"Penguasa yang mulia adalah pemimpin yang peka, dan jenderal yang baik adalah dia yang berhati-hati." Sun Tzu
Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi daerah.  Sedangkan Dekosentrasi adalah pelimpahan sebagian urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. Pengertian tersebut diatur di dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Desentralisasi menciptakan tugas,  wewenang  dan kewajiban sesuai dengan batas yang di berikan oleh pemerintah pusat. Wewenang tersebut merupakan otonomi (perundangan sendiri),  untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Salahsatunya ialah mengatur keuangan daerah, yang biasa disebut dengan APBD.
APBD Kota Parepare.
APBD adalah daftar rincian yang sitematis mengenai rencana keuangan selama satu tahun mendatang yang memuat data penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah. Jika kita membaca lebih cermat mengenai APBD kota Parepare, tak berlebihan jika dikatakan, jauh dari kata mandiri, dengan kata lain "lebih besar pasak daripada tiang", kalau dianalogikan sebagai sebuah model perusahaan, maka perusahaan tersebut telah pailit (Bangkrut).Â
Hal itu dikarenakan, APBD sangat bergantung pada dana transfer/perimbangan dari pusat, serta pendapatan asli daerah (PAD) Parepare yang masih sangat rendah, rasio PAD atas APBD dibawah 20%. Â Walaupun di bawah kepemimpinan 2 periode Walikota Parepare yang sekarang, PAD tiap tahunnya meningkat, namun tidak signifikan, itupun masih didominasi oleh orang sakit sebagai penyumbang terbesar PAD.Â
Rendahnya PAD disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah daerah untuk menghadirkan sumber-sumber pendapatan yang baru. tingginya postur belanja pegawai di APBD kota Parepare yang mencapai hampir 40% Â anggaran belanja, menambah tanda pengelolaan kota sedang tidak baik-baik saja. sekaligus menjadi beban untuk Kepala Daerah kedepannya.Â
sebab Pemerintah Pusat melalui Undang-undang No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) Â telah membatasi belanja pegawai daerah maksimal 30%.Â
Imbas dari pengelolaan keuangan daerah yang tidak sehat melahirkan persoalan tahunan di daerah, terlihat seperti, keterlambatan gaji tenaga honorer, utang yang menumpuk di rekanan (defisit anggaran), jalan yang berlubang serta yang paling hangat tentang tambahan penghasilan pegawai (TPP) yang belum terbayarkan. Â
Namun, ada hal senyap terjadi di kota Parepare yang lebih hina yang jarang dibicarakan, sedang menggerogoti APBD, yang juga menjadi penyebab bangkrutnya kota. Penggunaan politik "Gentong Babi" untuk kepentingan politik tertentu, penggunaan Belanja Hibah (Dana Publik) sebagai ajang pencitraan diri. hal tentang ini akan diulas lebih utuh di tulisan opini yang akan datang.
Orientasi belanja/pembangunan yang berkutat serta memberikan porsi besar pada pembangunan ikon baru serta mempercantik kota, memang menjadi pilihan politik kebanyakan yang paling mudah dan aman bagi seorang kepala daerah, untuk menciptakan legacy (warisan) atas dirinya kepada rakyat yang dipimpinya. selain memang sangat mudah untuk dilakukan, cara tersebut juga dapat mudah dilihat langsung oleh rakyat, sekaligus dapat menjadi modal murah kepala daerah jika ingin naik kelas ke jenjang yang lebih tinggi (gubernur, menteri, presiden dll).Â
DPRD sebagai tandem pemerintah kota dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah tidak dapat berbuat banyak untuk membendung orientasi semacam ini, kegagapan dan kegagalan pihak oposisi untuk membangun konsolidasi koalisi baru pasca pilkada menjadi penyebabnya.