Wayang merupakan warisan budaya bangsa Indonesia, khususnya budaya Jawa. Sebagian kalangan meyakini dulu wayang dijadikan sebagai media dakwah penyebaran ajaran Islam oleh seorang wali atau lebih dikenal sunan kalijaga. Â Saking gemarnya masyarakat dengan pentas wayang konon akhirnya Islam bisa diterima di masyarakat Jawa.
Seiring berjalannya waktu media dakwahpun berkembang sesuai perkembangan zaman. Muncul media cetak sehingga pemikiran-pemikiran Islam disebarkan melalui tulisan. Kemudian beberapa dekade berikutnya muncul lagi media radio sehingga para da'i berdakwah melalui radio. KH. Zainudin MZ adalah salah satu tokoh yg berhasil berdakwah melalui radio. Selanjutnya muncul media televisi dan dakwahpun berkembang melalui TV. Â Almarhum Ustadz Jefry Al-buchori dan ustadz Yusuf mansur sempat wara-wiri mengisi acara ceramah di TV. Saat ini media bertransformasi lagi menggunakan media digital. Syiar Islam begitu mudah dan cepat menyebar. sayangnya arus informasi yang begitu cepat lewat media digital tidak dibarengi dengan kecerdasan masyarakatnya dalam berdemokrasi dan bernegara.
Ya... Demokrasi. Sebuah sistem yang katanya dianut oleh negara yang kita cintai ini. Alih-alih berdemokrasi masyarakatnya lebih suka dengan arogansi, persekusi, bahkan lapor polisi dibandingkan berdiskusi.
Seperti yang baru-baru ini terjadi, masyarakat ribut soal pendapat salah seorang da'i ketika ditanya oleh jemaahnya mengenai wayang dan taubatnya profesi dalang. Menurutnya wayang seharusnya ditinggalkan karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kemudian sebagian kelompok yang tidak menerima pendapat tersebut melaporkan ustadz tersebut ke polisi.
Aneh ? Memang aneh. Sebuah argumentasi yang harusnya dibantah dengan argumentasi malah dibawa ke polisi. Repot betul negara ini jika setiap pendapat soal halal dan haram yang harusnya dibahas dalam ruang diskusi malah dibawa ke hukum pidana. Bisa-bisa nanti banker melaporkan ustadz yang berfatwa bahwa riba itu haram. Germo melaporkan ustadz yang berfatwa prostitusi dan perzinaan itu haram. Pembuat arak bisa memidanakan ustadz yang berpendapat khamr itu haram.
Soal berfatwa halal dan haram dalam beragama itu hal yang biasa saja. Umat Hindu mengharamkan memakan sapi tapi umat Islam menghalalkan sapi, apakah umat Hindu harus memidanakan umat Islam karena menghalalkan sapi ? Tidak kan ?
Contoh lagi Muhammadiyah mengharamkan Rokok, padahal di Kudus ada berapa ribu orang bekerja dan mencari nafkah dari produk rokok, ada berapa ribu petani tembakau di Temanggung yang menggantungkan hidupnya dari tembakau. Selain itu, rokok kretek juga diyakini oleh sebagian orang sebagai bagian dari warisan leluhur bangsa kita. Haruskah memidanakan orang-orang yang berada di majelis tarjih Muhammadiyah ? Tentu tidak kan ? Sebab halal dan haram adalah sebuah keyakinan seseorang terhadap sebuah hukum agamanya dan setiap orang memiliki hak yang dijamin undang-undang untuk menjalankan agama sesuai dengan kepercayaannya itu. Adapaun berpendapat halal dan haram juga dijamin kebebasannya dalam Undang-undang dasar dan setiap orang berhak menyatakan pendapat di muka umum, jika ada yang tidak setuju dengan pendapat tersebut maka tinggal berikan lagi counter argumentasinya.
Jadi, mereka yang berpendapat wayang haram memiliki hak dan dijamin konstitusi untuk menjalankan apa yang diyakininya. Begitu juga yang berpendapat wayang halal, mereka berhak mengadakan pentas wayang tersebut sesuai dengan keyakinannya. Toh pada akhirnya dalam ajaran agama kelak akan dipertanggung jawabkan atas setiap pilihan yang dijalankan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H