Kamu harus mulai membiasakan diri berjalan kaki, tidur beralas tikar, serta tidur dengan dengung nyamuk liar sebelum pernikahan kita dilaksanakan. Sebab aku tak mau kita menjadi pengantin yang ditutupi oleh gemerlapnya materi serta buaian mimpi duniawi semata. Pernikahan kita terlalu sederhana kalau hanya menjalani ritual resepsi, jabat tangan serta jamuan makan. Semoga kamu pengajar tangguh. Memiliki jiwa tahan banting, siap dalam kesederhanaan serta mampu menyerap makna di balik setiap kejadian. Sebab aku ingin mengajakmu menikah di bawah atap Fatma. Di rumah yang dulu pernah dihuni oleh perempuan yang begitu dicintai oleh proklamator bangsa ini. Aku akan ucapkan janjiku pada ayahmu untuk bertanggungjawab atasmu. Pak Karno dan Pak Hatta akan menjadi saksi pernikahan kita dan Bu Fatma akan menjadi pendamping pinisepuh yang entah bagaimana caranya menyempatkan hadir dalam momen penting kita ini. Ditemani oleh rekan-rekan seperjuangannya, mereka berjejer rapi menyambut kita dengan senyum semangat penuh optimisme kemerdekaan. Mereka semua mengenakan pakaian lusuh yang sudah berapa hari tidak mereka setrika. Bau peluh tinta senantiasa menyeruak ketika kita menjabat tangan mereka. Tinta perjuangan dalam menuliskan tiap bait ide besar bangsa ini. Sedang kita berdua akan memakai seragam perjuangan yang sama. Aku memakai seragam prajurit siliwingi, kamu mengenakan seragam PMI. Tidak ada iring-iringan kendaraan, petasan, maupun iringan musik. Yang adalah pekik merdeka para pejuang yang senantiasa sabar dan semangat menanti datangnya hari kebebasan. Hanya cahaya matahari yang masuk di celah lubang dinding papan serta ocehan burung liar menjadi pemanis acara pernikahan kita. Memang pernikahan seperti inilah yang kita inginkan. Kamu dan aku akan saling bertatapan memberi sinyal. Sesekali kita menyunggingkan bibir kita seolah yakin esok kita pasti menang. Dibalut dengan kesederhanaan namun diisi dengan banyak pelajaran hidup serta kehidupan. Tak perlu waktu lama hingga para saksi mengucapkan kata sah dalam teriakan yakin dan tegas. Terbiasa memekikkan kata merdeka membuat tiap kalimat yang mereka ucapkan selalu tak mengandung keraguan. Aku tatap dirimu dengan penuh kebahagiaan, sembari bergumam dalam hati "kini kamu adalah perawatku, pengganti tugas ibu dalam merawat anaknya". Kita menikah di bawah atap Fatma ya? Setelah pengucapan janjiku pada ayahmu, aku akan ajak kamu ke rumah Soekarno. Disini aku ingin mengajakmu menyelami arti kesetiaan diantara Soekarno, Inggit, dan Fatma. Lalu dengan menggapit tangan kirimu, aku akan ajak ke Benteng Marlborogh. Benteng yang dipakai Inggris untuk mempertahankan bumi Raflesia dari Portugis dan Belanda. Sebagai pengantin baru, aku ingin kita belajar keteguhan, kekokohan, serta optimisme hidup.
Menjelang malam, aku akan mengajakmu menyusuri pantai panjang. Dibawah lembayung senja, berdua kita saling mencumbui kata dalam tawa. Nyiur kelapa nan hijau menjadi saksi kecupan luapan kebahagiaan. Panjangnya pantai panjang tak lagi terasa memberatkan. Toh nyatanya kini ada dirimu yang senantiasa mendorongku dari belakang dan mengusap semua peluhku. Bila nanti malam dirimu tak terlalu lelah, aku akan membangunkanmu untuk menikmati jagung bakar sembari membaca lagi tiap bait kehidupan yang telah kita lewati untuk kembali mengatur strategi bagi perjuangan kita yang tak lagi sendiri-sendiri. Disini dibawah atap Fatma, kita mulai menggoreskan catatan kita sebagai insan yang bertekad mewujudkan cita dan cintanya. Bengkulu, 14 Agustus 2014 dR. *Sumber gambar : 1 dan 2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H