Mohon tunggu...
Andi Chorniawan
Andi Chorniawan Mohon Tunggu... -

Y

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepuluh Hari yang Lalu

4 November 2013   14:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:36 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku sibuk menali rambutku yang panjang dengan karet. “Belum mendapat hidayah untuk potong rambut?” Ibu masuk ke dalam kamar dan meletakkan piring berisikan roti bakar di atas meja, lalu duduk disebelahku. “Belum…” Jawabku singkat mengambil roti bakar yang masih panas dengan garpu.

Ibu melihat ke arah asbak di meja yang penuh dengan puntung dan abu rokok, bahkan sudah tumpah karena tak mampu menampung isinya. Beliau menggeleng-gelengkan kepala dan bertanya kembali “Perokok itu, apa kalau sedang bersedih harus merokok sampai habis dua bungkus? Sudah sepuluh hari, sampai kapan kamu akan terus begini?” Sambil menghela napas, aku meletakkan garpu ke piring. “Besok aku kembali ke Bantul, mungkin akan lama disana.” Kualihkan pertanyaan Ibu, lalu berjalan ke belakang pintu mengambil jaket dan kembali ke tempat semula. “Pamit pergi keluar!” Ucapku sambil menjepit rokok di bibir. ”Nggak istirahat di rumah saja? Katanya besok mau kembali ke Bantul? Hey… hati-hati di jalan!” Suara Ibu tak mampu menghentikan keinginanku untuk pergi.

“Sudah sampai kontrakan.” Sambil meletakkan tas diatas kasur aku mengirim sms ke Ibu. Suasana kontrakan sangat sepi, entah ada dimana teman-temanku. Musik di handphone kuputar untuk memecah keheningan. Sambil bersenandung menikmati lagu, aku membuka sebungkus rokok yang masih utuh dari saku celana, kuambil sebatang lalu menyalakannya.  Senandungku berhenti saat aku hendak membuang abu rokok ke asbak. Mataku memandangi seisi ruangan kamar yang sudah kutempati selama tiga tahun dengan ekspresi kebingungan. Sepuluh hari yang lalu kamar kutinggalkan dalam keadaan berantakan. Namun sekarang kulihat kamar sangat rapi, tak ada debu di kasur, begitu pula lantai dan meja, asbak rokok bersih, dan yang paling aneh adalah kamarku beraroma harum. Aroma yang sudah tidak asing lagi bagiku.

Masih dalam perasaan bingung dengan keadaan kamar, aku mengirim sms untuk ketiga temanku. ”Aku ada di kontrakan, kalian dimana??” Udara menjadi dingin, penyakit menahun bersin-bersinku mulai kambuh. Kuputuskan untuk meninggalkan kamar sebentar dan menuju ke dapur membuat kopi untuk menghangatkan badan. Sambil menunggu air mendidih, kumasukkan kopi dan gula kedalam mug. Dari arah kamar suara musik berganti nada sms masuk. Aku bergegas kembali, kulihat tiga pesan dari teman-temanku yang semuanya mengabarkan bahwa mereka ada di rumah, salah satu dari mereka menjelaskan bahwa besok 4 November kampus libur. Mendengar kabar itu, wajahku menengadah ke langit-langit, meratapi kesendirian. Musik kembali berputar sebelum akhirnya handphoneku mati karena kehabisan baterai. Bersamaan itu pula kamar kembali sunyi, hanya terdengar bising suara kipas angin. Entah mengapa aku tak punya niatan untuk mengambil charger.

Jam dinding menunjukkan pukul 21.00 malam. Kuambil laptop dari dalam tas, lalu meletakkannya di atas meja. Dan kembali aku menyalakan rokok lalu menghisapnya dengan mata terpejam, satu hisapan lalu dua hisapan. “Klek…” Kubuka mataku,  telingaku mencoba mencari arah suara itu berasal.

“Airku…” Aku tersentak kaget lalu melangkah dengan tergesa-gesa ke dapur. Sesampainya disana, kompor sudah dalam keadaan mati dengan tuas pemutar pada posisi off, kulihat kepulan uap panas air dari panci itu. Segera aku berkeliling ruangan. Setiap pintu kamar terkunci begitu pula dengan pintu masuk depan dan belakang. “Siapa yang mematikan kompor??” Gumamku. Dengan wajah sedikit ketakutan, aku kembali ke dapur, menuangkan air panas ke dalam mug dan mengaduknya, lalu bergegas kembali kamar.

Kopi panas kuletakkan disamping kipas angin. Suasana hening membuat kejadian matinya kompor di dapur berputar-putar di otakku. Kunyalakan laptop yang sudah kusambungkan pada kabel speaker dan memutar lagu-lagu milik Bon Jovi. Tiba-tiba handphone disamping laptop berbunyi, bersamaan itu pula suara musik laptop berhenti. “Deg….” Sesaat aku merasa tidak bernyawa, bulu kudukku berdiri. Bunyi dan getaran handphone itu semakin lama semakin mengeras. Sambil menjepit rokok di bibir aku memberanikan diri meraihnya. Suara dan getarannya tiba-tiba berhenti, layarku tampak gelap, lalu sesosok bayangan menampakkan diri. Wajahnya putih pucat, berambut poni dengan bando merah, matanya sayu, tubuhnya tinggi semampai dibalut kaos bergaris horizontal hitam putih. Sosok itu diam memandangku dengan datar, kemudian memunculkan lesung pipit di pipinya lalu perlahan menghilang.

Lagu terlantun kembali, entah bagaimana berganti menjadi lagu akustik Incubus - I Miss You. Aku mematikan rokok lalu berbaring diatas kasur, tanganku memegang handphone dengan erat. Ketika memejamkan mata, air menetes di kedua pipiku. “Apa kamu merindukan aku? Bawalah aku bersamamu. Bawalah…” Lampu kamar padam dengan sendirinya, tercium kembali aroma harum minyak telon. Kurasakan sentuhan hangat memelukku, hingga aku pun terlelap.

“Nak bangun nak...” Seorang kakek tua menepuk-nepuk pundakku. Sinar matahari menyilaukan mataku, aku bangkit perlahan. “Kakek siapa??” Tanyaku pelan. “Aku penjaga pemakaman ini nak, apa yang kamu lakukan disini? Rumahmu dimana??” Jawab kakek itu dengan ekspresi kebingungan. "Hei nak... hei nak..." Aku bergeming, air mataku mengalir tak tertahan ketika melihat sebuah batu nisan tepat disamping kananku. Batu nisan yang sudah pernah kulihat sepuluh hari yang lalu... batu nisan tunanganku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun