Selama kehamilan, hampir semua sistem organ termasuk gastrointestinal mengalami perubahan fisiologi. Keluhan mual dan muntah adalah yang terbanyak, dimana dialami sekitar 60 % -70% perempuan pada trimester pertama kehamilan.Â
Gejala ini sebenarnya merupakan bagian dari spektrum normal kehamilan trimester pertama dan umumnya membaik pada usia kehamilan 12-16 minggu. Istilah morning sickness yang lazim digunakan sehari-hari sebenarnya tidak terlalu tepat mengingat kondisi dapat terjadi pada setiap waktu bahkan dapat terjadi terus menerus sepanjang hari.Â
Namun begitu, sebagian besar perempuan hamil yang mengalami mual dan muntah selama kehamilan umumnya dapat cukup asupan minum dan makan. Jika terjadi gejala mual dan muntah yang berat serta persisten sehingga mengakibatkan dehidrasi, gangguan asam basa dan elektrolit atau defisiensi nutrisi, maka keadaan inilah yang disebut sebagai hiperemesis gravidarum.
Jika mual dan muntah dikatakan sebagai spektrum normal dari kehamilan maka kondisi hiperemesis ini dikatakan sebagai keadaan yang ekstrim. Diperkirakan 0,5 % perempuan hamil mengalami kondisi ini. Tidak seperti mual dan muntah yang lebih ringan dan fisiologis, hiperemesis dapat berakibat buruk pada ibu hamil ataupun janin.Â
Bila tidak ditangani dengan tepat, hiperemesis dapat menyebabkan komplikasi pada ibu seperti ensefalopati wernicke (suatu keadaan akut yang berjangka waktu sementara, ditandai dengan adanya kebingungan, kesulitan koordinasi pergerakan dan abnormalitas pada mata, kondisi ini dikaitkan dengan 40 % kematian janin), central pontine myelinolisis (gangguan neurologis yang mempengaruhi otak) dan kematian.
Dalam dunia medis, patogenesis hiperemesis gravidarum belum sepenuhnya jelas. Studi-studi menunjukkan hubungan langsung antara beratnya hiperemesis (yang ditandai dengan hasil tes fungsi hati dan gangguan elektrolit) dengan peningkatan kadar tiroksin, kadar homon hCG dan kadar estriol.Â
Selain itu, overaktif aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal, sistem imunitas yang overaktif, defisiensi vitamin, distensi saluran pencernaan bagian atas, disfungsi otonom, gangguan pengosongan lambung dan faktor psikologi juga dilaporkan berperan dalam terjadinya hiperemesis gravidarum.
Infeksi bakteri Helicobacter pylori lebih sering ditemukan pada perempuan hamil dengan komplikasi hiperemesis gravidarum. Hayakawa, seorang peneliti di Jepang mendapati 61,8 % perempuan hamil dengan hiperemesis ternyata positif terinfeksi Helicobacter pylori dan sudah mendapatkan terapi antibiotik untuk mengurangi keluhan mual dan muntahnya. Penurunan tekanan LES (lower esophageal sphincter), penurunan peristaltik gaster dan lambatnya pengosongan lambung dapat memperberat gejala hiperemesis meski diduga kondisi ini bukan penyebab tersendiri.
Meski infeksi Helicobacter pylori berperan dalam patogenesis hiperemesis gravidarum, tidak serta merta menjadikan terapi eradikasi (terapi lini pertama untuk infeksi Helicobacter pylori yang meliputi triple therapy dengan kombinasi Proton Pump Inhibitor (PPI), amoxicillin dan clarithromycin selama 7-14 hari) langsung diberikan. Hal ini terkait karena masalah keamanannya. Sebagai contoh omeprazol dari golongan PPI tidak boleh diberikan selama kehamilan karena termasuk obat dengan kategori C (menimbulkan efek teratogenik atau bisa menyebabkan kematian pada janin).
Terapi alternatif dari bubuk tanaman yang berasal dari suku curcuminae diketahui mampu mengurangi gejala hiperemesis gravidarum dan senyawa kurkumin adalah senyawa kimia utama tanaman dengan suku ini. Kurkumin memiliki beberapa aktifitas biologis antara lain anti peradangan, anelgesik, anti oksidan, anti kanker dan anti bakteri. Ratusan penelitian telah mengungkapkan efektivitas kurkumin terkait farmakologi dan patofisiologi nya, sehingga sudah banyak digunakan untuk pengobatan herbal.
Salah satu penelitian terbaru mengemukakan bahwa kurkumin ini ternyata memiliki efektivitas yang sangat baik dalam mengatasi keluhan lambung. Kurkumin mampu bekerja memperbaiki kerusakan sel epitel mukus pada dinding mukosa lambung diakibatkan infeksi bakteri Helicobacter pylori.Â