Mohon tunggu...
Andi Irawan
Andi Irawan Mohon Tunggu... profesional -

Love to be black

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pecinan Tua Peunayong; Romantisme Sejarah Tionghoa di Aceh

22 Desember 2012   03:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:13 2154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di Pecinan tua bernama Peunayong, etnis minoritas Tionghoa melewati berbagai kisah kelam. Mereka tersisih, terasing jauh dari tanah leluhur. Tapi, berbagai ujian tak mampu melunturkan rasa cinta mereka pada Aceh. Di negeri ini, mereka lahir dan ingin menghembuskan nafas terakhir.

GELOMBANG pengusiran setelah gagalnya kudeta Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965 menjadi catatan paling kelam dalam perjalanan hidup etnis Tionghoa di Banda Aceh. Sejak saat itu, ketentraman mereka terusik, hidup di balik bayang-bayang diskriminasi.

Catatan milik Pusat Latihan dan Penelitian Ilmu Sosial Darussalam Banda Aceh, yang ditulis tahun 1976, menyebutkan pada tahun 1964 jumlah warga Tionghoa yang tinggal di Banda Aceh 6.334 orang. Dari jumlah itu, hanya 750 orang tercatat sebagai warga negara Indonesia. Sisanya, 5.584 orang terdiri dari warga negara Republik Rakyat Cina (RRC) dan kelompok stateless (warga Republik Tionghoa Nasionalis Taiwan).

Dari jumlah itu, 70 persen warga turunan Cina yang menetap di Banda Aceh berdarah Hakka (Khek), sedangkan 30 persen lainnya Hokkian dan Kanton (Kwong Fu), beragama Budha, aliran kepercayaan Konfusius (Konghucu) dan Kristen. Mereka umumnya tinggal di Peunayong, bagian dari wilayah Banda Aceh yang didesain Belanda sebagai Chinezen Kamp alias Pecinan.

Di kota tua ini, sejak dulu, Tionghoa dikenal sebagai pekerja tangguh. Tempo dulu, Tionghoa di Banda Aceh bekerja sebagai buruh pertambangan, pelabuhan, perkebunan, buruh kontrak kebun karet dan lainnya. Sebagian uang hasil kerja sehari-hari ini ditabung. Karena gigih bekerja, banyak di antara mereka lebih cepat kaya ketimbang pribumi. Tabungan itu kemudian jadi modal untuk membeli tanah dan membuat toko. Pelan-pelan mereka membuka usaha dagang, sambil tetap bekerja sebagai buruh. Ketika uang mereka benar-benar cukup, maka beralihlah pekerjaan mereka dari pekerja kasar menjadi pedagang barang dan jasa, dengan memanfaatkan tempat usaha sendiri.

Sama seperti di daerah lain di Indonesia, sebelum tahun 1965 Tionghoa di Aceh menguasai sebagian besar lapangan pengusahaan barang dan jasa. Mereka bahkan merambah hingga ke usaha kecil, seperti berjualan di pasar, kios makanan ringan, rumah makan, warung kopi, penatu (dobi), tukang cukur, warung kelontong, agen sayur dan peternakan babi. Usaha skala besar, Tionghoa membuat perusahaan pemborongan (konstruksi), pedagang interinsulir, swalayan, studio foto, ekspor-impor komoditi dan perusahaan angkutan.

Sebelum tahun 1966, Tionghoa di Banda Aceh memiliki sekolah sendiri, yang disesuaikan dengan agama dan kepercayaan atau status kewarganegaraan. Tionghoa warga negara Indonesia punya lembaga pendidikan berupa sekolah yang dibangun oleh Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), Tionghoa warga negara RRC punya sekolah bernama Chung Hua Chung Hui, sedangkan kelompokstateless juga punya lembaga pendidikan khusus yang terletak di Peunayong. Bahasa pengantar dan aksara yang digunakan di sekolah itu yakni Tionghoa, sehingga banyak dari mereka yang tidak fasih berbahasa Indonesia. Sekolah-sekolah milik Tionghoa itu berstatus swasta, yang dibiayai oleh organiasasi paguyuban masing-masing. Maka, mereka tidak menerima anak-anak pribumi Aceh.

Di masa itu, etnis Tionghoa tinggal berkelompok, tersebar di Jalan Perdagangan, Jalan Diponegoro, Jalan Mohammad Jam dan lain-lain. Kelompok lain tinggal di kawasan Seutuy. Ada juga yang tinggal di kampung-kampung, tapi tentu mereka juga membuat kelompok kecil. Jarang ada Tionghoa memeluk Islam dan menikahi pribumi Aceh.

Hidup sebagai minoritas dalam masyarakat Aceh, dengan perbedaan budaya dan agama, tidak membuat etnis Tionghoa di Banda Aceh terkungkung. Mayoritas muslim bisa menerima perbedaan ini. Tapi, persaingan dagang kemudian ikut menjadi pemicu terjadinya sejarah kelam konflik antara mereka dengan pribumi.

Gelombang eksodus

Luasnya lapangan pengusahaan milik Tionghoa di Banda Aceh kemudian memicu kompetisi, yang kemudian menyebabkan usaha-usaha milik pribumi mundur. Menurut pakar sosiologi, Wartheim, kompetisi ini disebut sebagai “the trading minority”, yakni Tionghoa sebagai golongan minoritas menguasai sebagian besar lapangan pengusahaan berbasis perdagangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun