SIAPA YANG RADIKAL
Hari-hari ini kita sebagai warga negara Indonesia namyak mendengar kata radikalis. Apa sesungguhnya radikal iti?. Sesuai makna gramatikal radikalis adalah sikap yang mengakar sesuai asal katanya , radix (akar). Radikal adalah perasaan positif terhadap segala sesuatu yang bersifat ekstrim sampai keakar-akarnya (Sarlito Wirawan: 2012). Sejalan dengan KBBI sebagai sesuatu yang sifatnya mendasar sampai pada prinsip atau berpegang pada prinsip. Sementara dari pemahaman leksikal, radikal dapat beragam makna sesuai dengan konteksnya. Pemahaman kita tentang radikal saat ini lebih pada makna leksikal yang merupakan makna negatif. Hal ini disebabkan karena sikap radikalis dari pengikutunya sering mempertontonkan sikap dan perilaku destruktif di depan publik sehingga pemahaman umum ketika mendengar radikal selalu dimaknai negatif. Radikalisme ada paham yang berusaha menegakkan keyakinan (biasanya keyakinan politik) secara mendasar sesuai prinsip yang pahami bahwa hal tersebut adalah paling benar.
Memegang prinsip yang diyakini benar dan tidak tergoyahkan oleh pengaruh apapun dapat digolongkan sebagai sikap radikal. Sikap ini dapat muncul karena berbagai latarbelakang yang mendasarinya. Dalam sejarah sikap radikal banyak ditunjukkan oleh oleh banyak tokoh ataupun golongan dalam memperjuangkan sesuatu. Para pejuang kita dahulu dalam memperjuangkan nasib bangsa untuk lepas dari penjajahan bangsa asing tidaklah mungkin tanpa sikap dan tindakan radikal. Para pahlawan kita seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Si Singamangaraja, Diponegoro, Hasanuddin, Pattimura, dan masih banyak lainnya adalah orang-orang yang radikalis karena memperjuangkan sesuatu secara gigih. Bagi pengikut atau kita semua bangsa Indonesia yang mengetahui perjuangan para pahlawan kita itu tentu sangat hormat atas perjuangan mereka dan atas jasanya tersebut para pejuang diberi penghormatan dan penghargaan sebagai kusuma bangsa. Namun bagi pihak lawan (penjajah) para pejuang kita adalah musuh dan harus dilenyapkan, dari sisi yang berlawanan penjajah juga adalah radikal dan bisa jadi mereka yang menjadi penjajah adalah pahlwan di negaranya. Dilihat dari konteks ini maka radikalisme adalah tergantung dari sisi mana dan siapa yang melihatnya.
Sebagai suatu paham yang mengakar tentang apa yang dianggap benar oleh para pihak tentu mengandung bahaya konfli karena masing-masing pihak beridiri pada pemahaman mereka secara diametral. Ketika sikap-sikap yang dipertahankan sulit untuk dikompromikan maka gesekan sederhana dapat menjadi pemicu timbulnya konflik. Dalam sejarah bangsa kita sikap-sikap radikalis itu disebabkan oleh faktor ketidakadilan khususnya dalam hubungannya antara masyarakat (warga negara) dengan pemerintah (konflik vertikal). Ketidakadilan merupakan faktor utama lahirnya sikap radikal. Sikap dan perilaku dari sekelompok orang yang ingin menguasai secara ekonomi, sosial dan politik serta sikap dan tingkahlaku yang tidak bersahabat, kurangnya tenggang rasa, tepa seliro dan etika menjadi pemicu timbulnya sikap radikalisme.
Radikalisme era perjuangan dengan masa kini tentu tidak berbeda bila merujuk pada makna gramatikalnya. Radikalisme kontemporer saat ini banyak ditilik secara leksikal sehingga makna radikalisme selalu dipandang negatif dan berbahaya. Sebagai negara bangsa yang menganut paham demokrasi, Indonesia sudah selelsai dengan masalah-masalah yang dapat memicu timbulnya keretakan sosial yang disebabkan oleh radikalisme. Ketidakadilan sebagai sumber konflik seharusnya sudah dapat diminimalisir oleh pemegang otoritas dalam negara. Semua pihan dan komponen dalam negara seharusnya dapat diayomi dengan baik pemerintah. Tidak ada pihak yang ingin bertindak untuk menguasai salah satu golongan plus sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak. Etika dalam kehidupan sosial perlu dibangun, sekap elitisme harus diganti dengan perilaku egaliter dan inklusif harus dikedepankan serta semangat libido dominandi (menguasai dan sewenang-wenang) harus dihilangkan. Dalam demokrasi kebersamaan, kesetaraan dan penghormatan kepada yang lain menjadi pilar yang penting untuk hidup bersama secara damai. Keserakahan ekonomi, politik dan sosial harus dikikis habis karena itu menjadi alasan bagi timbulnya radikalisme. Demokrasi harus tumbuh diatas keadilan, penghormatan atas hukum dan berlandaskan pada etika serta moral karena hanya dengan itulah hidup akan lebih bermakna dan jauh dari konflik.
Adanya segelintir orang yang menguasai sumber daya secara berlebihan dan membuat ketergantungan jutaan manusia kepada pihak yang segelintir itu apakah bukan pemicu timbulnya radikalisme?. Bila dipandang dari ketidakadilan sosial dan timbulnya ketergantungan tinggi maka tentu jawabannya adalah Ya. Jadi rasa keadilan yang menjadi faktor utama yang perlu dijaga oleh pemegang kekuasaan agar sikap destruktif dari radikalis itu bisa diminimalkan. Sebagai anak bangsa tentu kita tidak ingin adanya tirani, baik tirani mayoritas maupun minoritas minoritas. Kita tentu tidak berharap bahwa ada sekelompok orang yang sudah menguasai sumber ekonomi kemudian ingin juga berkuasa secara politik karena akan menjadi sumber konflik dimasa depan. Dalam hal ini kita perlu mencermati apa yang pernah dikatakan oleh Milton Friedman (ekonom AS) bahwa, “the combination of economic and political power in the same hands is a sure recipe for tyranny”. Kita sudah terlanjur memilih sistem demokrasi sebagai sistem politik kita maka hendaknya mari kita berkhidmat kepada sistem politik yang telah kita pilih itu untuk kebaikan bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H