Ketika program PPPK digulirkan untuk guru honorer yang mengabdikan diri di sekolah negeri memberikan secercah harapan untuk kehidupan yang lebih baik bagi guru honorer tersebut.Â
Gaji minim dan status tidak jelas selalu hadir dalam hidup mereka. Tanpa mereka, kebutuhan guru di sekolah negeri tidak terpenuhi jumlahnya. Ironi, dibutuhkan namun tidak diperhatikan.
Program melenceng dan keluar dari jalur. Tes untuk lolos menyulitkan guru honorer. Materi uji dan bobot tes bukan untuk mempermudah guru lolos. Sementara untuk diterima menjadi honorer pun awalnya sudah terseleksi oleh kepala sekolah dan kewenangannya di sekolah.
Semakin tragis ketika Guru Tetap Yayasan (GTY) dari persekolahan swasta yang notabenenya guru tersertifikasi turut serta dalam tes.Â
Mereka mengantongi skor besar dan peluang lolos pun besar. Semakin kecil pula peluang guru honorer untuk lolos. Sejatinya guru swasta yg telah sertifikasi mendapati penghasilan jauh dari standar PPPK.
Selayaknya eksodus Guru Tetap Yayasan (GTY) ke PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Maka semakin menyedihkan nasib guru honorer di sekolah negeri yang tidak lolos PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Datang guru baru tentu risiko kehilangan pekerjaan membentang di depan mata.
Jika umur masih di bawah 38 tahun, tentu harapan satu satunya adalah menjadi guru swasta dan itupun jika ada. Jika tidak, maka banyak pula penganggur tercipta karena kebijakan yang tidak diuji dengan komprehensif dan humanis.
Untuk bisa jadi honorer di negeri ini, bagi guru bukanlah hal yang mudah. Penghasilan tidak standar dan kapan pun siap berhenti jika PNS hadir di sekolah.Â
Ketika kepala sekolah tidak memperhatikan nasib mereka, maka guru PNS yang ada hanya ambil tanggung jawab mengajar 24 jam per minggu.Â
Sisanya guru honorer yang mengerjakan. Ironi lagi di sekolah dasar, PNS rata-rata hanya kepala sekolah saja, sedangkan yang berstatus honorer hanya guru. Menjadi pertanyaan pula, seriuskah negara ini mengurus pendidikan?