Di situ, gue ngeliat anak-anak kecil dari kasta ekonomi yang rendah sedang menikmati sore mereka bermain-main petak-umpet. Yes, main petak-umpet di trotoar depan Plaza Indonesia. Bermain dan bercanda dengan keterbatasan finansial mereka, di areal yang menjadi lambang hedonisme kota Jakarta.
Entah kenapa, gue merasa kalau anak-anak di trotoar itu terlihat lebih bahagia daripada anak-anak kecil di dalam coffee-shop ini yang cuma terpaku di depan layar gadget mereka.
Terisolasi oleh teknologi, dimana teman masa kecil mereka hanyalah benda mati yang memberikan mimpi untuk dijalani sendiri. Terpenjara dalam balutan modernisasi jaman.
Kembali ke waktu gue masih anak-anak, dan gue senang-senang main badminton atau layangan (baik di sekolah dan di rumah). Ngabisin sisa hari sama teman-teman sekolah atau teman-teman di lingkungan rumah gue.
Capek, keringat, kotor.
Tapi, itu semua terasa lebih seru dan bisa bikin gue senyum lebih lebar di malam harinya daripada saat gue mojok di depan TV ditemani Sega atau Super Nintendo.
Cuaca lagi ngga bersahabat, dan yang bisa gue lakukan hanya tercenung diam.
Segelas Iced Signature Chocolate, sebungkus Marlboro Black Menthol, dan sebuah laptop Dell yang memainkan musik-musik di iTunes secara random.
Dan gue tiba-tiba kangen masa kecil gue…
-Jakarta, 25 April 2012-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H