[caption id="attachment_334105" align="aligncenter" width="556" caption="-Ilustrasi, Seorang Mahasiswa asal Indonesia tengah melihat surat suara di kawasan Lund University, Swedia (KOMPAS.com/Antony Lee)"][/caption]
Sistem pengamanan terkait keamanan kotak suara di luar negeri picu terjadinya kecurangan. Meskipun kantor perwakilan Indonesia di luar negeri dengan sistem keamanan 1x24 jam dan dilengkapi kamera pengawas CCTV, kotak suara tetap terindikasi tidak aman karena berada dalam kondisi tidak digembok dan hanya disegel asal-asalan. Bahkan, segelnya mudah digunting dengan gunting tumpul sekalipun.
Pemungutan suara di luar negeri yang dipercepat mulai 30 Maret hingga 6 April 2014 (pemungutan suara melalui TPS dan Dropbox serentak diadakan pada 6 April 2014 di wilayah kerja KJRI Johor Bahru) dimaksudkan untuk menjaring lebih banyak pemilih dibanding pemilu sebelumnya. Alasan ini dikhawatirkan oleh sejumlah pengamat sebagai peluang bagi pihak caleg atau partai tertentu melakukan kecurangan. Pencoblosan lebih awal dari jadwal sebenarnya berpotensi terjadi kecurangan yang bisa merugikan parpol peserta pemilu tertentu akibat kurangnya pengawasan independen dan perhatian masyarakat.
Jadwal pemungutan suara di luar negeri dipercepat dengan alasan meingkatkan partisipasi Warga Negara Indonesia di luar negeri dalam menggunakan hak pilihnya sekali dalam lima tahun. Para pemilih di luar negeri memberikan hak suaranya menggunakan salah satu dari tiga cara yang sudah ditentukan oleh Pokja Panitia Pemilihan Luar Negeri bersama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pertama, WNI sebagai calon pemilih datang langsung ke TPS. Kedua, mereka mencoblos menggunakan dropbox. Ketiga, mereka menggunakan hak pilihnya melalui pos.
Saat pemungutan suara berlangsung, kelompok penyelenggara pemungutan suara luar negeri (KPPSLN) terpaksa harus menjemput para calon pemilih karena tak kunjung datang ke TPS sehingga memungkinkan terjadinya kesepakatan tertentu. Peluang kecurangan lain adalah penggelembungan suara karena adanya renggang waktu beberapa hari sebelum kotak suara dibuka pada 9 April 2014. Kamera CCTV yang terpasang belum tentu bisa menjamin kertas dan kotak suara aman seratus persen dari manipulasi. Bagi orang-orang tertentu yang punya niat tidak baik tentu mudah menyiasati teknologi kamera CCTV.
Dropbox (kotak suara jemputan) yang dibawa oleh petugas dropbox dari KJRI ke kilang/perusahaan dan ladang kelapa sawit sentra TKI selama 2-3 hari turut memicu terjadinya kecurangan. Petugas dropbox disebar serentak ke wilayah kerja perwakilan pemerintah RI, mereka berangkat pada 5 April 2014 dan sebagian kembali pada 7 April 2014. Ditambah lagi dengan terbatasnya personel PPLN dan lemahnya pengawasan Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu) luar negeri semakin menguatkan dugaan terjadinya kecurangan.
Pemungutan suara melalui pos disinyalir paling rawan terjadi kecurangan. Ketidakjelasan pengawasan terhadap pergerakan surat suara sejak dari perwakilan pemerintah RI ke rumah-rumah majikan para TKI hingga surat suara yang dikirim pemilih tersebut bisa benar-benar surat suara pemilih yang bersangkutan ketika sampai kembali di KJRI atau KBRI.
Kecurangan bisa juga terjadi di ladang, kilang (perusahaan) dengan cara memobilisasi massa pendukung partai tertentu. Apalagi, ada ribuan WNI yang memiliki hak pilih di luar negeri tetapi tidak bisa menggunakan hak suaranya karena berbagai alasan, diantaranya tidak mendapat ijin dari perusahaan. Hak suara yang tidak mereka gunakan itu picu terjadinya manipulasi oleh pihak tertentu untuk menggelembungkan perolehan suara salah satu parpol.
Kekhawatiran tersebut sangat beralasan. Namun demikian, masyarakat menaruh harapan kepada para petugas PPLN benar-benar menjalankan fungsinya secara professional. Demikian pula, masyarakat tentu saja berharap kepada Panwaslu mampu melakukan pengawasan dengan jujur sehingga tidak tergoda iming-iming melakukan kecurangan dengan hadiah dalam bentuk apapun (*)
Oleh: Andi Anto Patak
Dosen UNM