganggap hari raya Nyepi hanyalah hari raya biasa, atau hanyalah tanggal merah biasa, dan mereka bisa libur sejenak di hari ini, bahkan menganggap biasa saja seperti hari lainnya. Namun, bagiku tidaklah demikian.

Ketika sedang menulis ini, aku membayangkan diriku sedang berada di Bali, dan merasakan hari raya ini bersama kultur masyarakat yang ada di sana.

Menjalani sehari penuh berdiam diri di tempat tinggal, introspeksi diri, menyucikan diri bagi yang beragama Hindu, menghentikan segala aktivitas dan rutinitas pekerjaan sehari-hari  dan menikmati indahnya hari tanpa ada bisingnya lalu lalang kendaraan bermotor. Di saat malam tiba, seluruh nya gelap tak ada cahaya selain dari cahaya bintang yang bertebaran leluasa di angkasa.

Aku mendalami arti Nyepi yang dimaksud. Bagiku Nyepi berarti berhenti sejenak, berani  berhenti dari segala aktivitas yang berbau keduniaan dan lebih mendekatkan diri kepada introspeksi yang mendalam. Makna dari nyepi sesungguhnya sangat dalam. Aku sendiri sangat meyakini kesenyapan dalam Nyepi merupakan identitas yang ada di setiap diri insani. Ketika kita berpeluk sepi di dalam diri, kita sejatinya perlu berintrospeksi mendekatkan diri kepada ilahi, untuk menghargai kehidupan yang kita jalani di luar hari-hari lainnya. Intinya, di dalam sepi, kita bisa menghargai segala sesuatunya.

Aku salut dengan Bali yang berani. Berani berhenti dalam satu hari, menghentikan segala roda perputaran bisnis, penerbangan yang tutup, kultur adat yang sangat kuat di sana telah turun temurun dan aku berharap hal ini akan selalu. Seketika sambil menutup tulisan ini, aku teringat lagu dari  Navicula."Saat semua, semakin cepat. Bali berani berhenti, dan menyepi". Tahun depan, aku ingin berada di Bali, bukan untuk berlibur, bukan juga untuk bekerja, hanya ingin menyepi dan menikmati kultur adat di sana ketika hari raya nyepi tiba.

Sekian dan terima kasih.

Rahajeng Rahina Nyepi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun