Tak perlu melakukan perlawanan secara hukum. Terima saja pembubaran ini sebagai konsekuensi dari perjuangan yang kalah.Toh, meskipun HTI dibubarkan, setiap mantan anggotanya masih tetap bisa menjalankan sholat, zakat, haji maupun ibadah-ibadah lainnya dengan bebas dan tenang, bukan?
BAGI Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila merupakan ideologi yang sudah final. Bangsa ini, apapun alasannya, tidak lagi memerlukan ideologi-ideologi lain. Komitmen kepada ideologi negara Pancasila tidak bisa ditawar, dan wajib hukumnya bagi setiap warga negara untuk menerima dan mematuhinya.
Semenjak Republik ini didirikan, Pancasila adalah ideologi yang telah teruji. Pancasila terbukti mampu menjadi perekat kebhinekaan atas keberagaman suku, agama serta komponen-komponen bangsa yang lainnya. Demikianlah alasan mengapa HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) memang perlu disudahi.
Andaikata pemerintah tidak membubarkan HTI, bukan mustahil umat Islam Indonesia sendiri yang akan melakukan pembubaran organisasi ini. Pembubaran HTI (dalam hal ini, Hizbut Tahrir) bukanlah fenomena lokal, melainkan global. Faktanya, hampir semua negara Islam tak mau menerima kehadiran Hizbut Tahrir.
Pembubaran HTI sebagai sebuah organisasi tidak akan menimbulkan gejolak berarti di tengah masyarakat. HTI tidak punya ikatan batin dengan rakyat. Berbeda dengan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, misalnya, HTI bukan organisasi yang lahir dari rahim rakyat. Ia adalah organisasi transnasional yang langsung merangsek ke dalam lingkungan masyarakat, baik melalui kampus, maupun melalui forum-forum terbuka. Sehingga, HTI tak pernah paham apa maunya bangsa Indonesia.
Ia berbeda dengan NU atau Muhammadiyah, misalnya, yang memang membangun chemistri dan ikatan batinnya langsung dengan masyarakat. Ia ikut menjadi bagian dalam perjuangan kemerdekaan, pun ikut memberikan sumbangsih pembangunan bangsa di berbagai sektor, mulai dari pendidikan, kesehatan, pendampingan masyarakat, sampai yang paling dasar, pengetahuan keagamaan. Pun kedunya juga mendukung penuh dengan keputusan konstitusional negara. Itu yang membuat Muhammadiyah dan NU senantiasa dianggap sebagai aset, dan bukan malah sebagai ancaman seperti yang disematkan kepada HTI.
HTI mungkin saja boleh mengklaim ingin mewujudkan negara khilafah untuk mensejahterakan umat serta mencerdaskan masyarakat dengan ilmu agama yang islami. Namun mungkin mereka tak sadar, bahwa tanpa harus mewujudkan negara khilafah pun, Muhammadiyah, NU, dan organisasi-organisasi keagamaan lain sudah menjalankan jihad mensejahterakan dan mencerdaskan umat.
Lagipula, apakah Pancasila dengan perjuangan Ketuhanan yang maha esa dan keadilan sosialnya belum cukup mewakili cita-cita mensejahterakan umat?
Maka tak heran jika dengan jalan yang berbeda ini, HTI kemudian dibubarkan, sebab memang ia memang menjadi duri pancasila yang selama ini menjunjung tinggi nasionalisme berbasis toleransi.
Namun demikian, setelah HTI tak lagi berdiri di bumi Nusantara, hendaknya siapapun, dari unsur manapun seyogyanya bersedia untuk merangkul mantan-mantan anggota organisasi yang didirikan Taqiyyudin An-Nabhani ini. Tidak boleh ada diskriminasi lebih-lebih kriminalisasi. Semangat dakwah dan semangat berorganisasi eks-anggota HTI selanjutnya dapat disalurkan melalui wadah-wadah lain, tentunya yang sesuai yang sesuai dengan asas dan ideologi negara ini.
Sebab bagaimanapun, orang-orang HTI adalah orang Indonesia, yang tidak hanyalah embel-embel Hizbut Tahrirnya.