Seorang teman mengajak saya buat minum teh di Tea Addict di bilangan Senopati Jakarta Selatan. Sambil ngobrol santai dia bercerita bahwa saat ini dia diminta oleh ayahnya untuk membuat perusahaan joint venture dengan perusahaan Jepang. Calon partner joint venture-nya ini adalah satu perusahaan besar di Jepang, bahkan masuk sepuluh besar dunia di industrinya. Terbayang betapa raksasanya perusahaan Jepang itu dibandingkan dengan perusahaannya.
Teman saya bilang, bahwa dia harus berhasil dalam joint venture ini. Sebab proyek ini dijadikan ujian tongkat suksesi kepemimpinan dari ayahnya ke dia. Tanpa itu, dia masih akan tetap dianggap sebagai anak bawang. Sebut saja namanya Doni.
“Masalahnya gini, Andie,” Doni mulai membuka diskusi sambil mengaduk gula di cangkir tehnya.”Buat perusahaan gue, joint venture ini adalah yang pertama dengan asing. Sementara sebelumnya, JV perusahaan gue dengan dua perusahaan lokal kandas dan pecah kongsi. Sekarang keluarga gue masih trauma, tapi Babe push gue buat bikin jadi ini JV dengan Jepang. Lu bisa bantu gue enggak?”
“Kenapa gue? Gue bukan konsultan lho,” jawab saya jujur.
“Iya gue tahu lu bukan konsultan, tapi lu kan praktisi,” balas Doni.”Sebagai praktisi kan lu terlibat dari awal banget sebuah JV dibentuk, ikut mikirin mau seperti apa perusahaan JV-nya, bagaimana pendanaannya, memulai operasi, sampai problematikanya setelah implementasi. Itu yang gue pengin dengar dari lu.”
“OK deh. Yuk kita coba bahas bareng aja. Sekarang sudah sampai mana?” tanya saya.
Doni mengeluarkan sebendel kertas yang isinya draft joint venture agreement dan memberikannya pada saya. Dia menjelaskan bahwa draft itu berasal dari calon partner Jepangnya, cukup tebal sekitar 50-an halaman.
“Ini tujuan lu bikin perusahaan JV untuk apa ya? Terus investasinya berapa? Business model-nya seperti apa? Ada feasibility study-nya, Don?” tanya saya sambil membuka-buka bendelan draft yang Doni berikan.
“Tujuannya sih gue mau tangkap peluang buat bikin bisnis di bidang itu sama Jepang. Mumpung pemerintahan Jokowi-JK lagi fokus ke arah industri itu. Potensinya gede banget dan prospektif,”kata Doni bersemangat.
“Skala investasinya sekitar US$ 200 juta. Itu hitungan kasar saja sementara ini versi Jepang. Business model dan FS belum ada. Iya nih, gue juga belum tahu gimana ngitung untung atau ruginya,”kata Doni terus terang.”Si Jepang banyak maunya lagi.”
“Lu mau bikin perusahaan penangkapan ikan, sekaligus pengolahan, dan penjualan domestik dan ekspor ya? Beda banget sama core business perusahaan lu sekarang. Omong-omong lu mau pegang berapa persen sahamnya?” tanya saya.