23 Oktober 2013 pukul 15:11
Andi Muhammad Yusuf Bakri
Hakim Pengadilan Agama Takalar
Gempa bumi di Mahkamah Konstitusi seperti menegaskan bahwa trias politica telah berubah menjadi trias koruptika. Cabang-cabang kekuasaan negara menjadi wadah bagi prilaku dan pelaku korup. Kini, tidak ada lagi lembaga penyelenggara kekuasaan negara yang bebas korupsi, semuanya telah dijamah oleh kekuatan uang. Terakhir, Mahkamah Konstitusi RI, lembaga peraih penghargaan the most modern constitutional court in Asia ini,pun tidak mampu membendung derasnya arus korupsi. Menyikapi itu, Presiden mengundang para pimpinan lembaga negara dalam kaitan rencana menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
Terdapat sejumlah hal krusial terkait MK yang dinilai sebagai akar persoalan sekaligus obat mujarab untuk tidak terulangnya kasus/praktek korup di MK, diantaranya adalah mengenai sistem pengawasan Hakim Konstitusi.
Pengawasan terhadap MK
Mahkamah Konstitusi yang nir-pengawasan dipandang sejumlah pihak sebagai pendorong bagi timbulnya prilaku menyimpang Hakim Konstitusi. Sulit membantah ungkapan Lord Acton bahwa setiap kekuasan selalu memiliki kecenderungan korupsi, dan korupsi mutlak terjadi pada kekuasaan yang absolut. Karena itu, pengawasan terhadap MK dianggap sebagai suatu keniscayaan.
Hakim MK sesungguhnya pernah menjadi objek pengawasan Komisi Yudisial (KY), namun sejak terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, kewenangan KY mengawasi Hakim Konstitusi diputuskan sebagai inkonstitusional.
Selain putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final and binding, putusan tersebut dari perspektif ketatanegaraan memang sudah tepat. Salah satu kewenangan MK menurut UUD 1945 adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Jika KY berwenang mengawasi Hakim MK, lalu pada suatu waktu MK dihadapkan pada sengketa kewenangan antar lembaga negara yang melibat KY, bagaimana MK dapat menjamin obyektifitas putusannya?
Tidak dapat disangkal bahwa Presiden berwenang secara konstitusional menerbitkan Perpu (Pasal 22 ayat (1) UUD 1945). Menurut Bagir Manan, Perpu setidaknya harus memenuhi empat kriteria, yaitu: (1) Hanya dikeluarkan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, (2) Perpu tidak boleh mengatur mengenai hal-hal yang diatur dalam UUD atau Tap MPR, (3) Perpu tidak boleh mengatur mengenai keberadaan dan tugas wewenang Lembaga Negara, dan (4) Perpu hanya boleh mengatur ketentuan undang-undang yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan. (Bagir Manan, 1997)
Berdasarkan kriteria tersebut, maka penerbitan Perpu harus jelas-jelas mengandung unsurreasonable necessity dan unsur limited time, serta tidak mencakup eksistensi dan lingkup kewenangan lembaga negara utama (state ordinary organ). Bahkan terbatas pada tindakan-tindakan pemerintahan saja. Berbeda dengan ketentuan mengenai “keadaan bahaya” pada Pasal 12 UUD 1945 dimana tindakan Presiden dikeluarkan dalam posisinya sebagai kepala negara, tindakan Presiden dalam penerbitan Perpu berada dalam kedudukannya sebagai kepala pemerintahan untuk mengambil tindakan cepat dalam urusan legislasi.