Babak baru Islam dalam periode politik boleh dibilang ditandai dengan masa Hijrah yang terjadi tahun 622. Begitu tiba di Yastrib (nama asal Madinah), Nabi segera menyusun strategi untuk membangun Madinah. Salah satu yang paling utama dalam perencanaan ini adalah membangun sistem pemerintahan.
 Ada satu poin penting dalam proses pembangunan pemerintahan ini, yaitu fakta bahwa dalam membangun tatanan politik yang ada, Nabi Muhammad saw tidak mendirikan negara syariah atau menjadikan Islam sebagai agama resmi negara, Nabi bahkan tidak menjadikan Al-Quran sebagai konstutitusi pemerintahan.Â
 Nabi yang kala itu menjadi pemimpin agama sekaligus pemimpin negara justru mengatur sistem pemerintahan berdasarkan kesepakatan bersama segenap warganya. Kesepakatan yang kelak kemudian disebut sebagai Piagam Madinah itu menjadi landasan kehidupan bernegara masyarakat Madinah yang memang beragam.
 Piagam Madinah mengatur dan menjamin kebebasan beragama setiap warga Madinah, baik Yahudi, Majusi, Kristen, sampai penganut agama nenek moyang. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama dijamin dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban untuk ikut serta menjaga kemanan negara.
 Piagam Madinah ini penting posisinya, sebab ia tak hanya mengatur soal hak-hak dan kewajiban ketatanegaraan, namun juga mengatur perihal tata tertib umum dalam bermasyarakat sampai kebijakan sosial. Itulah sebabnya seluruh warga Madinah diwajibkan untuk mematuhi piagam ini.  Siapapun, kabilah manapun, yang berani melanggar kesepakatan yang sudah tertulis dalam piagam Madinah, maka Nabi tak segan menghukum mereka.
 Hal tersebut terbukti ketika beberapa kaum Yahudi Madinah mencoba mengkhianati kesepakatan yang ada di dalam Piagam Madinah dengan melakukan makar. Nabi pun mengambil tindakan tegas dengan mengusir mereka dari Madinah.
 Nah, melihat benang merah yang sama. Rasanya memang tak berlebihan jika menyebut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang ingin mencerabut Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan membawa konsep khilafah itu dengan upaya-upaya yang berada di derajat yang sama dengan kaum Yahudi Madinah yang berusaha mencerabut dan mengkhianati pernjanjian yang ada di dalam Piagam Madinah.Â
 Ini tentu beralasan, sebab, proses pendirian negara Indonesia memang tak jauh berbeda dengan proses pendirian negara Madinah. Baik Indonesia maupun Madinah adalah dua negara pemerintahan yang sama-sama tercipta atas hasil kesepakatan para pendirinya.Â
 Negara Madinah berdiri atas kesepakatan para warga Madinah yang majemuk, ada yang ansor ada yang muhajirin, ada yang Muslim, ada yang Majusi, Kristen, Yahudi, dan ada juga penganut agama nenek moyang. Begitupun Indonesia yang juga tercipta atas kesepakatan para pendirinya yang juga tak kalah majemuk, ada yang Jawa, Sunda, Sulawesi, Sumatera, Maluku, dan lain-lainnya, pun ada yang Muslim, Kristen, Katolik, Hindu, juga Budha, dan agama-agama lainnya.
 Kesepakatan bersama itulah yang kemudian menjadi embrio Negara Kesatuan Republik Indonesia.Â
 Negara Kesatuan Republik Indonesia kemudian menjadi sebuah kesepakatan mengikat bagi seluruh warganya secara konstitusi. Hal itu kemudian memunculkan timbal balik , dimana negara memberikan aneka fasilitas dan infrastruktur negara kepada warganya, sebaliknya, warga negara wajib mematuhi hukum dan konstitusi yang berlaku.Â
 Apa yang dikampanyekan oleh HTI di negara Pancasila ini untuk mendirikan khilafah tentu saja menjadi salah satu upaya untuk tidak mematuhi hukum dan konstitusi negara. Sebab, ia berusaha untuk menciderai dan mecerabut apa yang sudah menjadi keputusan para pendiri yang sudah sepakat tentang bentuk negara Indonesia yang mana adalah Negara Kesatuan.