Hari ini, segenap bangsa Indonesia memperingati 50 tahun peristiwa Gerakan 30 September atau yang lazim disebut G30S/PKI. Penyebutan PKI dibelakang nama peristiwa ini sebenarnya masih menjadi kontroversi dikalangan sejarawan, politisi, bahkan hingga anak cucu yang menjadi korban peristiwa ini. Korban disini dimaknai tidak hanya anak para jenderal yang dibunuh, melainkan juga para janda, anak, serta keluarga simpatisan PKI yang [mungkin] sebenarnya tidak terlibat secara langsung dan tidak mengetahui peristiwa tersebut. Mereka hanya menjadi korban karena label “PKI / Komunis” yang terlanjur digaungkan oleh penguasa rezim.
Sedikit memutar waktu kebelakang, dalam sejarahnya PKI memang dekat dengan kata Pemberontakan. Dari sejarahnya, komunisme telah mengenyam asam garam pemberontakan di 75 negara dalam kurun waktu 75 tahun. China, Uni Soviet, Vietnam, Indonesia, Korea, Malaysia dan 69 negara lainnya adalah negara yang pernah mencicipi aksi dari komunisme ini. Tercatat dalam sejarah, gerakan komunis ini 28 kali berhasil melakukan aksinya, namun mengalamai 47 kali kegagalan. Indonesia [menurut catatan Taufiq Ismail] adalah yang paling banyak, yaitu sebanyak 3 kali dan kesemuanya gagal.
Saya bukanlah seorang sejarawan, apalagi orang yang mengalami peristiwa itu sendiri. Saya lahir puluhan tahun setelah kejadian tersebut dimana dari kecil saya dicekoki paradigma bahwa dalang peristiwa Gerakan 30 September 1965 adalah PKI. Terlepas dari benar atau salah informasi ini, tulisan saya berbicara pada konteks isu negara harus meminta maaf pada PKI.
Ada pertanyaan yang terus membayangi hingga saat ini. Siapa aktor intelektual dibalik peristiwa G 30 S ini? Apakah PKI seperti yang didengungkan oleh buku-buku sejarah lawas? Apakah Soeharto dan CIA (Amerika) seperti yang dihingarbingarkan oleh aktivis di beberapa sosial media beberapa waktu ini? Waktu ternyata belum mengizinkan pembukaan tabir peristiwa ini secara gamblang kepada publik.
Dalam sebuah ritual maaf-maafan, tentunya harus ada pihak yang meminta maaf, dan adapula yang dimintakan maaf / yang memaafkan. Di isu PKI ini, aktor penting dalam ritual ini menjadi kabur. Siapa yang harus meminta maaf dan siapa yang harus dimintakan maafnya. Ritual ini bukanlah perkara mudah seperti layaknya ritual lebaran. Karena konteks ritual ini mengatasnamakan negara yang diwakilkan oleh Presiden. Ini berarti yang meminta maaf adalah seluruh bangsa Indonesia. Lalu pertanyaannya kemudian adalah siapa yang harus dimintakan maaf? Para korban? Siapa yang disebut sebagai korban tersebut?
Perlu diketahui bahwa label korban dalam peristiwa ini sangat multitafsir, bahkan terkesan abstrak. Seandainya yang disebut sebagai korban adalah para keluarga 9 Jenderal & Perwira Menengah (7 di Jakarta, 2 di Yogyakarta), lalu bagaimana dengan para keluarga korban simpatisan PKI yang tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Jika yang disebut korban adalah keluarga para jenderal ini, maka itu sudah mafhum adanya. Ayah, Suami dan saudara mereka yang menjadi tokoh sentral di TNI AD saat itu, tiba-tiba dijemput paksa saat dini hari, disiksa, dan diketemukan sudah tidak bernyawa di sumur lubang buaya. Mereka adalah korban dalam peristiwa ini. Tapi apakah kemudian kita tidak berpikir, bagaimana dengan para keluarga simpatisan PKI yang selama hidupnya akhirnya menutup jati diri serta identitas asli mereka. Hak sebagai warga negara dipasung hanya karena orang tua (atau kakek) mereka merupakan simpatisan PKI yang sebenarnya hanya ikut-ikutan dan tidak menahu agenda serta tujuan dari komunisme sebagai ideologi PKI itu sendiri. Mereka tidak ambil bagian dalam aksi kekejaman 30 september 1965 tersebut. Mereka hanya tahu bahwa di ideologi ini sangat memimpikan untuk mensejahterakan mereka sebagai masyarakat. Lebih dari itu adalah urusan tingkat tinggi yang menjadi domain pimpinan.
Lalu jika negara (dalam hal ini Presiden) jadi meminta maaf kepada PKI (dengan menggeneralisir antara pimpinan PKI yang terlibat dengan simpatisan akar rumput), apakah ini justru tidak menimbulkan ketidakadilan bagi para korban itu sendiri? Keluarga mereka di tangkap dan dieksekusi tanpa melalui prosedur hukum. Seumur hidup mereka harus terus melapor kepada pamong dan Koramil ditempat mereka bermukim. Padahal keluarga ini tidak tahu menahu tentang peristiwa yang [mungkin] sebenarnya hanya dilakukan oleh para oknum pimpinan dan simpatisan yang kemudian menyeret keseluruhan simpatisannya di berbagai wilayah. Mereka diperlakukan sama [dalam konteks dituduh sebagai PKI / Pelaku G30S] dengan pelaku yang sesungguhnya. Bagi saya ini sungguh tidak adil. Mereka ini juga merupakan korban akibat generalisir PKI oleh rezim saat itu.
“Minta maaf pada siapa? Karena kami ini juga korban”
-Amelia Yani, putri Jenderal Ahmad Yani-