Tidak lama lagi kaum muslimin akan berjumpa kembali dengan bulan Ramdhan bulan kesembilan dalam penanggalan Hijriyah. Ramadhan adalah bulan penyucian jiwa dan juga raga sehingga momentum ini tentu saja tidak boleh dilewatkan begitu saja makna. Ramadhan harus menjadi sarana untuk menempa jiwa menjadi bersih hingga menuntun  pikiran yang sehat kemudian melahirkan sikap dan  tindakan yang sesuai dengan tuntunan agama. Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW kembali dari perang Badar, beliau mengatakan kepada para sahabat kalau kita baru saja kembali dari perang kecil dan kita akan menuju dan berhadapan dengan perang yang jauh lebih besar, para sahabat pun bertanya perang apa gerangan ya Rasulullah bukankah ini perang  Badar perang yang besar dan menguras banyak energi dan korban?. Rasul pun menjawab bahwa perang yang terbesar adalah menghadapi hawa nafsu. Kaum Muslimin saat ini tentu tidak lagi harus berperang sebagaimana di jaman Rasululah SAW itu tetapi bagaimana bulan Ramadhan kali ini menjadi sarana untuk mengekang hawa nafsu kita agar dapat dikendalikan dan diarahkan kearah yang lebih baik, produktif dan menyejukkan.
Sepanjang akhir tahun 2016 dan awal semester pertama tahun 2017 kita dipertontonkan akrobat politik hingga menyeret persoalan sensitifitas rasa keber-agamaan kita sebagai bangsa yang menyebabkan masyarakat terpolarisasi  secara vis a vis yang sangat rentan perpecahan dan dapat meruntuhkan pilar-pilar persatuan.  Agama adalah driving force bagi umat dan setiap individu untuk tidak berperilaku destruktif, amarah yang tak terkontrol dan perkataan yang kurang mencerminkan sebagai penganut agama yang baik. Sebagai umat Muslim kita wajib mengembangkan watak profetis dalam kehidupan bermasyarakat. Profetisme (kenabian) mengandung nilai-nilai sosial yang sangat luhur seperti mengedepankan kepentingan umat dari kepentingan sendiri, menjaga nilai-nilai keadaban yang menjadi pengikat persatuan, berperilaku santun, adil dan penolong serta kebajikan lain yang sesuai dengan norma agama dan sosial. Watak-watak dasar tersebut hendaknya selalu kita rawat dan kembangkan sebagai nilai pribadi yang pada akhirnya akan berakumulasi menjadi nilai standar dalam masyarakat untuk dijadikan penuntun dalam menjalani kehidupan secara baik.
Ramadhan tahun ini sangat baik untuk menjadi sarana refleksi diri dengan mengembangkan nilai-nilai spiritual yang selama ini telah mulai langka dalam kehidupan masyarakat kita. Ramadhan adalah candradimuka bagi kaum muslimin untuk kembali menempa diri mengendalikan hawa nafsu, mengasah kepekaan sosial dan menuntun kejalan kearifan yang sangat berperan besar dalam menjalani kehidupan yang penuh dinamika. Ramadhan adalah sekolah untuk pendidikan karakter mulia bagi kaum Muslimin. Di dalam ramadhan sangat sarat dengan nilai-nilai pendidikan rohani yang apabila dijalani dengan upaya maksimal akan memunculkan ghirah yang akan menjadi penuntun kehidupan yang baik dan benar. Sebagai bangsa yang beragama dan mayoritas Islam, Ramadhan yang datang setiap tahun dapat menjadi ajang penddikan untuk kembali taat, patuh untuk menumbuhkan sakralitas bahwa hidup tidak hanya di dunia saja, ada kehidupan setelah mati. Hal ini akan menjadi kontrol bagi kita untuk senantiasa sadar dan selalu menjaga hubungan vertikal kita kepada Tuhan Yang Maha Esa dan hubungan horisontal kita dengan sesama manusia/mahkluk apapun agama dan keyakinannya. Ramadhan adalah katarsis untuk membuang semua sifat-sifat yang tidak baik sarana penyucian diri dengan tafakkur merenungi segala kesalahan untuk bertekad menjadi manusia-manusia tercerahkan di muka bumi. Selamat datang sekolah spiritual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H