Memperingati hari sumpah pemuda yang ke-87 pada 28 Oktober 2015, sangat penting bagi kita untuk melihat dan membuka kembali lembaran-lembaran kisah perjuangan bangsa Indonesia terutama perjuangan pemuda kebanggan pemuda Indonesia kali ini. Membuka kembali berarti kita diminta dan dituntut untuk memahami dan memaknai sejarah perjalanan bangsa ini, khususnya mengenai keterlibatan pemuda-pemuda kita dalam usaha mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, melaksanakan proklamasi kemerdekaan Indonesia dan yang paling penting adalah usaha untuk -seok dan berhadapan dengan berbagai masalah yang menuntutnya berusaha semakin mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang hingga saat ini masih kokoh berdiri meski kadang terseok keras, memeras keringat, dan membutuhkan energi lebih (magis semper) untuk tetap menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menuju cita-cita awal bangsa ini seperti yang diamini oleh para Founding Fathers kita.
Pekerjaan yang sangat sulit dilaksakan saat ini adalah bagaimana kita mewujudkan amanat pendiri bangsa kita itu. Para pemuda pada tahun 1928 bersatu dan memberontak menyerukan terwujudnya Indonesia yang merdeka, karena mereka sadar dan merasakan secara langsung bagaimana mereka tertindas di tanah sendiri, hingga pada akhirnya mereka bersumpah dan bertekad untuk berjuang melawan kolonialisme yang semakin merajalela saat itu. Usaha itu berhasil, penjajah diusir, Indonesia pun merdeka.
Pada hari ini, para pemuda diseluruh penjuru tanah air, memperingati dan merayakan peristiwa sakral itu dengan bangga sambari membusung dada, karena hari ini adalah hari mereka, yang mengaku memiliki jiwa muda. Hal ini sangat ironis, dan berbanding terbalik dengan kondisi dan keadaan negara kita saat ini. Pemuda kita sekarang ini masih tertinggal jauh jika dibandingkan dengan kaum muda angkatan 1928 tentang semangat cinta tanah air dan patriotisme. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut maka, penulis berkesimpulan bahwa beberapa tahun kedepan Indonesia bisa terpecah seperti halnya Rusia dan Yugoslavia dahulu.
Indonesia harus berkaca kepada kedua negara ini. Indonesia harus sesegera mungkin menyadarkan kaum mudanya agar respect terhadap masalah-masalah yang terjadi dilingkungan sekitarnya. Indonesia bukan hanya pemerintah, Indonesia bukan tokoh-tokoh tertentu, Indonesia bukan golongan-golongan tertentu, tetapi Indonesia adalah kita semua. Kita semua yang lahir, bertumbuh dan berkembang di bumi Indonesia hingga saat ini. Pertanyaannya, apa yang bisa kita lakukan? Jawabanya jelas, berpegang teguh pada pancasila sebagai ideologi negara, dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusionalnya.
Trend perang jaman sekarang
Sangat penting bagi kita untuk mengetahui bahwa perang sesungguhnya adalah sekarang ini. Oleh karena itu, sebagai pemuda yang tidak hanya ingin menikmati hasil perjuangan pemuda-pemuda terdahulu, mari kita merefleksi terkait masalah-masalah disekitar lingkungan tempat tinggal kita, supaya kita sadar dan semangat kita meletup-letup menyuarakan peperangan terhadap perang yang tanpa kita sadari masih terus dan tetap berlangsung hingga saat ini.
Perang jaman dahulu terdiri atas tiga jenis yang bertahan hingga perang dunia kedua berakhir. Pertama, perang konvesional. Perang ini melibatkan dua orang satu lawan satu berhadapan. Terjadi pada jaman Yunani kuno yang mengandalkan taktik dan senjata seadanya. Kedua, perang asimetris. Perang ini melibatkan dua kelompok yang kekuatannya tidak seimbang, yang kuat melawan yang lemah. Ketiga, perang hibrida. Perang ini merupakan perang yang menggabungkan perang konvensional dan perang asimetris untuk tujuan tertentu. Keempat, perang proxy (Proxy War)
Proxy War adalah perang yang sedang kita hadapi saat ini dan menurut penulis Proxy War ini merupakan perang dunia ketiga yang telah menjadi ketakutan luar biasa para peneliti, pemerhati perdamaian dunia, dan seluruh penghuni dunia ini. Proxy War ini sendiri merupakan sebuah konfrontasi antara dua kekuatan besar yang tidak saling berhadapan namun menggunkan pemain pengganti atau pihak ketiga dalam mengalahkan musuh untuk menghindari kecaman dunia internasional jika melakukan perang terbuka (Perang Konvesional). Pemeran atau aktor yang dijadikan sebagi pemeran pengganti dalam Proxy War ini adalah negara kecil, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Masyarakat (ORMAS), Kelompok Masyarakat, dan perorangan. Hal ini sangat menakutkan memang, pertanyaannya adalah apakah Proxy War ada di Indonesia?
Proxy War sangat nyata terlihat di Indonesia, tetapi kita tidak pernah menyadarinya. Tanpa kita sadari kita bahkan pernah dan sering terlibat dalam Proxy War ini. Contoh konkret yang semestinya kita ketahui bersama adalah: pertama, lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Ada pihak yang tidak bertanggung jawab memprovokasi terjadinya usaha-usaha pemisahan diri dari NKRI untuk satu tujuan, yaitu ladang minyak disalah satu bagian negara Timor Timur. Siapa yang mengelolah ladang minyak itu sekarang?
Kedua, demonstrasi buruh dimana-mana menuntut kenaikan gaji irasional, penghapusan kontrak kerja, pemberian insetif bulanan, mogok kerja dan penggantian manajemen perusahaan dengan cara intimidasi. Hal ini terbukti dengan munculnya kampanye internasional yang menyerukan pemboikotan perusahaan kelapa sawit Indonesia. Siapa yang mengendalikan produksi sawit Indonesia sekarang?.
Ketiga, FTTC (Framework Convention on Tobacco control) yang menekan dan memberlakukan pembatasan produksi rokok nasional yang berujung pada pemboikotan perusahaan rokok tanah air. Ada apa dibalik masalah usaha ini?