[caption id="attachment_390708" align="aligncenter" width="654" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]
Kapan ya saya bisa beli rumah sendiri di DKI Jakarta? Pertanyaan itu hampir tiap hari terlintas di kepala, mengingat anak sudah dua dan semakin besar, barang-barang atau perabotan makin terasa sempit di rumah kontrakan yang juga tidak terlalu luas. Apalagi kalau pas lagi ada saudara atau sanak family dari kampung yang ingin mampir dan bermalam sehari atau dua hari, pasti jadi kerepotan.
Maaf ulasan ini bukanlah menggambarkan kalau seakan-akan saya tidak bersyukur dengan semua nikmat-Nya yang berlimpah yang saya dapatkan selama ini. Tapi ini hanyalah gambaran realita kehidupan di kota besar DKI Jakarta tempat jutaan orang mencari nafkah.
Kalau ditanya ke sana-kemari harga rumah di DKI Jakarta ini, semua orang sama-sama maklum kalau harganya mahal selangit. Kalaupun ada yang agak murah, pasti banyak kelemahannya, dan juga susah untuk mendapatnya, misal jaraknya yang sangat jauh dari Jakarta, lokasinya di gang, di bawah sutet, dekat kuburan, atau di lembah yang gampang banjir, dan itu pun juga tidak bisa dibeli lewat KPR, karena bank menolak membiayainya. Sementara kalau mau dibeli pakai uang kontan mana mungkin karyawan seperti saya bisa mengumpulkannya dalam waktu dekat.
Sebagai gambaran, saya bekerja lebih dari 8 tahun sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta di Jakarta, dari dulu sampai sekarang, saya hampir tidak pernah berbuat 'salah' atau aneh-aneh di tempat kerja. Semua peraturan perusahaan saya taati, walaupun sesekali saya telat masuk kantor dan ijin tidak masuk kerja karena ada urusan penting atau sakit.
Sebagai gambaran saja, setelah tamat kuliah waktu pertama masuk kerja dulu sekitar 7-8 tahun yang lalu, gaji yang saya terima sekitar 1,5 juta, itu dulu sudah di atas UMR, dan sampai sekarang naik-naik terus sampai ke angka 6 jutaan. Kebetulan pemasukan cuma dari saya, karena istri saya sudah berhenti kerja karena mengurusi rumah tangga dan mengurus anak yang masih kecil-kecil.
Seandainya dua-duanya bekerja, lalu menggunakan jasa asisten rumah tangga, seperti tidak mungkin karena biaya untuk itu sudah semakin susah dan mahal. Juga pasti asisten tersebut bakal tidak nyaman dan tidak betah tinggal di rumah kontrakan sederhana.
Maka penghasilan 6 jutaan di atas, sepandai-pandainya mengatur keuangan dan sehemat apa pun pola hidup yang dijalani, pasti hanya bisa menutupi kebutuhan-kebutuhan rutin yang bersifat kebutuhan dasar, seperti sandang, pangan, cicil motor dan biaya sewa rumah. Belum lagi kalau ada acara mudik, liburan, atau beli peralatan rumah tangga, pasti bisa tekor. Hehe
Untungnya di kantor masih ada bonus tahunan, lembur, dan penghasilan tambahan lainnya. Maka pendapatan yang tidak terlalu besar inilah yang disimpan ke tabungan setiap bulannya. Kadang tabungan ini pun sering terpakai untuk kebutuhan tidak terduga, seperti kalau ada sanak saudara yang lagi kesusahan, atau karib kerabat yang butuh pertolongan. Otomatis, saldo tabungan ya segitu-segitu saja, paling nambah-nambah dikit, hehe.
Nah, kembali ke rencana atau impian mau membeli rumah, dengan kondisi seperti uraian di atas, kapan bisa terwujudnya?
Karena setelah coba keliling ke mana-mana, rata-rata harga rumah yang layak, lokasi tidak terlalu jauh dari Jakarta, dan tidak terlalu kecil harganya sekitar Rp 400 jutaan. Seandainya Rp 400 juta, berarti beli lewat KPR harus ada DP 120 juta, ditambah pajak, notaris, dan biaya-biaya lainnya total sekitar 150 juta. Itu kalau ambil jangka 15 tahun, maka cicilan per bulan sekitar Rp 2,900.000,-.