Oleh: Andi M. Yusuf Bakri
Hakim Pengadilan Agama Takalar
Undang-Undang Dasar 1945 secara teoritis termasuk undang-undang dasar bersifat rigid. Rigiditas tersebut tercermin pada prosedur khusus perubahannya, yang berbeda dengan prosedur perubahan produk legislasi pada umumnya. Sebagai the supreme law of the land, sangat ideal jika UUD 1945 tidak mudah berubah.
Perubahan konstitusi dapat terjadi dengan 2 cara; Pertama, perubahan secara formal, yaitu perubahan sesuai cara yang ditetapkan konstitusi, dilakukan oleh MPR sebagaimana ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Kedua, perubahan secara informal, yaitu perubahan diluar tata cara yang ditetapkan konstitusi, dapat terjadi karena some primary forces, judicial interpretation, atau usage and convention. (K. C. Wheare, 2006).
Perbedaan pokok antara perubahan formal dan informal konstitusi terletak pada pengaruhnya terhadap teks konstitusi. Perubahan informal konstitusi tidak mengubah teks konstitusi, hanya mengubah makna dan/atau praktik (kontekstualisasi) atas ketentuan konstitusi.
Dalam catatan sejarah ketatanegaraan RI, perubahan informal konstitusi sudah beberapa kali terjadi. Yang paling masyhur adalah Ketetapan MPR-RI Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum, yang mengatur hak penentuan usul perubahan undang-undang dasar ada pada rakyat yang akan ditentukan melalui referendum. Tap MPR tersebut “secara diam-diam” telah mengubah tata cara perubahan undang-undang dasar yang diatur pada Pasal 37 UUD 1945 (pra-perubahan).
Perpu; Peraturan Pemerintah atau Undang-Undang?
Hal ihwal Perpu diatur pada Pasal 22 UUD 1945 dan beberapa pasal dalam UU Nomor 12 Tahun 2011. Dari bentuk luarnya, Perpu identik dengan Peraturan Pemerintah karena menggunakan nama “peraturan pemerintah” dan kewenangan penetapannya adalah domain mutlak Presiden. Akan tetapi, Perpu lebih menjurus sebagai sebuah Undang-undang karena kedudukan dan materi muatan Perpu sama dengan derajat kedudukan dan materi muatan Undang-Undang, dan pada akhirnya, jika perpu disetujui DPR maka akan menjadi Undang-Undang.
Menurut Jimly Asshiddiqie Perpu adalah undang-undang berbaju Peraturan Pemerintah, sehingga Perpu bisa dikatakan undang-undang dalam arti materil (wet in materiele zin). Namun demikian, perlu ditelisik mengapa Undang-undang Dasar menggunakan nomenklatur Peraturan Pemerintah, bukan Undang-Undang Darurat (UUd).
Bagir Manan berpendapat Perpu tidak boleh mengatur keberadaan dan wewenang lembaga negara, dan hanya boleh mengatur ketentuan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan. (Bagir Manan, 1997)
Pembatasan materi muatan Perpu dalam lingkup penyelenggaraan pemerintahan saja adalah hal yang sangat prinsip untuk menjaga keberlangsungan prinsip check and balances. Apabila Presiden berwenang menetapkan Perpu terhadap Lembaga Negara lainnya, termasuk mengenai lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, maka esensi independensi lembaga tersebut akan hilang, lembaga kepresidenan menjadi superior atas lembaga-lembaga negara utama lainnya, dan pada gilirannya melahirkan kediktatoran konstitusional (constitutional dictatorship).