Perpu Pengawasan Hakim MK oleh KY
Ada beberapa hal yang patut ditakar oleh Presiden sebelum menerbitkan Perpu tentang kewenangan KY mengawasi Hakim MK, Pertama, betapapun peristiwa tangkap tangan Ketua MK oleh KPK beberapa waktu lalu telah menggemparkan negara ini dan pasti memperburuk citra internasional mengenai penegakan hukum di Indonesia, namun prilaku dan pelaku korupsi bukan hanya ada pada dunia peradilan khususnya MK. Jika subyektifitas Presiden menilai bahwa korupsi di MK telah memenuhi unsur reasonable necessity untuk menerbitkan Perpu, lalu bagaimana dengan korupsi di tubuh legislatif dan eksekutif yang jauh lebih parah? Karena itu, akan rentan timbulnya prasangka bahwa Presiden mengeluarkan Perpu hanya sebagai ajang pencitraan menjelang kontestasi politik 2014.
Kedua, saat ini MK masih memiliki 8 Hakim Konstitusi yang praktis tidak memiliki track record yang buruk, bahkan sebaliknya dikenal sebagai begawan hukum berintegritas tinggi sebelum dan setelah menjadi Hakim MK. Pemberhentian atau berhentinya Ketua MK tidak menimbulkan darurat institusional di MK, apalagi darurat ketatanegaraan. Sebab, dengan 8 orang Hakim MK tersebut, tugas dan fungsi MK tetap dapat berjalan seperti biasanya. Karena itu, penerbitan Perpu tentang kewenangan KY mengawasi MK belum memenuhi unsur limited time.
Ketiga, Perpu yang akan dikeluarkan oleh Presiden seharusnya tidak memuat materi tentang pemberian kewenangan kepada KY untuk mengawasi MK, sebab Perpu tersebut akan bertentangan dengan putusan MK yang bersifat final and binding, yang berarti bertentangan dengan konstitusi, khususnya pada makna kata “Hakim” pada Pasal 24B yang merupakan objek pengawasan KY, yang menurut tafsir MK tidak mencakup Hakim Konstitusi. Jika dipaksakan masuk, maka Presiden dapat pula dinilai telah melanggar konstitusi yang malah menimbulkan masalah baru: keniscayaan timbulnya kisruh politik nasional yang bisa digiring kepada usaha pemakzulan.
Di sisi lain, Perpu tersebut seakan melembagakan sikap reaktif publik atas kejadian di MK yang kemudian semakin memperburuk citra MK dan sekaligus menurunkan wibawa putusan MK.
Amandemen UUD 1945
Untuk mengatasi problem nir-pengawasan terhadap Hakim MK dan untuk memenuhi ekspektasi agar KY berwenang pula mengawasi Hakim MK, maka jalan satu-satunya adalah melalui amandemen UUD 1945. Kewenangan pengawasan KY adalah domain konstitusi, sedangkan konstitusi saat ini tidak memberi wewenang kepada KY mengawasi Hakim MK. Agar KY dapat mengawasi Hakim MK, maka Pasal 24B UUD 1945 harus diamandemen dengan menegaskan bahwa objek pengawasan KY meliputi seluruh Hakim dan Hakim ad hoc pada tingkat pertama dan banding pada 4 lingkungan badan peradilan di bawah MA, Hakim Agung dan Hakim Agung ad hoc pada MA, dan Hakim Konstitusi.
Amandemen tersebut tentunya harus sekaligus memberi jalan keluar terhadap potensi kisruh ketatanegaraan pada saat MK diperhadapkan dengan perkara sengketa kewenangan lembaga negara yang melibatkan KY, termasuk dalam hal sengketa yang melibatkan lembaga MK itu sendiri. Karena Hakim pada Mahkamah Agung juga merupakan objek pengawasan KY, maka Mahkamah Agung juga tidak tepat diberi kewenangan itu. Maka tepatlah jika sengketa kewenangan lembaga negara yang melibatkan KY, termasuk sengketa yang melibatkan MK secara langsung, ke depannya dikembalikan langsung kepada MPR untuk menyelesaikannya. Agar mekanismenya tidak “sangat rumit”, boleh jadi dengan cara membentuk tim khusus penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara yang bersifat internal dan bekerja secara temporal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H