Mohammad Natsir, tokoh islam dari Partai Masjumi, pernah mengemukakan dua pengertian tentang Pancasila. Yang pertama, ketika ia di tahun 1952 pergi ke Karachi di mana ia mengaitkan ajaran Pancasila dengan ajaran Qur'an. Dalam pidatonya ia menyebut Pancasila sesuai dengan Islam, sehingga pendapatnya ini dipergunakan Soekarno dalam pidatonya tentang Negara Islam dan Negara Nasional di Universitas Indonesia di Jakarta.Â
Sebuah pidato Natsir yang lain, dikemukakan dalam hubungan peringatan Nuzulul Qur'an di Jakarta tahun 1954 juga menegaskan bahwa Islam tidak mungkin berlawanan dengan Pancasila. Tetapi dalam sidang Konstituante ia seakan berbalik; ia melihat Pancasila bisa kosong dari nilai-nilai yang dituntut Islam (malah agama umumnya). Ia seperti juga wakil-wakil Islam yang lain (termasuk NU, PSII, Perti, PPTI, AKUI), di situ mengunggulkan Islam, dan menolak Pancasila.Â
Ada beberapa sebab, maka ia berbuat demikian. Pertama, Konstituante merupakan forum pembahasan terbuka, forum pembanding pendapat. Sebagaimana anggota lain mengemukakan pemikiran mereka tentang dasar Negara secara terbuka dan tuntas, ia (Natsir) juga bersikap demikian. Kedua, ia dan kawan-kawannya dari organisasi Islam yang ingin mempertanggung jawabkan amanah yang telah mempercayakan kepada mereka aspirasi Ummat untuk diperjuangkan. Ketiga, seperti juga para anggota lain dari Konstituante, ia dan kawan-kawannya ingin memperkenalkan keagungan keyakinan masing-masing. Ini berarti bahawa ia mempergunakan forum Konstituante untuk menumbuhkan pengertian terhadap apa yang ia perjuangkan.
Betapa pun, kalangan Islam dari Konstituante pada akhirnya tidak ngotot. Mereka memang ingin memperlihatkan kekuatan, seperti juga golongan lain ingin memperlihatkan kekuatan. Maka setelah kemacetan terjadi dalam mengambil keputusan tentang saran pemerintah untuk kembali ke UUD 1945, Wilopo (Ketua Konstituante, wakil PNI) dan Prawoto Mangkusasmito (Wakil Ketua Konstituante, Wakil Masjumi) sampai pada kesepakatan yang bersifat kompromi agar Konstituante bisa berhasil dengan kerjanya. Tetapi pemerintah, atas dorongan Suwirjo (PNI) dan A.H. Nasution (KSAD), tidak memberikan kesempatan itu dan mendekritkan UUD tersebut.
Masalah pokoknya adalah bahwa dasar Negara akan disepakati sebagai produk Konstituante, dan dasar Negara ini adalah Pancasila. Tetapi Pancasila yang dimaksudkan bukan dalam tafsiran yang ketat, melainkan akan merupakan wahana, pedoman dan patokan untuk kemakmuran masyarakat dan warga semua. Karena hanya dasar Negara yang seperti ini yang memungkinkan tiap pihak memberikan sahamnya bagi kebangkitan dan kemakmuran bangsa.Â
Dengan pengertian seperti ini maka sudah difahami mengapa partai-partai Islam dahulu (NU, PSII, Perti) menyebutkan dalam anggaran dasar mereka masing-masing asas atau dasar serta tujuan mereka yang berkaitan dengan Islam atau ajaran Islam, tetapi yang juga mencantumkan penerimaan mereka terhadap Pancasila. Malah jauh sebelum ketentuan tentang penerimaan pancasila ini ditetapkan, NU telah lebih dahulu dalam Konstituante mengemukakan agar dasar Negara itu berupa Pancasila dan Islam.
Demikianlah perkembangan singkat yang dapat kita catat dalam hubungan dengan pemikiran Pancasila dan Islam. Pancasila memang tidak bertentangan dengan Islam, tetapi ini tafsiran yang diberikan. Pancasila memang diterima oleh kalangan Islam, oleh karena mereka memberikan tafsiran yang tidak berlawanan dengan Islam. Oleh sebab itu mereka tidak mungkin mengesampingkan Islam sebagai Matriks, ukuran. Dan kalau dituntut juga untuk tidak mempergunakan kata Islam dalam hubungan dengan Pancasila, maka sebenarnya permainan penerimaan sudah dipergunakan: disebut atau tidak, alat pengukur tetap berupa ajaran Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H