Mengenang masa sekolah saya dahulu, ada cara yang saya ingat, bertujuan untuk membuat siswa lebih aktif ketika belajar di dalam kelas. Era 1990an, Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) yang diterapkan di sekolah saya dimulai dari bentuk meja yang diatur persegi untuk berkelompok 6-8 orang. Saya ingat, dengan cara berkelompok seperti itu, kami bisa saling membantu untuk menyelesaikan soal latihan dari guru. Secara bergantian ke depan kelas untuk membacakan atau mempresentasikan hasil diskusi.
[caption id="attachment_327565" align="aligncenter" width="480" caption="sumber gambar: kemendikbud"][/caption]
Itu dulu. Bagaimana dengan yang dilakukan siswa zaman sekarang dengan kurikulum terbarunya? Katanya sih ada yang beda. Apa tuh? Dalam Kurikulum 2013, etika, logika, dan estetika digabung hingga menjadi satu kesatuan utuh. Proses pembelajaran dalam kurikulum ini menjadi pembeda dengan kurikulum sebelumnya. Siswa diajarkan dan dibiasakan untuk observasi, bertanya, bernalar, bereksperimen, dan berkomunikasi. Lebih aktif dan semangat untuk mengetahui lebih banyak. Ada tiga arah komunikasi yang diterapkan dalam penerapan kurikulum 2013. Tiga arah yang dimaksud yaitu komunikasi siswa-guru, guru-siswa, dan antarsiswa. Akhirnya siswa akan terpancing untuk berpikir dan bertindak aktif, kreatif, dan inovatif.
Setelah materi ajar dijelaskan secara garis besar, siswa diajak untuk berdiskusi dengan kelompoknya. Kemudian diajak untuk mencari sumber-sumber dari materi yang telah dijelaskan. Proses mencari dapat dilakukan melalui internet, perpustakaan atau melalui buku sumber lain. Apalagi di zaman serba mudah oleh teknologi seperti ini, diharapkan siswa bisa dengan Setelah melalui proses mencari, siswa diajak untuk bertanya hal yang tidak dipahami, dan berdiskusi dalam kelompok.
Bagian yang tak kalah penting adalah siswa diajak untuk mengkomunikasikan hasil diskusi mereka. Seperti yang dituturkan oleh Dominikus Heru Widhi. P, guru mata pelajaran Ekonomi, dari SMA Pangudi Luhur 2 Servasius, Bekasi. Dalam pengalamannya, Heru melihat siswanya menjadi lebih aktif dan belajar berani menjelaskan hasil diskusi bersama teman sekelompoknya.
Karena cara belajar yang menekankan pemahaman materi bagi siswa, maka cara penilaian pun mulai diubah. Pada Kurikulum 2013, penilaian siswa di jenjang SD, dilakukan dalam bentuk narasi, dan tidak dalam bentuk angka seperti selama ini dilakukan. “Penilaian dilakukan secara narasi dalam kalimat positif yang menumbuhkan optimisme. Bagi siswa yang belum mampu mencapai tingkatan yang diinginkan akan diberikan remedial”, ujar Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Ramon Mohandas. Ditambahkannya, di jenjang SD juga tidak ada lagi perangkingan.
Hal ini menjadi perhatian saya. Jika dilakukan penilaian angka 1-10, anak akan merasa bahwa jika ada yang salah, dia adalah anak bodoh. Mungkin ini hanya pikiran saya. Tetapi ketika nilai anak saya ada yang kurang, dia sedih. "Yah, aku salah, Bun." Saya mencoba simulasi dengan memberinya sebuah soal dan menilainya dengan kalimat yang dia pahami. Kemudian saya melihat reaksinya. "Oh, jadi ternyata aku salah di sini ya? Waduh, maaf, Bun. Aku kurang teliti. Terima kasih, Bunda." Tuh, beda deh, reaksinya.
Eh, di sekolah anak-anak Anda masih memakai nilai berupa angka ya? Atau sudah ada yang menggunakan narasi?Memang beberapa guru tentunya masih menilai dengan angka, kan? Tetapi bukan cara penilaian siswa ini fokus tulisan saya. Meski sepertinya berkaitan antara cara belajar siswa dan cara penilaian guru. Betul? *cari pembenaran* :)
Bagi saya pribadi, bagaimana guru menilai hasil belajar siswa akan memengaruhi bagaimana siswa akan melanjutkan belajarnya. Komunikasi tiga arah seperti yang dijelaskan di atas menentukan apa yang hendak dicapai oleh siswa, guru, sekolah, dan juga orangtua.
Mohon maaf bila tulisan ini banyak kekurangan dan bila ada kesalahan, sila dikoreksi pada bagian komentar.
Salam.