Mohon tunggu...
Andi Avandy
Andi Avandy Mohon Tunggu... Bankir - Penikmat Kopi

aku terperangkap dalam digital realty

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Asal Usul Kutukan Tujuh Turunan

7 Juni 2023   14:42 Diperbarui: 7 Juni 2023   14:56 1943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Siddham! Ni yang nga punya putauv.
Ya urng sepuy di ko, kurun ko jem labuh nari svarggah.
Ya urng paribh di ko, kurun saribu thun davam di naraka, dengan tijuh kulo ko.

Sejahtera! Inilah naga suci kepunyaan Raja.
Orang yang menghormatinya, turun kepadanya permata dari syurga.
Orang yang menghinanya, akan seribu tahun diam di neraka, dengan tujuh keturunan keluarganya.


Tersebutlah Prasasti Dong Yen Chau, prasasti tertua dalam bahasa Cham, yang merupakan salah satu bahasa Austronesia. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1936 di Vietnam, dekat ibu kota lama Kerajaan Champa yang bernama Indrapura. Prasasti ini ditulis dalam aksara Brahmi Selatan Kuno, yang juga digunakan oleh beberapa kerajaan di Nusantara, seperti Kutai dan Tarumanegara.

Isi prasasti ini adalah sebuah mantra yang memerintahkan orang-orang untuk menghormati naga suci kepunyaan raja. Naga suci ini mungkin adalah pelindung dari sebuah sumur atau mata air. Mantra ini juga mengandung ancaman kutukan bagi siapa saja yang menghina naga suci tersebut. Orang yang menghina akan mendapat siksaan di neraka selama seribu tahun, dengan tujuh keluarga mereka.

Kutukan tujuh turunan ini mengingatkan pada kutukan Empu Gandring, seorang pandai besi yang diminta oleh Ken Arok untuk membuat keris terbaik. Namun, Ken Arok tidak sabar menunggu keris selesai dibuat, dan ia membunuh Mpu Gandring dengan keris yang belum selesai tersebut. Sebelum mati, Mpu Gandring mengutuk Ken Arok dan keturunannya akan mati karena keris itu. Kutukan ini terbukti benar, karena Ken Arok dan beberapa keturunannya mati karena dibunuh dengan keris empu gandring.

Kutukan tujuh turunan ini menunjukkan adanya kepercayaan akan adanya hubungan antara leluhur dan keturunan dalam budaya Austronesia. Orang-orang percaya bahwa tindakan mereka akan berdampak pada nasib keluarga mereka di masa depan. Oleh karena itu, mereka harus menghormati leluhur dan makhluk-makhluk suci yang dianggap sebagai pelindung atau pembawa berkah.

Selain kutukan tujuh turunan, prasasti Dong Yen Chau juga menunjukkan kemiripan bahasa antara Cham dan Melayu. Kedua bahasa ini termasuk dalam kelompok Malayik-Chamik, yang merupakan cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia. Beberapa contoh kemiripan bahasa antara prasasti Dong Yen Chau dengan bahasa Melayu adalah:

- Penanda relatif yang dan ya, misalnya Ni **yang** naga punya putauv (Ini **yang** naga punya raja) dan Ya urng paribh di ko (Orang **yang** menghina itu).
- Penanda lokatif di, misalnya di ko (di situ) dan di naraka (di neraka).
- Penanda genitif punya, misalnya naga punya putauv (naga punya raja) dan tijuh kulo ko (tujuh keluarga itu).
- Kata dengan (dengan), kurun (tahun), labuh (turun), nari (dari), dan lain-lain.

Kemiripan bahasa ini menunjukkan adanya hubungan sejarah antara orang-orang Cham dan Melayu, yang mungkin berasal dari nenek moyang bersama atau kontak budaya di masa lalu.

Selain kemiripan bahasa, prasasti Dong Yen Chau juga menunjukkan kemiripan nama raja antara Champa dan Nusantara. Prasasti ini tidak menyebutkan nama raja yang memerintah saat itu, tetapi berdasarkan gaya penulisan dan sejarah Champa, diperkirakan bahwa prasasti ini dibuat pada masa pemerintahan Raja Bhadravarman I dari dinasti kedua Champa. Raja ini memerintah pada akhir abad ke-4 Masehi, dan ia juga mengeluarkan beberapa prasasti berbahasa Sanskerta.

Nama Bhadravarman I mirip dengan nama beberapa raja di Nusantara, seperti Mulawarman dari Kutai dan Purnawarman dari Tarumanegara. Kedua raja tersebut juga memerintah pada abad ke-4 atau ke-5 Masehi, dan mereka juga mengeluarkan prasasti berbahasa Sanskerta.

Kemiripan nama raja menunjukkan adanya pengaruh India yang kuat pada kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara pada masa itu. Orang-orang India membawa agama Hindu dan Budha, serta aksara, sastra, seni, dan arsitektur ke Asia Tenggara. Banyak raja di Asia Tenggara mengambil nama-nama Sanskerta untuk menunjukkan kedudukan dan keagungan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun