Mohon tunggu...
Andi Muhammad Yusuf Bakri
Andi Muhammad Yusuf Bakri Mohon Tunggu... -

Curious but kindly and friendly person

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

UU Jabatan Hakim; 70 Tahun Utang Konstitusi

2 Oktober 2015   08:31 Diperbarui: 6 Oktober 2015   16:30 925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang”.

Pasal 25:

Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang”.

Kedua pasal ini pernah menjadi bahan perdebatan dalam Rapat Finalisasi Ke-7 PAH I BP MPR RI, 24 Juli 2002. Ada yang menilai Pasal 24A ayat (5) dan Pasal 25 memuat substansi yang sama, sehingga terjadi pengulangan (redundancy), maka salah satunya harus dihapus. Pada sisi lain, ada yang berpandangan kedua pasal tersebut mengatur 2 substansi yang tidak sama dan keduanya penting, sehingga tetap harus dipertahankan.[2]

Perbedaan pandangan anggota PAH I BP MPR tersebut berakhir dengan menetapkan bahwa Pasal 24A ayat (5) dan Pasal 25 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tetap dipertahankan, tidak ada yang dicabut. Hal tersebut menunjukkan bahwa kedua pasal tersebut difahami sebagai dua pasal yang memang tidak sama, tidak tumpang tindih, dan masing-masing memiliki domainnya sendiri.

Perbedaan kedua pasal tersebut pada dasarnya tidak serumit materi perdebatan anggota PAH I BP MPR. Pasal 24A ayat (5) yang berbunyi “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang” bertitik fokus pada lembaga pengadilan. Pasal inilah acuan bagi pembentukan Undang-Undang Mahkamah Agung, Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Adapun Pasal 25 yang berbunyi “syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang” bertitik fokus pada pejabat pelaku kekuasaan kehakiman, dalam hal ini Hakim.

Berdasarkan domain kedua pasal tersebut, maka Pasal 25 itulah yang paling tepat ditunjuk sebagai pasal yang mengakomodasi substansi penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 yang ditiadakan pada saat amandemen, yang menyebutkan “...Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim”.

Meskipun Pasal 25 pasca amandemen hanya menyebutkan frasa “syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim”, yang secara tekstual hanya terbatas pada persoalan pengangkatan dan pemberhentian Hakim saja, namun karena pasal tersebut adalah satu-satunya pasal yang bisa mengakomodasi substansi penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 UUD pra amandemen yang memuat frasa “harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim”, maka mau tidak mau makna komprehensif dari Pasal 25 UUD pasca amandemen adalah “syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim serta jaminan kedudukan para hakim ditetapkan dengan undang-undang”.

Apakah dibolehkan memaknai pasal konstitusi dengan melampaui cakupan teksnya, bukankah konstitusi adalah the supreme law of the land yang bersifat sangat rigid? Jawabannya boleh.

Dalam kajian tentang perubahan konstitusi dikenal 2 cara perubahan; Pertama, perubahan secara formal, yaitu perubahan sesuai cara yang ditetapkan konstitusi, dilakukan oleh MPR sebagaimana ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Kedua, perubahan secara informal, yaitu perubahan diluar tata cara yang ditetapkan konstitusi, dapat terjadi karena some primary forces, judicial interpretation, atau usage and convention.[3]

Perbedaan pokok antara perubahan formal dan informal konstitusi terletak pada pengaruhnya terhadap teks konstitusi. Perubahan informal konstitusi tidak mengubah teks konstitusi, hanya mengubah makna dan/atau praktik (kontekstualisasi) atas ketentuan konstitusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun