Mohon tunggu...
Andi Aulia Rahman
Andi Aulia Rahman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia / @andiauliar

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bayar Upah dibawah UMR, Layakkah Pengusaha Dipidana?

31 Mei 2013   14:55 Diperbarui: 4 April 2017   17:18 4629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Andi Aulia Rahman/Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia/ @andiauliar

Salah satu momen di Bulan Mei ini adalah adanya peringatan Hari Buruh yang jatuh setiap tanggal 1 Mei. Dewasa ini, permasalahan buruh sangatlah kompleks. Salah satunya adalah terkait permasalahan Upah Minimum Regional (UMR). UMR adalah upah minimum yang dtetapkan oleh Pemerintah yang harus diberikan oleh Pengusaha kepada Buruh. Salah satu sub permasalahan dalam UMR ini adalah apakah layak pengusaha dipidana ketika membayar upah buruh-nya dibawah UMR? Berikut saya mencoba mengulas permasalahan tersebut ditinjau dari ketentuan dalam Pasal 185 ayat (1) jo. Pasal 90 ayat (1) UU.No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

A.Pendahuluan

Sumber hukum perburuhan telah menyebutkan bahwa dalam hal ketenagakerjaan, kaidah otonom (perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama) tidak boleh bertentangan dengan kaidah heteronom (peraturan perundang-undangan). Oleh karena itu, peran pemerintah dalam menentukan peraturan perundang-undangan akan sangat berpengaruh dalam sistem ketenagakerjaan.

Salah satu hal menjadi peran pemerintah adalah masalah pengupahan. Definisi upah menurut UU No. 13/2003: Upah adalah hak pekerja/buruh yang dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbatan dari pengusaha atau pemberi keria kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan kepada pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

Hal pengupahan ini merupakan faktor sentral dan strategis dalam hubungan industrial dan dapat dikatakan sebagai ‘faktor utama bagi kelangsungan hubungan industrial. Berdasarkan data Depnakertrans tahun 2002-2005, rata-’ rata perselisihan hubungan industrial yang disebabkan oleh faktor upah rata-rata mencapai 43,75 % sedangkan, faktor-faktor penyebab lainnya rata-rata sebesar 56,25 %.Tingginya prosentase perselisihan hubungan industrial oleh faktor pengupahan dapat dimaklumi karena selain berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan hidup, upah berfungsi juga sebagai prestige (harga diri) dan pemicu motivasi bekerja.

UU No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur mengenai pengupahan dalam satu bagian, mulai dari Pasal 88 sampai dengan Pasal 98. Beberapa hal pokok diantaranya sebagai berikut:

1.Pemerintah menetapkan upah minimum

2.Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.

3.Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.

4.Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan mem- perhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.

5.Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% (tujuhp uluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.

Satu hal yang akan menjadi pembahasan dalam tugas ini adalah terkait dengan Upah Minimum. Upah Minimum merupakan standar minimum yang digunakan oleh pengusaha dalam memberikan upah terhadap buruh ataupun karyawannya.

Kebijakan Upah Minimum telah menjadi isu yang penting dalam masalah ketenagakerjaan di beberapa negara baik maju maupun berkembang. Sasaran dari kebijakan upah minimum ini adalah untuk menutupi kebutuhan hidup minimum dari pekerja dan keluarganya. Kebijakan upah minimum di Indonesia sendiri pertama kali diterapkan pada awal tahun 1970an. Namun, pelaksanaannya tidak efektif pada waktu itu. Pemerintah Indonesia baru mulai memberikan perhatian lebih terhadap pelaksanaan kebijakan upah minimum pada akhir tahun 1980an. Hal ini terutama disebabkan adanya tekanan dari dunia internasional sehubungan dengan isu-isu tentang pelanggaran standar ketenagakerjaan yang terjadi di Indonesia

Kebijakan upah minimum telah mengalami berbagai perubahan baik sebelum maupun setelah otonomi daerah. Sebelum otonomi daerah pemerintah pusat menetapkan tingkat upah mini- mum setiap propinsi didasarkan pada rekomendasi dari pemerintah daerah (propinsi). Sedangkan setelah otonomi daerah yang diimplementasikan pada tahun 2001, pemerintah daerah memiliki kebebasan dalam menentukan tingkat upah minimumnya. Oleh karena itu, setelah otonomi kita sering mendengar istilah Upah Minimum Regional (UMR). Tiap-tiap daerah provinsi atau kabupaten/kota memiliki jumlah UMR yang berbeda-beda, tergantung situasi dan kondisi perekonomian daerah tersebut. UMR ini ditentukan oleh Dewan Pengupahan dan kemudian ditetapkan oleh Gubernur.

B.Analisis Ketentuan Pasal 185 ayat (1) jo. Pasal 90 ayat (1) UU. No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Terkait dengan Upah Minimum ini, UU. No.13 tahun 2003 telah mengaturnya secara jelas di dalam Pasal 89 ayat (1) yang menyebutkan bahwa :

“Upah minimum dapat terdiri atas :

a.Upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota

b.Upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota. “

Lebih lanjut, di dalam Pasal90 ayat (1) yang menyebutkan bahwa :

“Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 89”

Ketentuan-ketentuan yang disebutkan diatas, mengandung makna bahwa setiap pengusaha haruslah membayar upah buruh atau karyawannya lebih tinggi atau paling tidak sama dengan UMR yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Pengusaha tidak boleh memberikan upah yang lebih rendah dari apa yang telah ditentukan oleh pemerintah. Namun, permasalahannya disini adalah apakah saat ini setiap pengusaha yang ada telah mengimplementasikan hal tersebut?

Menarik untuk melihat hal ini apabila kita tinjau dari sudut ketentuan pidana. Apabila kita telusuri lebih dalam lagi apa yang terkandung dalam UU No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, kita akan menemukan bahwa apa yang diatur di dalam Pasal 90 ayat (1) diatas, apabila dilanggar, akan mendapatkan sanksi pidana. Di dalam Pasal 185 ayat (1) UU. No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan disebutkan dengan jelas bahwa:

“ Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000 (empat ratus juta rupiah).”

Ketentuan ini memberikan sebuah kepastian hukum bahwasanya apabila ada Pengusaha yang memberikan upah kepada buruh atau karyawannya dibawah Upah Minimum, maka Pengusaha tersebut dapat dipidanakan.

Untuk lebih jelasnya, mari kita melihat contoh kasus yang terjadi berkaitan dengan penerapan Pasal 185 ayat (1) jo. Pasal 90 ayat (1) UU. No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini. Baru-baru ini, yaitu pada tanggal 24 April 2013, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan pemidanaan terhadap seorang pengusaha yang bernama Tjio Christina Chandra Wijaya. Pengusaha yang akrab disapa Chandra ini merupakan pemilik dari UD. Terang Suara, yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan ‘sound system’ di Jalan Kalianyar, Surabaya. Pengusaha yang memiliki 53 karyawan ini dipenjara karena mengupah buruhnya di bawah UMR. Kasus ini bermula ketika Chandra memberikan upah Rp 700.000 kepada karyawannya, padalah UMR Kota Surabaya adala rp 948.500. Awalnya, oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Chandra divonis bebas. Jaksa Penuntut Umum (JPU) pun mengajukan kasus ini sampai pada tingkat kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Oleh Mahkamah Agung, Chandra divonis penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).

Kasus pemidanaan pengusaha ini merupakan kasus yang pertama kali terjadi di Indonesia. Sebelumnya, apabila terjadi hal semacam ini, biasanya diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial.

Menurut saya, adanya putusan Mahkamah Agung yang memidanakan pengusaha yang membayar upah dibawah UMR adalah suatu hal yang sangat tepat. Di tengah maraknya pengangguran dan kemiskinan buruh saat ini, perlu adanya suatu jaring pengaman yakni apa yang kita seut dengan UMR ini. UMR diharapkan berfungsi sebagai jaring pengaman agar upah tidak jatuh pada level dibawah kewajaran. Artinya, apabila buruh bekerja dengan baik, maka buruh akan menikmati tingkat kehidupan yang cukup layak. Bayangkan saja apabila buruh dibayar dengan upah yang kecil dan jauh dari batas kewajaran, bukan tidak mungkin akan terjadi eksplioitasi terhadap buruh.

Ketentuan dalam Pasal 90 ayat (1) jo. Pasal 185 ayat (1) UU No.13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini menurut saya akan memberikan dampak yang sangat baik dalam sistem ketenagakerjaan di Indonesia. Adanya ketentuan pidana yang akan dijatuhkan terhadap pengusaha yang membayar dibawah UMR ini semakin mempertegas bahwa hak-hak buruh, khususnya dalam hal pengupahan, menjadi suatu hal yang sangat sentral dan harus dipenuhi dengan baik oleh pengusaha. Bisa dibayangkan apabila ketentuan sanksi terhadap pengusaha yang meberikan upah dibawah UMR ini tidak ada, maka bukan tidak mungkina pengusaha akan memberikan upah yang jauh dari batas kewajaran

Selain itu, adanya ketentuan sanksi dalam Pasal 185 ayat (1) UU No.13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini, juga seakan mempertegas kehadiran pemerintah dalam melakukan perlindungan terhadap buruh. Peran pemerintah, seperti yang telah dijelaskan dalam bagian awal pendahuluan, yakni sebagai pihak yang diharapkan mampu melindungi kepentingan buruh seakan terjawab dengan adanya ketentuan ini. Dan lebih dipertegas lagi, ketika Mahkamah Agung (dalam Kasus Chandra) telah menerapkan ketentuan ini dalam putusannya.

Sebagai kesimpulan, bahwa hak-hak buruh haruslah tetap dilindungi termasuk dalam hal pengupahan. Ketentuan dalam dalam Pasal 185 ayat (1) ini akan dapat memberikan angin segar terhadap jutaan buruh yang ada di Indonesia dan juga kepastian hukum, bahwasanya buruh tidak dapat diberikan upah secara semena-mena, dan apabilah hal itu terjadi maka pengusaha akan mendapatkan sanksi pidana.

**************************************

Daftar referensi :

oKEBIJAKAN UPAH MINIMUM UNTUK PEREKONOMIAN YANG BERKEADILAN: TINJAUAN UUD 1945 dalam Journal of Indonesian of Applied Economics. Edisi 2 Oktober 2011.

oGibson Sihombing, S.E.,M.M, UPAH MINIMUM SEBAGAI JARING PENGAMAN, BUKAN SEBAGAI UPAH STANDAR (2008 : Jakarta)

ohttp://finance.detik.com/read/2013/04/25/203251/2230787/4/pengusaha-dihukum-akibat-gaji-di-bawah-umr-apindo-siapkan-penjara-yang-banyak

ohttp://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/13/04/24/mlrlpp-ma-pelanggar-umr-dipidanakan

Gibson Sihombing, S.E.,M.M, UPAH MINIMUM SEBAGAI JARING PENGAMAN, BUKAN SEBAGAI UPAH STANDAR (2008 : Jakarta)

KEBIJAKAN UPAH MINIMUM UNTUK PEREKONOMIAN YANG BERKEADILAN: TINJAUAN UUD 1945

dalam Journal of Indonesian of Applied Economics. Edisi 2 Oktober 2011.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun