Proses pendangakalan Danau Tempe, bisaja lebih cepat terjadi dibandingkan masa tiga tahun pembuatan puluan yang sementara menelan biaya trilyunan rupiah terssebut jika tanpa program pembenahan lingkungan dan ekosistem di hulu DAS.
Infrastruktur dan Potensi Pertanian
Kabupaten Wajo dikenal sebagai penghasil gabah terbanyak setelah kabupaten Karawang. Namun taukah kita? Â Pemerintah hanya mampu menyiapkan irigasi kisaran 25% dari total 100.774 Ha. lahan persawahan yang tersebar di empat belas kecamatan.
Total produksi petani kab. Wajo mencapai 0,91 juta ton per tahun 2018 atau setara dengan Rp.
4.91 Trilyun dengan harga Gabah Kering Giling (GKG) Rp. 5.400 per Kg. Artinya kemampuan produksi petani adalah tiga kali lipat dibandingkan kemampuan APBD Â kab. Wajo yang hanya berkisar Rp. 1.4 triliun per tahun, apalagi jika membandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah yang hanya 125 Milyar per tahun.Â
Namun dengan data itu, apakah petani kita merasakan kesejahteraan? Bagi para penikmat angka-angka kesejahteraan, maka jawabannya tentu sejahtera. Tetapi fakta lain menunjukkan bahwa biaya produksi petani pada musim galuh dan musim rendeng sangat jauh berbeda. Mayoritas lahan persawahan adalah tadah hujan dan sangat tergantung pada pompanisasi air tanah (sumur bor).Â
Fakta lain menunjukkan harga GKG ditingkat petani tidak pernah sesuai dengan yang ditetapkan oleh pemerintah. Tradisi menanam, panen, mengeringkan, menyimpan hingga mengolah gabah menjadi beras telah berubah total. Pada umumnya petani hanya bercocok tanam hingga panen, sehingga pada umumnya para petani kembali membeli beras.
Hilangnya diversifikasi usaha tani
Jika dulu, petani melakukan praktik diversifikasi usaha seperti beternak dan bertani. Hari ini sulit ditemukan, berubahnya mekanisasi alat pertanian adalah salah satu faktor penyebab. Dulu menggunakan sapi - kerbau untuk membajak dan menggunakan kuda untuk mengangangkut hasil panen. Kini semua tergantikan oleh mesin-mesin pertanian, dengan hadirnya mesin transplanter (mesin tanam), combine  harvester (mesin panen), singkat kata, teknologi berhasil mempersemoit ruang para buruh tani.Â
Hilangnya diversifikasi pangan
Jika bukan nasi maka bukan kegiatan makan namanya. Persepsi ini pun berkembang dan  menjadi dijadikan alat ukur kelas sosial.Â
Perepsi tersebut membuat masyarakat gagal paham sehingga masyarakat menjadi tak bersemangat menanam pisang dan umbi-umbian. Memakan masakan nasi tanpa campuran umbi atau pun pisang diidentikkan dengan kesejahteraan.Â