Setiap kebudayaan memiliki ideologi dan keyakinannya sendiri (termasuk yang berasal dari agama) mengenai“menjelang mati” (dying) dan kematian (death). Namun inti dari isu pokok yang melewati batas budaya tentang kematian adalah mengenai cara bagaimana membuat seseorang mempunyai kualitas hidup yang terbaik sampai saatnya ia menutup mata.
Bagi masyarakat Kajang penyakit yang diderita oleh seseorang dianggap sebagai nasib dan sekaligus takdir. Penyakit yang disebabkan oleh faktor alam dan supranatural dianggap sebagai nasib karena bisa disembuhkan. Penyakit Tb paru dianggap sebagai nasib karena bisa disembuhkan. Sebagaimanapetikan wawancara berikut.
‘’Puru dukkua rie ja ilena. Akkuleji tauwwa gassing’’. (Ammatoa).
Artinya, Tb paru ada obatnya. Sehingga penderita bisa sembuh.
Seseorang yang yang terkena penyakit Tb paru sesungguhnya masih dianggap mengalami nasib yang tidak baik. Sebagai nasib, penderita dan keluarganya masih bisa berusaha untuk mencari pengobatan. Bahwa kemudian tidak bisa sembuh, dan meninggal karena penyakitnya sudah menjadi takdirnya. Karena kematian merupakan takdir yang tidak bisa dirubah oleh seorang manusia.Namun pada konteks ini, awalnya bernilai nasib. Namun ada penyakit tertentu yang memang sudah menjadi takdir keluarga penderita, sebagaimana petikan wawancara berikut.
‘’Sikonjo garring rieja ilena, mingka rie se’re garring nu anremo ilena. Iamintu puru jong. Tuju turunan nipelemi lalang ri linoa’’. (Ammatoa).
Artinya, semua penyakit ada obatnya, tetapi ada satu penyakit tidak ada lagi obatnya, yaitu penyakit kusta. Tujuh turunan dari keturunan penderita akan mengalami penderitaan.
Pada konteks tersebut bahwa takdir seseorang sudah tervonis sebagai penderita kusta hanya karena keluarga sebelumnya telah menderita. Pandangan ini tentunya menjadi menarik untuk dicermati pada masyarakat Kajang yang memandang takdir sebagai hal yang menjadi otoritas Tuhan dan menjadi susah untuk dirubah meskipun sudah berusaha secara maksimal.
Pandangan tentang nasib, takdir dan penyakit serta kematian berasal dari kebudayaan, khususnya kepercayaan tradisional, atau agama. Adanya kepercayaan tentang kehidupan sesudah mati, adanya dunia roh dan hubungan antara yang hidup dan yang mati. Upacara penguburan kembali tulang-tulang leluhur ditujukan untuk memperkuat hubungan ini, dan memantapkan kekuatan leluhur didunia roh untuk membantu kesejahteraan keturunannya yang masih hidup. Hal ini kemudian mendorong orang Kajang untuk memperlakukan orang-orang yang sudah meninggal dengan cara istimewa. (Katu, 1980).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H