Mohon tunggu...
Andi Caisar Pahlevi Wiratama
Andi Caisar Pahlevi Wiratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa IPB University

Seorang mahasiswa Biokimia yang senang mengulik luasnya cakrawala ilmu pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Prospek dan Tantangan Industri Media dan Hiburan Halal di Indonesia: Perspektif Hukum

20 Maret 2024   21:00 Diperbarui: 20 Maret 2024   21:06 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Media dan hiburan merupakan suatu objek yang tidak bisa lepas dari aktivitas yang dilakukan setiap orang dalam kehidupan sehari-harinya. Media dan hiburan ini saling melengkapi untuk pemenuhan kebutuhan dalam hal informasi dan penghilang rasa lelah. Media menjadi sumber informasi yang dibutuhkan seseorang dalam kegiatan sehari-sehari, dan hiburan dapat menjadi sarana pelepas penat dari berbagai aktivitas yang cukup padat dan melelahkan.

Perkembangan teknologi yang kian maju kini memudahkan manusia untuk dapat menggunakan kedua objek tersebut. Hanya berbekal media kotak kecil canggih (Smartphone) yang mudah dibawa kemana-mana kita dapat mengakses berbagai media informasi dan hiburan dengan mudah. Meningkatnya penggunaan ponsel pintar tersebut mendorong peningkatan konsumsi pada media dan hiburan, dan hal ini sejalan dengan meningkatnya pasar industri media dan hiburan halal.

Menurut laporan State of the Global Islamic Economy Report 2023/2024, umat Islam global menghabiskan sekitar US$247 miliar pada tahun 2022 untuk media dan rekreasi, dengan perkiraan mencapai US$344 miliar pada tahun 2027. Pengeluaran tersebut sebagian besar berasal dari Turki, Amerika Serikat, Rusia, Arab Saudi, Inggris, Indonesia, Jerman, Perancis, Mesir, dan Iran. Indonesia pada tahun 2018 tidak masuk dalam 10 besar penyedia di antara 15 negara teratas dalam layanan industri halal global, termasuk dalam sektor media & rekreasi halal. Namun, SGIER 2023/2024 menunjukkan peringkat Indonesia yang mengalami peningkatan signifikan menjadi peringkat ke-6 dalam indikator media dan rekreasi.

Meskipun Indonesia telah mencapai posisi ke-6 dalam Global Islamic Economy Index (GIEI), masih ada banyak pekerjaan yang perlu dilakukan agar bisa menjadi pusat industri halal global. Salah satu langkah penting adalah dengan mengembangkan sektor industri media dan rekreasi halal. Untuk menciptakan iklim media yang sesuai dengan prinsip syariah, diperlukan kerangka hukum komprehensif yang dirumuskan oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya di sektor publik.

Hingga saat ini, peraturan pemerintah yang mengatur industri media dan hiburan di Indonesia masih cenderung terpusat pada industri konvensional. Undang-undang yang mengatur bidang penyiaran meliputi UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Namun, aturan-aturan yang ada masih bersifat umum dan tidak spesifik terkait aspek industri dan media halal. Meskipun terdapat beberapa aturan yang menyentuh mengenai agama, seperti dalam UU No. 33 Tahun 2009 Pasal 41 ayat 1 tentang pencegahan film impor yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, serta Pasal 48 yang menekankan kewajiban pelaku perfilman untuk menghormati nilai agama dan moral, aturan-aturan tersebut masih bersifat umum dan tidak mengatur secara spesifik industri media dan hiburan halal.

Oleh karena itu, penting untuk membuat undang-undang yang lebih spesifik mengenai industri media dan hiburan halal. Hal ini diperlukan karena aturan-aturan yang ada saat ini masih bersifat umum dan lebih bersifat anjuran dalam menjaga industri media dan hiburan agar senantiasa menghormati nilai-nilai agama. Sebuah undang-undang yang lebih spesifik dapat memberikan pedoman yang jelas bagi pelaku industri untuk mengembangkan produk-produk yang sesuai dengan prinsip-prinsip halal dan mendukung pertumbuhan industri media dan hiburan halal di Indonesia.

Menurut teori "The Effectiveness of Law" yang dikemukakan oleh Anthony Allot pada tahun 1981, keefektifan suatu peraturan tergantung pada penerapan kelembagaan hukum secara optimal. Hukum memiliki tiga fungsi utama, yaitu preventif, kuratif, dan fasilitatif. Fungsi preventif berarti hukum harus dapat mencegah individu untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum. Fungsi kuratif berarti hukum harus memberikan mekanisme yang tepat untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul. Sementara itu, fungsi fasilitatif berarti hukum harus memfasilitasi individu dalam melakukan tindakan yang legal.

Saat ini, kerangka regulasi untuk industri media dan rekreasi halal di Indonesia masih jauh dari ideal menurut teori Anthony Allot. Regulasi yang ada masih berfokus pada industri konvensional. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang lebih spesifik untuk industri media dan hiburan halal. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan pembentukan Undang-Undang yang mengatur industri ini secara khusus. Dengan adanya Undang-Undang, sanksi yang jelas dapat diterapkan bagi pelaku industri yang melanggar. Selain itu, fatwa dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) juga perlu dijadikan sebagai hukum yang mengikat bagi umat Islam di Indonesia.

Dengan kerangka hukum yang jelas, lembaga industri ini dapat lebih terstruktur dengan baik. Hal ini dapat membantu memanfaatkan potensi yang ada untuk mendorong pertumbuhan ekonomi negara dan mewujudkan visi Indonesia sebagai pusat industri halal global.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun