[caption id="attachment_324464" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption] Ada yang menarik ketika siang ini tidak sengaja membaca tulisan dari salah satu mahasiswa di Yogyakarta yang mencurahkan keluh kesahnya dalam memperjuangkan seni budaya. Dalam kasusnya, dia sedang berusaha untuk mendapatkan dukungan dana guna pergi ke Eropa menghadiri undangan pentas budaya, dan mereka berencana mementaskan beberapa seni budaya dari beberapa daerah di Indonesia. Membaca tulisan itu, sejenak saya flashback terhadap kenangan dua tahun yang lalu. Ya, kenangan pahit-manisnya perjuangan mengenalkan dan melestarikan seni budaya Indonesia. Bukan di negeri orang, tapi di negeri sendiri.
Waktu itu tepatnya bulan Agustus tahun 2011, saya diminta oleh Ketua Sanggar Nusantara IKPMD Indonesia-Yogyakarta (Sanur) untuk menjadi penghubung ke Kepala Dinas Kebudayaan Propinsi DIY guna mengutarakan niat rekan-rekan mahasiswa dan pelajar se-Indonesia di DIY yang tergabung dalam tim Sanur untuk bisa pentas di Jakarta. Ide ini awalnya adalah sebuah gagasan yang dilontarkan oleh Kepala Kantor Perwakilan Propinsi DIY (Kaperda) di Jakarta yang waktu itu sedang menghadiri salah satu acara IKPMD Indonesia di Yogyakarta. Menangkap adanya peluang itu, rekan-rekan di Sanur kemudian menghubungi saya untuk kemudian dihubungkan dengan Kepala Dinas Kebudayaan Propinsi DIY. Kepala Dinas menyambut baik gagasan ini, yang kemudian saat itu juga langsung menghubungkan kami dengan Kepala Kantor Perwakilan Daerah Propinsi DIY di Jakarta. Waktu itu saya hanya diberi tahu bahwa kami diminta untuk berkirim surat resmi melalui fax serta berkoordinasi langsung dengan staff khusus beliau di Jakarta. Pasca dari Kantor Dinas Kebudayaan DIY, saya kemudian intensif melakukan pembicaraan dengan pihak Kaperda hingga akhirnya diperoleh tanggal dan waktu pementasan. Kami memiliki waktu 4 bulan untuk persiapan segala sesuatunya. Pihak Kaperda bisa membantu untuk memfasilitasi acara yang akan dilangsungkan di TMII Jakarta dan akan dihadiri oleh semua Kepala Kantor Perwakilan Daerah se-Indonesia di Jakarta. Selain itu Kaperda juga siap memfasilitasi untuk penginapan serta konsumsi selama di Jakarta. Kaperda tidak bisa memfasilitasi semuanya, dikarenakan kami pentas akhir tahun, kondisi keuangan sudah hampir tutup buku. Oleh karena itu, di luar fasilitas di atas, kami harus mencari sendiri.
Untuk masalah transportasi, awalnya saya meminjam bus dari Balai Pemuda dan Olahraga (BPO) Provinsi DIY. Saya pun mendapatkan acc langsung dari Kepala BPO. Namun, H-3 sebelum keberangkatan, Kepala Bagian memberi tahu bahwa bus BPO tidak layak jalan ke luar kota karena remnya blong, belum uji KIR, serta kendaraan yang baru selesai di-custom. Bagai disambar petir, saya dan Ketua mendadak pucat, karena waktu yang tersisa tinggal 3 hari lagi. Saya kemudian berbagi tugas dengan Ketua untuk mencari pinjaman bus di beberapa instansi. Saya menghubungi ke Pangkalan TNI AL di DIY, dan menyatakan bahwa kendaraannya tidak layak untuk ke Jakarta. Selain itu berbahaya karena kendaraannya yang siaga adalah kendaraan khusus angkutan perang sehingga rawan untuk dibawa ke luar kota. Lalu saya pergi ke Brimob DIY, namun belum juga ke sana, saya diberi tahu bahwa bus Brimob tidak bisa keluar. Laporan dari Ketua pun sama, dia gagal mendapatkan pinjaman kendaraan bus Satpol PP DIY, serta bus DPRD Prov DIY. Hari berikutnya di tengah waktu yang semakin mepet, saya mencoba melobi ke Kepala Stasiun Lempuyangan guna mendapatkan bantuan tiket kereta. Apa lacur, beliau bersedia membantu namun sayangnya tiket yang tersisa hanya tinggal 10, sedangkan kami membawa lebih dari 30 orang dalam tim. Lagi-lagi kami harus tertekan dengan waktu H-2 sebelum keberangkatan namun belum mendapatkan kepastian bagaimana kami harus ke Jakarta. Opsi membatalkan pementasan pun menyeruak, namun saya coba kekeuh bagaimanapun caranya untuk bisa berangkat ke Jakarta karena persiapan di Jakarta sudah mencapai 90% serta undangan yang sudah tersebar ke semua Kepala Kantor Perwakilan Daerah se-Indonesia di Jakarta, serta Ketua-Ketua IKPM se-Indonesia di Jakarta.
H-1 sebelum keberangkatan saya mendapatkan bantuan biaya dari kantong pribadi salah satu Kepala Bagian di BPO. Beliau yang selalu mendukung kami, namun kali ini tidak bisa banyak membantu karena memang kondisi yang tidak terprediksi sebelumnya. Waktu itu ketua pun akhirnya mendapatkan Bus Kota (seperti KOPAJA) yang berani untuk membawa 30 orang dalam 1 bus ke Jakarta. Saya dan Pak Ketua mau tidak mau harus menggunakan uang pribadi untuk menutupi pembayaran bus yang mencapai hampir 4 juta lebih. Sebelumnya kami pun harus didera dengan masalah internal, di mana tim Sanur menganggap kami tidak peduli dengan persiapan mereka. Mereka berdalih bahwa mengapa selama ini BPH tidak memperhatikan mereka, membantu untuk konsumsi, serta datang menengok mereka. Kami punya alasan tersendiri mengapa kami begitu, yang pertama karena kami sedang diribetkan dengan urusan transportasi yang tidak kunjung pasti, kemudian kami tidak memiliki kas untuk membantu pembiayaan konsumsi selama mereka latihan berhari-hari (bahkan kami pun tidak pernah meminta sepeser pun dari uang kas untuk sekedar uang bensin kami berdua guna pergi kesana-kemari). Permasalahan selesai dengan keputusan bahwa kami akan membantu biaya konsumsi mereka selama latihan (waktu itu kami akhirnya meminjam tabungan pribadi ketua yang seyogyanya akan digunakan untuk berbisnis).
Permasalahan berikutnya yang muncul adalah ketidaklengkapan seragam tari daerah yang dimiliki. Berbekal mandat sebagai Sekjen, saya melobi rekan-rekan Ketua-Ketua IKPM se-Indonesia di Yogyakarta guna bisa meminjam pakaian mereka. Lebih lanjut, segala perlengkapan lain seperti tanda pengenal dan masalah perizinan bisa kami selesaikan dalam kurun waktu H-12 jam sebelum keberangkatan. What a crazy time at that time. Sebenarnya saya juga mendapatkan kesempatan untuk bisa pentas di Kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga, pada hari seninnya, namun karena kondisi rekan-rekan yang sudah terlalu lelah serta ketiadaan anggaran tambahan, saya pun membatalkan agenda tersebut. Dari kisah di atas serta melihat kisah yang ditampilkan oleh saudari Nizam, ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik. 1. Pemerintah tidak pernah menutup mata perihal pelestarian seni budaya Indonesia. Kalaupun kemudian dalam kasus Nizam, dia tidak mendapatkan balasan atau respon dari pemerintah, itu bukan karena pemerintah tidak peduli. Mungkin bisa saja waktu yang terlalu mepet, kemudian ketiadaan anggaran mengingat ini baru awal tahun sehingga APBD/APBN belum bisa dicairkan hingga kuartal pertama. Bisa jadi mungkin pemerintah sudah memiliki prioritas lain dalam hal misi diplomasi budaya ke Eropa 2. Pengajuan anggaran untuk hal-hal seperti ini, mutlak harus dibicarakan setahun sebelum pementasan. Kita tahu bahwa saat ini melalui SE Mendagri, bantuan-bantuan sosial yang selama ini banyak disasar oleh organisasi mahasiswa maupun masyarakat, sudah ditiadakan mengingat rawan penyimpangan. Sehingga mau tidak mau, kalau kita menginginkan adanya bantuan dari pemerintah, kita membicarakannya ketika RAPBD/RAPBN sedang dibahas, bukan ketika sudah diputuskan. 3. Sebagai mahasiswa, terkadang jiwa nasionalisme kita terlampau tinggi hingga membutakan realitas yang ada. Memang benar bahwa sebagai generasi muda kita memiliki tanggung jawab mengenalkan serta melestarikan seni budaya bangsa agar tidak tergerus oleh budaya asing yang semakin masif menggempur Indonesia. Namun kita juga harus sadar bahwa, tidak selamanya niat baik kita bisa disalurkan melalui hal-hal yang bersifat seremonial dan monumental. Kita juga harus tau seberapa tinggi kemampuan kita untuk melaksanakan acara tersebut. 4. Berbicara mengenai diplomasi budaya, kita bisa belajar banyak dari misi diplomasi budaya yang dibawa oleh teman-teman dari HI UPN Veteran Yogyakarta. Mereka berhasil menembus Eropa guna mengenalkan seni budaya bangsa. Satu hal yang perlu digarisbawahi dari usaha mereka adalah keberhasilan mereka menembus Eropa bukan semata-mata karena usaha instan dan mudah. Mereka butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa mendapatkan MoU dengan KBRI di Ceko hingga akhirnya bisa mendapatkan dukungan penuh. Selain itu, beberapa pementas adalah rekan saya sendiri yang mereka pun bercerita bahwa untuk pementasan ini mereka harus menjalani beberapa kali seleksi serta latihan yang memakan waktu kurang lebih 6-8 bulan. 5. Jangan pernah putus asa untuk melestarikan seni budaya bangsa walau tidak ada dukungan materi dari pemerintah, yakinlah bahwa apa yang saat ini tengah dijalankan semata-mata sebagai wujud bhakti nyata kita agar seni budaya bangsa tetap lestari hingga anak cucu nanti. Jangan sampai kemudian kita belajar seni budaya kita sendiri kepada bangsa lain (lihat kasus wayang dan alat musik jawa) Salam Seni Budaya dan Salam Nusantara dR. *Tulisan ini adalah sebagai respon dari tulisan saudari Nizam di kompasiana (lihat tulisannya disini) *Penulis tidak bermaksud menggurui, hanya berbagi cerita saja agar ke depan kita bisa semakin belajar mempersiapkan segala sesuatunya dengan lebih baik lagi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H