Dalam konteks pembangunan nasional, pada hakekatnya pendidikan mempunyai fungsi: Pemersatu bangsa,Penyamaan kesempatan, Pengembangan potensi diri. Dalam hal ini, pendidikan diharapkan dapat memperkuat keutuhan bangsa dalam kesatuan NKRI.
Selain itu, dari pendidikan juga diharapkan dapat memberi kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dan memungkinkan setiap warga negara untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal.
Untuk itu, dalam rangka mewujudkan visi dan menjalankan misi pendidikan nasional, diperlukan suatu acuan dasar (benchmark) oleh setiap penyelenggara dan satuan pendidikan, yang antara lain meliputi kriteria minimal berbagai aspek yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan. Dalam kaitan ini, kriteria penyelenggaraan pendidikan dijadikan pedoman untuk mewujudkan:
1.Pendidikan yang berisi muatan yang seimbang dan holistik;
2.Proses pembelajaran yang demokratis, mendidik, memotivasi, mendorong kreativitas, dan dialogis;
3.Hasil pendidikan yang bermutu dan terukur;
4.Berkembangnya profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan;
5.Tersedianya sarana dan prasarana belajar yang memungkinkan berkembangnya potensi peserta didik secara optimal;
6.Berkembangnya pengelolaan pendidikan yang memberdayakan satuan pendidikan; dan
7.Terlaksananya evaluasi, akreditasi dan sertifikasi yang berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan.
8.Acuan dasar tersebut diataslah kemudian berwujud sebagai standar nasional pendidikan di Indonesia.
Pedoman yang digunakan sebagai kriteria penyelenggaraan pendidikan dalam mewujudkannya disebut dengan standar nasional pendidikan.
Pada dasarnya standar nasional pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu serta bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Dengan adanya standar nasional pendidikan diharapkan dapat memacu pengelola, penyelenggara, dan satuan pendidikan agar dapat meningkatkan kinerjanya dalam memberikan layanan pendidikan yang bermutu, mendorong terwujudnya transparansi dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, serta mewujudkan keadilan dan pemerataan pendidikan sebagaimana pendapat Tilaar (2006) yang menyatakan bahwa standardisasi pendidikan didalam pelaksanaannya ternyata bukan hanya sebagai alat untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai pemerataan pendidikan yang bermutu.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, dinyatakan bahwa lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi: (1) Standar Isi; (2) Standar Proses; (3) Standar Kompetensi Lulusan; (4) Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan; (5) Standar Sarana dan Prasarana; (6) Standar Pengelolaan; (7) Standar Pembiayaan; dan (8) Standar penilaian pendidikan. Dalam penerapannya, standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global, sehingga dalam rangka penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan maka dilakukan juga evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi.
Dengan kondisi tertentu, sebagian besar pihak mempercayai bahwa standarisasi pendidikan akan meningkatkan kualiatas proses belajar mengajar (Tilaar, 2006). Namun, walaupun standar nasional pendidikan merupakan acuan dasar (benchmark) bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, standar nasional pendidikan hanya sebatas memuat kriteria minimal tentang komponen pendidikan yang memungkinkan setiap jenjang dan jalur pendidikan untuk mengembangkan pendidikan secara optimal sesuai dengan karakteristik dan kekhasan programnya. Begitupula kegiatan akreditasi, hanya dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan yang dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka, sehingga baik standar pendidikan nasional maupun kegiatan akreditasi tidak akan menghambat diciptakannya perbedaan-perbedaan dalam penyelenggaraan pendidikan.
Bagi Perguruan Tinggi misalnya, standar nasional pendidikan tinggi diatur seminimal mungkin untuk memberikan keleluasaan kepada masing-masing perguruan tinggi dalam mengembangkan mutu layanan pendidikannya sesuai dengan program studi dan keahlian dalam kerangka otonomi perguruan tinggi, yang mana dalam prakteknya masing-masing perguruan tinggi dapat menyelenggarakan pendidikan secara berbeda dan menghasilkan lulusan yang memiliki ciri khas tertentu dibandingkan lulusan pendidikan tinggi lainnya.
Demikian juga standar nasional pendidikan untuk jalur pendidikan nonformal, hanya mengatur hal-hal pokok dengan maksud memberikan keleluasaan kepada masing-masing satuan pendidikan pada jalur pendidikan nonformal yang memiliki karakteristik tidak terstruktur untuk mengembangkan programnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Begitupula penyelenggaraan pendidikan jalur informal yang sepenuhnya menjadi kewenangan keluarga dan masyarakat, didorong dan diberikan keleluasaan dalam mengembangkan program pendidikannya sesuai dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat, yang mana standar nasional pendidikan pada jalur pendidikan informal hanya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pengakuan kompetensi peserta didik saja.
Permasalahan standar nasional pendidikan dan akreditasi ini, juga erat kaitannya dengan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) bagi peserta didik tingkat menengah pertama (SMP/MTS/SMPLB) dan tingkat menengah atas (SMA/ SMK/MA/SMALB). Program nasional yang dicanangkan sejak tahun 2003 ini memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.Sebagai pengendalian mutu dalam sistem pendidikan atau menjadi salah satu mekanisme dan instrumen pengendalian mutu lulusan agar sesuai dengan kualifikasi atau standar minimal yang telah ditetapkan.
2.Sebagai instrumen akuntabilitas atau untuk menyampaikan informasi kepada orang tua dan masyarakat mengenai keberhasilan dan manfaat dari dana yang dikeluarkan untuk pendidikan dan menginformasikan kemajuan dan kemunduran prestasi akademik para lulusan setiap tahunnya.
3.Sebagai bahan pertimbangan untuk seleksi, penempatan, dan penjurusan peserta didik atau dapat dimanfaatkan pula sebagai bahan pertimbangan untuk menerima atau menolak seorang lulusan yang mendaftar ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau melamar pekerjaan.
4.Sebagai alat diagnostik atau berupa analisis statistik terhadap ujian akhir untuk mengevaluasi sistem maupun kebijakan yang telah diambil, serta mengidentifikasi variabel-variabel yang menentukan keberhasilan pada suatu kebijakan maupun pada sistem secara keseluruhan.
5.Sebagai evaluasi eksternal atau sebagai alat pendorong atau pemberi motivasi kepada peserta didik untuk belajar lebih sungguh-sungguh dan memotivasi guru untuk mengajar lebih sungguh-sungguh dalam mencapai standar nasional minimal yang telah ditetapkan, termasuk diharapkan pula berfungsi sebagai alat pendorong kepada orang tua murid dalam mempersiapkan masa depanya.
Dalam kenyataannya, berkaitan dengan lima fungsi UAN diatas, sampai saat ini masih tetap menuai kritikan dari berbagai pihak, mulai dari regulasinya yang disinyalir masih penuh dengan kontroversi (Darmaningtyas, 2006), mata pelajaran yang diujikan dianggap tidak mungkin memberikan informasi menyeluruh tentang perkembangan peserta didik sebelum dan setelah mengikuti pendidikan (Arif, dkk, 2008), sampai pada pemberlakuan standar kelulusannya yang dianggap masih kurang tepat karena relatif tingginya disparitas mutu pendidikan antardaerah di Indonesia (Ki Supriyoko,2004).
Walaupun sifat UN berlaku secara nasional atau bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi, hal ini tidak akan menghambat diciptakannya perbedaan-perbedaan yang dapat ditonjolkan oleh masing-masing sekolah, terutama perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing lulusannya. Dengan hanya mengujikan mata pelajaran dasar, seperti matematika dan bahasa Indonesia, masih dimungkinkan sekolah-sekolah memiliki ciri khas tersendiri baik dalam menciptakan strategi khusus untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki keunggulan tertentu maupun dalam pelaksanaan proses pembelajarannya, termasuk dalam menghadapi UN, masing-masing sekolah dimungkinkan untuk memiliki strategi yang berbeda dari sekolah lainnya dalam mempersiapkan peserta didiknya menghadapi dan berhasil lulus setelah mengikuti UN.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa baik standar nasional pendidikan, kegiatan akreditasi maupun UN yang diberlakukan pada penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, tidak akan menghambat diciptakannya suatu perbedaan-perbedaan, sangat terbuka kesempatan bagi penyelenggara pendidikan untuk menyelenggarakan pendidikan yang berorientasi pada perbedaan, terutama di sekolah dan perguruan tinggi. Baik sekolah, perguruan tinggi sampai kepada program studi masih berkesempatan memiliki visi dan misi yang disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai pada masing-masing penyelenggara pendidikan tersebut, yang mana atas perbedaan visi dan misi tersebut, tentunya mensyaratkan adanya perbedaan kurikulum, serta proses penyelenggaraan pendidikan, sehingga kompetensi yang dimiliki lulusan pun dapat berbeda pada masing-masing penyelenggara pendidikan di setiap daerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H