Melihat Indonesia di tahun 2014 , tentu kita akan menemukan serangkaian akrobat politik yang dilakukan oleh para calon anggota legislatif di negeri ini. Mereka berlomba-lomba mencari dukungan dan simpati dari rakyat dengan melakukan berbagai cara. Mereka, yang “menguasai” media massa, gencar promosi di Televisi, Media Online, Surat Kabar, atau media lainnya. Mereka, yang “menguasai” birokrasi, gencar turun ke daerah-daerah dengan alasan melakukan safari dan kunjungan resmi, padahal apa yang mereka lakukan tak ubahnya suatu safari politik yang dilakukan demi kepentingan diri dan partainya. Mereka, yang “menguasai” sektor swasta, menggempur rakyat dengan bagi-bagi sembako, dalam balutan kegiatan pasar murah.
Ada aroma yang sebenarnya kurang menyenangkan ketika kita memasuki tahun politik seperti halnya tahun 2014 ini. Perang janji antara para politisi yang ingin merebut kursi ke Senayan seakan menjadi tontonan yang tiada hentinya. Bahkan, ironisnya, tak jarang diantara mereka saling mengumpat dan saling mencaci satu sama lain.
Seperti halnya pemilu sebelumnya, tentu saja ada rangkaian yang pastinya tidak akan dilewatkan begitu saja oleh para Caleg, yaitu masa kampanye. Masa dimana para politisi yang terdaftar sebagai Caleg akan turun ke masyarakat dan menampung aspirasi masyarakat yang akan diwakilinya itu. Di tahap ini, kebanyakan Caleg memilih berdiam di Daerah Pemilian (Dapil) mereka masing-masing untuk melihat realita dan kondisi masyarakat disana. Singkat kata, mereka melakukan serangkaian “Kampanye Dialogis” dengan masyarakat.
Tentu, kampanye dialogis yang dilakukan para caleg ini merupakan suatu sarana yang sangat baik dalam memahami kondisi masyarakat yang nantinya akan diwakili oleh Caleg tersebut. Dan, yang must dicatat, bahwa kampanye dialogis sebenarnya telah dilakukan dalam setiap menjelang Pemilu Legislatif berlangsung. Artinya, sejatinya kampanye dialogis bukanlah sesuatu yang asing terjadi.
Namun, apakah mereka benar-benar memaknai kampanye dialogis itu? Mari kita lihat realitas yang terjadi. Kalau memang ritual menjelang Pemilu yang seperti itu selalu dilaksanakan, lantas mengapa kemudian kinerja yang diperlihatkan DPR tidak maksimal dan seolah tidak mencerminkan aspirasi rakyat?
Jawaban pertanyaan itu salah satunya disebabkan oleh tidak seriusnya para Caleg dalam memaknai kampanye dialogis yang mereka lakukan. Inilah fenomena dan gambaran yang benar-benar terjadi di negeri kita dimana kampanye dialogis tidak dimaknai secara serius oleh para Caleg. Mereka, para politisi itu, dalam kampanye dialogisnya memang terlihat sangat pandai berkata-kata dan mengumbar janji sana-sini, namun sayangnya mereka seolah tidak pandai memaknai kampanye dialogis tersebut. Mereka seakan hanya melakukan kampanye dialogisnya sebagai suatu bentuk seremonial dan formalitas belaka. Gambaran seperti inilah yang seakan mempertegas bahwa di negara kita masih dihuni oleh politisi-politisi yang tidak pandai “mendengarkan”.
Mendengarkan yang saya maksud disini adalah bagaimana para Caleg mampu menginventarisir segala macam aspirasi masyarakat yang didatanginya dan kemudian menjawabnya dengan kebijakan-kebijakan yang solutif ketika mereka terpilih. Menurut Yasraf Amir Piliang, dalam bukunya Hantu Politik dan Sosial, bahwa prinsip dialogisme dalam suatu kampanye dialogis adalah bagaimana para caleg memahami masyarakat dan menempatkan mereka sebagai seorang sahabat yang memberi masukan kepada kita. Di dalam prinsip dialogisme ini terkandung sikap saling memahami, saling berbicara, saling percaya satu sama lain, dan yang pasti ada kehendak bersama yang menginginkan pemecahan solusi dari sebuah permasalahan.
Pemaknaan kampanye dialogis yang seperti hal diataslah yang seolah hilang dalam kampanye dialogis caleg saat ini. Para caleg hanya menjadikan kampanye dialogis yang mereka lakukan sebagai suatu formalitas belaka. Mereka seolah tidak menjadikan kampanye dialogis yang mereka lakukan sebagai suatu sarana yang sangat tepat dalam menginventarisir aspirasi masyarakat.
Oleh karenanya, pemaknaan kampanye dialogis secara serius ini haruslah dikedepankan kembali. Bukan lagi saatnya para Caleg turun ke masyarakat hanya dengan berbasa-basi dan menebar janji sana-sini tanpa memaknai peran mereka sebagai calon wakil rakyat, yang seharusnya mendengarkan dan menginventarisir aspirasi masyarakat. Bangsa ini telah lelah dengan serangkaian permasalahan yang menjangkitinya. Bangsa ini telah lelah dengan kebijakan-kebijakan yang tidak pro terhadap kondisi masyarakat yang sebenarnya.
Momentum kampanye pemilu 2014 ini merupakan waktu yang sangat tepat bagi para Caleg, sejauh mana pemaknaan mereka terhadap kampanye dialogis yang mereka lakukan. Apakah sudah benar-benar menginventarisir segala keinginan masyarakat atau belum.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI