Mohon tunggu...
Andi Andur
Andi Andur Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Seorang pemimpi yang berharap agar tidak pernah terbangun dari tidur...

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Surabaya, Kota Postmodern yang Menjunjung Tinggi Pluralisme

25 Februari 2016   22:20 Diperbarui: 25 Februari 2016   22:30 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Gambar: wisataindo.com"][/caption]Dalam bukunya: “Obrolan Urban, Tiada Ojek di Paris” Seno Gumira Ajidarma mengupas tuntas arti kota dalam konteks Kajian Budaya. Dalam bukunya ini memang mau menekankan posisi Ibu Kota Jakarta dalam tiga kategori kota kontemporer. Hal ini menginspirasi penulis untuk mendalami juga hal ini tetapi dengan menempatkan Surabaya sebagai objek kajian. Ia menjelaskan bahwa kota dalam konteks Kajian Budaya adalah kota kontemporer, yang berarti kota sebagai bagian dari proses urbanisasi dalam modernitas, dengan kebudayaan yang terhubungkan dengan modernisme. Sehingga berdasarkan kategorisasi seperti ini beliau menyimpulkan tiga tipe kota, yaitu Inner City, Postmodern City, dan Global City.

Inner City adalah suatu kota “Modern” yang umumnya dipahami sebagai wilayah-wilayah pengembangan dari suatu pusat dan dihuni berbagai jenis atau kelas dalam masyarakat. Akibatnya, berbagai kelompok kelas social menghuni wilayah tertentu yang spesifik dan diseleksi berdasarkan penghasilan. Dalam konteks ini, masyarakat kelas bawah atau golongan miskin lebih mendominasi pusat kota sementara masyarakat kelas menengah mendominasi daerah pinggiran. Surabaya, tidak termasuk dalam kategori ini karena yang lebih mendominasi pusat kota adalah masyarakat kelas menengah keatas meski sepersekian persen dibeberapa wilayah tertentu dihuni oleh masyarakat kelas bawah atau golongan miskin.

Global City dapat digambarkan sebagai strukturisasi dan restrukturisasi ruang, yang diberlakukan sebagai lingkungan melalui tersebarnya kapitalisme industry. Intinya adalah perusahaan-perusahaan kapitalis mempertimbangkan lokasi dan kemungkinan-kemungkinan ekonomi lebih lanjut. Upah buruh lebih murah, organisasi buruh yang lemah, dan konsensi pajak yang kemudian mengarahkan perusahaan untuk lebih menyukai satu lokasi dibandingka yang lain, untuk membangun pabrik, pasar, maupun pengembangan usaha. Ini merupakan konsekuensi pertumbuhan nominal maupun cakupan dari lembaga capital global, konsentrasi geografis capital dan ekstensi pencapaian global melalui transport dan telekomunikasi. Sehingga keuangan dan perbankan secara otomatis menentukan klaim sebuah kota atas peran globalnya(Seno, 2015, hal.19).

Surabaya merupakan kota postmodern atau kota Pascamodern dimana apa yang disebut de-industrialisasi dan re-industrialisasi dalam konteks ekonomi global, telah mengubah basis ekonomi kota menuju kombinasi industry teknologi tinggi dengan industry keterampilan rendah yang mengandalkan buruh dan rancangan yang sensitive. Dalam hal ini pekerjaan, permukiman, system transportasi,  dan garis pemisah etnik etawa rasial ditandai oleh restrukturisasi dan redistribusi seperti apa yang dikatakan Barker (2004: 23-5).

Hal ini tidak bisa kita pungkiri mengingat isi dari kerangka baru fragmentasi, segregasi, dan polarisasi social menunjukkan bahwa kondisi kelas menengah kota Surabaya mengalami pengerutan, sementara gelandangan, buruh murah dan siapa pun yang bergantung pada dinas social semakin berkembang seiring dengan banyaknya pendatang yang mengisyaratkan keberbedaan etnik semakin terasa.

Surabaya adalah kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Kota Surabaya juga merupakan pusat bisnis, perdagangan, industri, dan pendidikan di Jawa Timur serta wilayah Indonesia bagian timur. Kota ini terletak 796 km sebelah timur Jakarta, atau 415 km sebelah barat laut Denpasar, Bali. Surabaya terletak di tepi pantai utara Pulau Jawa dan berhadapan dengan Selat Madura serta Laut Jawa.

Surabaya memiliki luas sekitar 333,063 km² dengan penduduknya berjumlah 2.909.257 jiwa (2015). Daerah metropolitan Surabaya yaitu Gerbangkertosusila yang berpenduduk sekitar 10 juta jiwa, adalah kawasan metropolitan terbesar kedua di Indonesia setelah Jabodetabek. Surabaya terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan karena sejarahnya yang sangat diperhitungkan dalam perjuangan Arek-Arek Suroboyo (Pemuda-Pemuda Surabaya) untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah. Hal ini semakin memperkuat spekulasi penetapan Surabaya sebagai Kota Postmodern, sebagai pintu masuk Indonesia Timur membuat Surabaya menjadi salah satu kota tujuan pendatang yang melakukan urbanisasi selama ini. Tidak menutup kemungkinan, kahadiran pendatang ini semakin mewarnai kehidupan kota Surabaya menjadi lebih pluralis.

Secara lebih umum, Bauman (1992:31) menetapkan kebudayaan postmodern antara lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang dalam segi otoritas yang mengikat secara universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, merujuk pada polivalensi tafsiran, didominasi oleh media dan pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa.

Salah satu ciri utama postmodern adalah pluralisme. Dalam paham postmodernisme, perbedaan sangat dijunjung tinggi dan persamarataan sangat diharamkan. Karena bagi mereka, postmodernist,  bahwa keseragaman justru akan menghasilkan suatu yang monoton sedangkan hidup dalam perbedaan akan menghasilkan variasi –variasi tersendiri. Selanjutnya postmodern juga melepas estetika, dari persepsi tentang keindahan menuju pada pluralisme makna (Widagdo, 2006, hal. 3 ).

Mengacu pada pendapat Bauman dan ciri postmodern Widagdo tersebut, semakin membuktikan bahwa Surabaya memang adalah kota postmodern yang menjunjung tinggi pluralisme. Tidak adanya kriminalitas dan kemungkinan terjadinya kerusuhan massal karena pusat kota hanya dihuni kelas bawah atau golongan miskin, dan kurangnya pengaruh kapitalis industry  menunjukkan bahwa kondisi Surabaya masih sangat kondunsif menggambarkan kota postmodern masa kini, meski terdiri dari Berbagai suku bangsa, ras, agama, adat dan budaya serta berbagai kelompok sosial dari sabang sampai merauke . Masyarakat menengah kebawah tidak terlalu mendominasi pusat, begitu pula dengan kapitalisme industry. Usaha Kecil Mengah (UKM) memberikan sumbangsih yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi mengimbangi usaha-usaha lain yang juga banyak berkembang di Surabaya. Sehingga tidak ada buruh dengan gaji murah, dan masyarakat lebih mandiri dalam menjaga kestabilan ekonomi mereka.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun