Mohon tunggu...
Andi Darlis
Andi Darlis Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membaca Arah Puisi Panglima TNI

24 Mei 2017   05:55 Diperbarui: 24 Mei 2017   06:48 2878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

MEMBACA ARAH PUISI PANGLIMA TNI

Puisi berjudul 'Tapi Bukan Kami yang Punya' yang dibacakan oleh Panglima TNI dalam acara Rapimnas Golkar memiliki makna dan isi yang dalam. Bukan hanya sekadar puisi biasa tetapi mengandung refleksi kondisi bangsa kita sesungguhnya. Puisi itu ingin membawa kita pada suatu tingkat kesadaran sebagai bangsa bahwa sesungguhnya kita sedang terjajah, dalam puisi itu Panglima TNI ingin menyampaikan secara gamblang kepada kita semua bahwa Indonesia itu bukan milik kita lagi.  Sebagai bangsa yang masih memiliki rasa cinta kepada tanah tentu puisi itu menjadi alat “provokasi” untuk menghentakkan alam bawah sadar kita untuk kembali bangkit berdaulat. Oleh pihak tertentu ada yang mengatakan bahwa puisi Panglima TNI itu ibarat menepuk air didulang keciprat kemuka sendiri. Pernyataan ini seharusnya tidak perlu muncul dari elit kita sebab untuk memberikan penyadaran yang sesadar sadarnya memang memerlukan lecutan agar kita mau bangkit dan kembali ke koridor cita-cita nasional kita. Puisi Panglima TNI itu sangat sarat makna kebangsaan bahkan sudah merefleksikan seluruh persolalan kebangsaan saat ini. Soal Tri Sakti ajaran Bung Karno; berdaulat  di bidang politik, berdikari dibidang ekonomi dan berkepribadian dalam budaya Indonesia bila kita renungkan sesungguhnya sudah termuat lengkap dalam puisi tersebut. 

Puisi Panglima TNI adalah peringatan bahwa kita sesungguhnya dalam bahaya, pola penjajahan begitu senyap, kita sudah dirampok tetapi masih berlagak kita masih memiliki kekayaan yang kita bangga-banggakan. Sebagai prajurit TNI yang tidak lagi memiliki peran politik tentu pembacaan puisi itu adalah ungkapan hati dan dorongan nasionalisme TNI melihat kondisi negara yang semakin terancam. TNI sudah tidak laga berada di gelanggang politik dan tunduk pada otoritas sipil karena jaman sudah berubah TNI harus kembali ke fungsi utamanya sebab alur demokrasi negara kuat (strong state) dimana bentuk-bentuk otoritarian yang didominasi oleh militer digantikan oleh bentuk demokrasi yang ditandai oleh supremasi sipill (Charles Tilly). Tetapi sebagai bagian dari komponen bangsa yang memiliki andil besar dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan tentu TNI masih relevan jika memberikan masukan demi kedaulatan negara.

Dalam konteks bernegara isi puisi Panglima TNI itu ingin menegaskan bahwa TNI sangat loyal kepada negara dan juga memiliki tanggung jawab sosial kepada bangsa. Samuel Huntington pernah menulis bahwa terdapat 3 ciri profesionalisme militer: 1. Keahlian dalam bidang militer, 2. Tanggung jawab sosial, 3. Loyalitas. Jadi sesungghunya filosofi puisi Panglima TNI tersebut mengajak kita untuk sadar, bangkit dan berjuang bersama sebab tanpa kebersamaan tidak mungkin tujuan nasional dapat dicapai, bukankan kemerdekaan diraih dengan keterlibatan semua komponen bangsa?.

Sebagai negara bangsa kita harus memiliki kesadaran moral tinggi terhadap bangsa dan negara kita, setiap era/masa tentu memiliki tantangan yang berbeda namun jiwa nasionalisme sebagai bangsa tetap harus menjadi pondasi kuat didalam dada setiap insan warga negara Indonesia karena sebuah bangsa yang tidak memiliki kesadaran moral kebangsaan dan bela negara hanya akan membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan negara.

Dalam situasi bangsa yang demikian dimana perilaku korupsi telah bermetastasi diseluruh level birokrasi menunjukkan bahwa ada masalah dengan mental dan nasionalisme kita sebagai bangsa. Oleh sebab itu persoalan kepemimpinan menjadi penting untuk disikapi. Korupsi memiliki daya rusak yang kuat bagi sebuah bangsa yang masih dalam taraf membangun sehingga diperlukan kepemimpinan kuat dalam mengatasi persoalan akut ini. Pemimpin tentu memiliki tanggung jawab moral terhadap kondisi bangsa yang semakin memprihatinkan. Untuk itu semua kita mungkin perlu merenungi pernyataan Machiaveli, Empu Republikan Sejati bahwa” Jika seseorang menginginkan kejayaan yang abadi mintalah  kepada Tuhan supaya diizinkan hidup disebuah negara yang korup agar berkesempatan mengubahnya”. Bagi Machiaveli ujian sekaligus nilai tertinggi dari kepemipinan politik adalah kesanggupan untuk menghadapi dunia yang korup. Selamat berkontemplasi untuk bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun