Sebagai orang yang awam terhadap politik, tentu babak baru dalam kontestasi 5 tahunan untuk memilih presiden selalu mencuri perhatian banyak orang. Dari semua sajian menu dalam kontestasi ini, perang antar lembaga survei adalah yang paling menarik. Mengapa? Karena disinilah sebenarnya idealisme serta keilmuan seorang akademisi dibuktikan. Para periset dari lembaga-lembaga survei ini tentu bukan periset abal-abal tentunya. Mereka adalah para ahli di bidang ilmu statistika. Selain itu, guna menerjemahkan data-data hasil survei, tentu lembaga-lembaga ini memiliki ahli-ahli tafsir dibidang sosial politik. Belum lekang dalam ingatan, bagaimana lembaga-lembaga survei ini berperang dengan lembaga lain ketika pemilu legislatif beberapa bulan yang lalu. Namun mengapa saat pemilu sudah hampir mencapai klimaksnya, justru mereka malah melempem dan tidak mengaum seperti sebelumnya. Lama saya mencoba mencari dan menyambungkan antar satu fakta dan bukti dengan variabel yang lain. Hingga akhirnya saya dikirimi informasi melalui email oleh salah satu rekan baik saya di Indonesia, Adi Mulia Pradana. Beliau saat ini bekerja untuk salah satu konsultan asing di Indonesia, juga menjadi volunteer bagi KPK RI, serta Indonesia Mengajar. Beliau juga salah satu aktivis yang saya kenal giat mengawal berbagai pembahasan RUU di DPR RI. Berikut adalah jawaban yang cukup membuka cakrawala saya tentang judul tulisan ini. Mengapa Lembaga Survei Tidak Suka Prabowo Tiba-Tiba Unggul? Pertanyaan sekarang tertuju pada lembaga survei. Ada hal yang kontradiktif jika dibandingkan antara pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Dalam satu setengah bulan terakhir, jumlah survei (jika dihitung per Mei 2014) terhadap kontestasi pilpres hanya 14 buah survei. Bandingkan dengan hal yang sama saat pemilu legislatif, dimana jika dihitung per Februari 2014, ada 25 survei parpol. Itu belum menghitung survei capres pada rentang Februari-April 2014 (sebelum pileg dilangsungkan). Sebagai catatan, jumlah survei sejak 2011 hingga 24 Juni 2014 ada sebanyak 118 survei, baik parpol maupun capres. Ada banyak pertanyaan mengapa lembaga survei tidak lagi intens melakukan survei, meski seharusnya survei pilpres seharusnya secara teknis lebih sederhana. Tapi bisa juga menghadirkan banyak dugaan:
- Penghitungan nasional terhadap hasil pileg banyak yang meleset dari perkiraan semua survei. Ada trauma penyedia dana survei (jika dilakukan untuk keperluan internal suatu pihak dan punya kebijakan menyengaja disebarluaskan hasilnya)
- Perdebatan kredibilitas lembaga. Para lembaga survei bisa jadi berpikir ulang dalam melakukan survei pilpres saat survei mereka di pileg ternyata meleset terlalu besar
- Tantangan teknis melakukan survei. Bisa jadi para responden menjadi enggan untuk disurvei kembali. Bisa jadi “memerlukan biaya tambahan” lebih besar untuk merayu sampel/responden agar bersedia disurvei/dimintai jawabannya
- Survei pilpres pasca pileg lebih mengerucut nama-namanya. Pembanding antara “mensurvei 2 nama” tidak lagi sama dibanding “mensurvei 6-8 nama bakal capres”, faktor koalisi yang dibentuk tiap capres juga mempengaruhi pilihan konstituen
Kredibilitas lembaga survei tidak harus dilihat seberapa sering dia melakukan survei. Bisa jadi suatu lembaga sangat berhati-hati melakukan survei, melakukan persiapan amat panjang, agar hasil survei benar-benar kredibel dan bisa dipercaya. Sekali sebuah lembaga melakukan survei, hasilnya sangat mempengaruhi pilihan publik di Indonesia, “saking” (karena amat) kredibelnya lembaga itu. Publik Indonesia dan utamanya peneliti asing terhadap Indonesia (Indonesianis) atau siapapun pemerhati politik Indonesia, cenderung mengerucutkan lembaga survei paling kredibel (baik hasil, maupun transparansi pendanaan lembaga survei) kepada 4 lembaga, yaitu Litbang Kompas, CSIS, INDIKATOR, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), dan Lembaga Survei Indonesia (LSI).
CSIS bukan lembaga survei, tapi karena kredibilitas riset multi bidang, membuat survei CSIS dinilai amat terpercaya. Kompas sendiri adalah media cetak, tapi dengan kemampuan jejaringnya dan konten berita yang berimbang, maka tiap survei dari litbang kompas juga dinilai amat terpercaya. Saiful Mujani dulu adalah salah satu pendiri Lembaga Survei Indonesia, dan saat Saiful mendirikan sendiri lembaga survei yang lebih baru (SMRC) kredibilitas atas lembaga barunya saling melekat dengan kredibilitas personal dirinya sebagai ahli riset. Sampai saat ini “Lembaga” (Survei Indonesia) dinilai paling baik dalam survei, dibanding “Lingkaran” (Survei Indonesia). Antipati terhadap “Lingkaran” yang amat memihak Demokrat di 2009 dan Golkar di 2014, menimbulkan antipati terhadap hasil “Lingkaran” yang dicap tidak lagi sekredibel “Lembaga”. 1 lagi lembaga yang dianggap presisi dan atau kredibel, yaitu INDIKATOR, yang dipimpin oleh Burhanudin Muhtadi, salah satu peneliti ahli di “Lembaga”, yang akhirnya mendirikan sendiri lembaga survei. “Lembaga” (Survei Indonesia) kini dipimpin Kuskridho Ambardi, yang juga sama expert-nya seperti Saiful Mujani. Pertanyaannya, mengapa kemudian hanya Litbang Kompas yang berani menyampaikan hasil survei-nya dalam rentang sebulan sebelum pilpres? Kemanakah 4 lembaga lainnya? Adakah hal yang mencurigakan terhadap 4 lembaga survei lainnya dalam praduga “sepinya” survei? Apakah sebetulnya keempat lembaga ini punya hasil survei terbaru (per Juni 2014), tapi sengaja tidak merilis? Jika sengaja, “sengaja untuk alasan apa” jika tidak dirilis? Maka yang bisa dilihat adalah apakah kelima lembaga ini punya tingkat intensitas melakukan survei atau tidak. Baik terkait elektabilitas parpol (Pileg) atau elektabilitas capres (Pilpres). Jika mengambil rata-rata seluruh lembaga survei yang merilis Maret-April 2014 dalam elektabilitas capres, tanpa menghitung capres lain dan murni mengambil perolehan Prabowo dan Joko Widodo, bisa didapat bahwa keunggulan Joko Widodo mencapai 27 persen. Tapi dilihat dari berbagai rilis survei Juni ini (dengan tindakan survei secara aktif pada awal Juni), selisih Joko Widodo-Prabowo sudah diambang 4-6 persen saja. Tidak terbayang apakah pada pekan ketiga Juni 2014, jika ada yang mensurvei, bisa jadi hasil menunjukkan Prabowo berbalik unggul. Belum lagi pekan keempat Juni 2014 dan pekan pertama Juli 2014.
Lembaga Survei Indonesia sebetulnya merilis survei pada 24 Juni 2014, tapi dalam penyampaian konferensi pers hanya menjabarkan faktor pemilu legislatif dan politik uang. Hanya saja, beberapa peneliti tertentu dan Indonesianis, diberikan hasil survei “Lembaga”, yang menunjukkan bahwa awal Juni 2014, selisih Jokowi-Prabowo hanya 4 persen (Jokowi 43 persen, Prabowo 39 persen). Tapi hasil ini tidak disampaikan secara terang-terangan pada seluruh media. Sebagai catatan, LSI bersedia memberikan akses Tempo untuk mempublikasi angka (Koran Tempo, 27 Juni 2014), tapi media lain mengatakan pihak Lembaga Survei Indonesia meminta media tersebut untuk tidak menyebutkan angkanya (ditulis dalam The Jakarta Globe, Kamis, 26 Juni 2014). Adakah SMRC, INDIKATOR, dan CSIS juga memiliki hasil survei (sebetulnya punya) tapi sengaja tidak dirilis? Apakah sengaja tidak dirilis karena khawatir bahwa undecided voters akhirnya memilih Prabowo karena merasa elektabilitas Prabowo terus mengejar Jokowi bahkan menyalip Jokowi? Jika memang amat tersusulnya elektabilitas Jokowi oleh Prabowo (dan bahkan disalip), bisa jadi problemnya adalah tim kampanye kedua pihak:
- Bisa jadi para kader PDIP dan atau partai pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla sebetulnya sudah tidak punya uang karena “habis” saat pileg. Bahkan berutang. Peliknya, “dana kampanye” (logistik) tidak secara deras mengalir ke kader-kader daerah. Hal sebaliknya bisa jadi dialami kader pro Prabowo-Hatta
- Kedua pasang kandidat sebetulnya didukung berbagai pengusaha yang sama-sama “kakap”, sehingga tidak ada alasan bahwa salah satu pihak merasa “kesulitan logitik:. Tapi mungkin kubu Prabowo-Hatta lebih maksmimal dan kontinyu mengalirkan dana. Atau ada problem sengketa dana kampanye di “pusat” (di lingkar utama tim Jokowi-JK), dimana meski dana amat melimpah tapi tidak segera dialirkan ke kader. Tentu kader pro Jokowi-JK yang sudah kehabisan dana setelah pileg, tidak maksimal mengampanyekan Jokowi-JK
Bagaimanapun, sekredibel apapun lembaga survei, sebetlnya ada “cela”. Itu bisa ampil dalam percakapan di media sosial. Kuskridho Ambardi (LSI), Burhanudin Muhtadi (INDIKATOR), Philip Vermonte-Rizal Sukma (CSIS), dan Saiful Mujani (SMRC) secara jelas di media sosial sendiri berpihak pada Jokowi, baik implisit maupun eksplisit. Apakah jika lembaga-lembaga tadi secara terang-terangan merilis survei yang hasilnya (ternyata, survei yang lebih mutakhir) menunjukkan Prabowo menang, menjadi konflik kepentingan antara pimpinan lembaga riset tadi dan idealismenya dalam pilihan (terhadap Jokowi)? Bagaimana jika publik sebetulnya amat membutuhkan dan menunggu (sembari bertanya) mengapa lembaga-lembaga yang amat kredibel dalam survei tiba-tiba diam? Merujuk semua survei dari 5 lembaga terkredibel dalam melakukan survei (dibagian bawah tulisan), memang menampilkan gap/jarak amat besar antara Prabowo dengan Jokowi. Inikah yang kemudian membuat mereka (lembaga survei) gugup merilis survei yang bisa jadi menampilkan prabowo menang? Bukankah lembaga survei/lembaga apapun yang membuat survei teruji kualitas dan kredibilitasnya karena berani menyampaikan apa adanya survei, sekalipun hasilnya “pahit” bagi lembaga itu sendiri? ----------------------------------------------------------------------------------------------------------- Peta hasil 5 lembaga survei/5 pembuat survei terseleksi: CSIS:
- Februari 2012, survei capres, Prabowo 7,2 persen (tertinggi dalam survei tersebut: Megawati, 10 persen), jumlah nama yang disurvei 8 figur, dan belum memasukkan Jokowi
- Februari 2012, survei parpol, Demokrat 12,6 persen, Golkar 10,5 persen, PDIP 7,8 persen, Gerindra 3 persen (top four), mensurvei 10 parpol
- Agustus 2012, survei capres, Prabowo 14,5 (prabowo tertinggi, yang diurutan kedua: Megawati, 14,4 persen), jumlah nama yang disurvei 8 figur, dan belum memasukkan Jokowi
- April 2013, survei capres, Joko Widodo 28,6 persen, Prabowo 15,6 persen, mensurvei 6 bakal calon capres
- Mei 2013, survei parpol, Golkar 13,2 persen, PDIP 12,7 persen, Gerindra 7,3 persen (top three), mensurvei 10 parpol
- Desember 2013, survei parpol, PDIP 17,6 persen, Golkar 14,8 persen, Gerindra 8,6 persen (top three), mensurvei 10 parpol
- Maret 2014, survei capres, Joko Widodo 45,7 persen, Prabowo 23,6 persen, mensurvei 3 nama capres
- Maret 2014, survei parpol, PDIP 20,1 persen, Golkar 15,8 persen, Gerindra 11,3 persen, mensurvei 10 parpol
Lembaga Survei Indonesia:
- Februari 2012, Golkar 15,5 persen, Demokrat 13,7 persen, PDIP 13,6 persen, Gerindra 4,9 persen (top four), mensurvei 10 parpol
- Maret 2012, Golkar 17,7 persen, PDIP 13,6 persen, Demokrat 13,4 persen, Gerindra 3,7 persen (top four), mensurvei 10 parpol
Litbang Kompas:
- Juli 2012, survei parpol, Demokrat 12,8 persen, PDIP 9,1 persen, Golkar 6,9 persen, Gerindra 6,4 persen (top four), mensurvei 10 parpol
- Desember 2012, survei capres, Joko Widodo 17,7 persen, Prabowo 13,3 persen, mensurvei 6 figur bakal calon presiden
- Desember 2012, survei parpol, Golkar 15,4 persen, PDIP 13,3 persen, Demokrat 9,3 persen, Gerindra 6,7 persen (top four), mensurvei 10 parpol
- Agustus 2013, survei capres, Joko Widodo 32,5 persen, Prabowo 15,1 persen, mensurvei 6 figur
- Agustus 2013, survei parpol, PDIP 23,6 persen, Golkar 16 persen, Gerindra 13,6 persen (top three), mensurvei 10 parpol
- Juni 2014, survei capres, Joko Widodo 42,3 persen, Prabowo Subianto 35,3 persen
SMRC:
- September 2012, survei capres, Prabowo 19,1 persen (tertinggi), mensurvei 5 figur capres
- Desember 2012, survei parpol, Golkar 21,3 persen, PDIP 18,2 persen, Demokrat 8,3 persen, Gerindra 7,2 persen (top four), mensurvei 10 parpol
- Januari 2014, survei capres, Joko Widodo 33,3 persen, Prabowo 11,4 persen, mensurvei 5 bakal calon presiden
INDIKATOR:
- Desember 2013, survei parpol, PDIP 37,8 persen, Golkar 14,6 persen, Gerindra 6,6 persen (top three), mensurvei 10 parpol
- Januari 2014, survei capres, Joko Widodo 41,5 persen, Prabowo 16,3 persen, mensurvei 6 bakal capres
- Maret 2014, survei capres, Joko Widodo 32,9 persen, Prabowo 11,4 persen, mensurvei 15 bakal nama capres
- Maret 2014, survei parpol, PDIP 24,5 persen, Golkar 14,9 persen, Gerindra 10,5 persen, mensurvei 10 parpol
dR. P.S : * Sumber gambar : 1, 2, dan 3
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H