Mohon tunggu...
andhoyo wijaksono
andhoyo wijaksono Mohon Tunggu... -

kebenaran merupakan sebuah proses yang terus berkembang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

sepasang cinta menatap laut

29 Juli 2012   12:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:28 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cinta seperti apa yang engkau inginkan?

Kisah yang selalu indah setiap saat, adalah cinta yang membekukan waktu. Mata saling menatap sepanjang waktu di sepanjang hidup dengan senyum simpul bahagia mengembang di bibir yang senantiasa nampak basah oleh gelora asmara. Desir-desir darah yang mengalir meronakan pipi, menjadikannya nampak merah merona. Segar berseri layaknya ranum tomat matang dipohon, sebagaimana tanda terimakasih kepada petani atas kerja kerasnya berhari-hari. Kita akan selalu nampak awet muda, sebab waktu hanya berlalu melewati kehidupan dan hari-hari kita. Waktu tiada mampu menyentuh kita, tiada mampu merubah dan menuakan kulit kita yang akan selalu segar. Kita abadi, seabadi edelweis. Hanya tumbuh, berbunga lalu berhenti, tak akan layu atau bahkan mati.

Mari cintaku, ikutlah bersamaku! Akan kubawa engkau kepinggir laut yang tersembunyi diantara tebing cadas nan terjal, berbatu tajam dan selalu siap melukai telapak kaki cantikmu. Percayalah bahwa aku akan selalu menjagamu, kekuatan cintaku mampu mengalihkan rasa sakit. Dan jikapun cadas itu mampu melukaimu, menembus dan merobek permukaan kulit telapak kaki telanjangmu, maka percayalah, bahwa aku yang akan senantiasa lebih terluka. Saat luka yang terjadi padamu, maka darahnya akan mengalir melalui bagian tubuhku. Aku yang akan terluka. Luka bagimu, adalah sayatan rasa sakit sembilu dihatiku. Aku takkan mungkin melukaimu, dengan ataupun tanpa kusengaja. Karena lukamu adalah lukaku juga, sedang luka bagiku teramat cukup untuk diriku sendiri. Disana cintaku, disanalah dan tidak jauh lagi. Percayalah dengan kata-kataku, percayalah!. Apa yang kusampaikan padamu, adalah sebuah kebenaran. Meskipun akal sehatku mengatakan bahwa “kebenaran adalah sebuah proses yang terus berkembang”. Kata-kata yang mengalir dari mulutku hingga sampai kedalam gendang telinga milikmu, adalah terjemahan dari suara-suara angin muson timur dan deburan ombak gelombang tinggi yang senantiasa membelai pantai. Datang untuk pergi dan pergi hanya untuk kembali. Selalu begitu dan takkan pernah lelah. Saat ini aku hanyalah meminta kerelaanmu. Kepercayaan dan semangat untuk mendaki tebing tinggi berbatu cadas nan terjal ini. Sengaja kupilih waktu dikala mentari pagi perlahan menjelma menjadi matahari. Panasnya berpijar tepat diatas kepala kita. Bukan maksud hatiku untuk melukai dan menyakitimu, tentu saja tiada aku bermaksud begitu. Waktu ini adalah waktu yang tepat. Dan diwaktu ini adalah pilihan bagimu untuk menuju kearah manapun yang engkau inginkan. Barat, timur, utara dan selatan, engkau bebas untuk menentukan pilihan. Tunjuklah sebuah arah, dan akan kuminta matahari untuk ikut serta bersama kita menuju arah yang engkau impi-impikan. Gapai uluran tanganku kekasih, agar langkah kita bisa lebih cepat. Aku tidaklah tergesa-gesa, karena kita akan mendaki dan sampai dipuncak secara bersama-sama. Saat aku mendahului langkahmu, itu semata-mata hanya agar aku memiliki kesempatan untuk mengulurkan tangan dan menarikmu sesegera keluar dari tebing terjal sehingga engkau tidak terjatuh kedalam jurang kegalauan dan lembah suram kemunafikan. Aku akan dapatkan pijakan kali yang aman demi kita berdua berkempatan menghela nafas dan memenuhi kembali ruang kosong untuk segera terisi. Disaat kita telah segaris persis, menyamakan posisi kaki, maka gapailah dahan atau ranting yang tersedia dihadapanmu. Carilah batu yang sekiranya sanggup untuk sementara waktu menopang hatimu dari segala rasa takut. Pijakilah batu itu, agar engkau bersiap melompat ataupun setidaknya bersiap untuk melangkah lebih tinggi. Aku akan berkorban, meskipun itu tanpa sepengetahuan dirimu. Aku akan mundur satu atau dua langkah lebih kebelakang atau dibawahmu. Jangan salah menduga, bukan niat hatiku untuk tak senang berada disisimu selalu. Berdampingan hingga bahu kita saling berdekatan. Sengaja aku mundur menjauh darimu hanya untuk dapat memiliki ruang yang cukup agar aku dapat mendorong dan menopangmu dari belakang. Memberimu semangat dan penghargaan diri karena ayunan langkah maju langkahmu adalah karena usaha dan keberanianmu sendiri. Bukan karena aku dan tak perlulah engkau berterimakasih.

Sekarang engkau telah sampai kekasih, sampailah dipuncak sebagaimana yang engkau harapkan. Hapuslah rasa duka karena pernah merasa kehilangan, hapuskanlah kesedihanmu karena penyesalan dari terlambatnya engkau memaknai kuasa tuhan. Hidup itu kejam, suratan takdir yang digariskan sang pencipta akan selalu mampu mengambil apapun dan siapapun yang engkau cintai. Percayalah bahwa garis langit selalu memberi keadilan. Saat malaikat mengambil cinta yang melahirkan dan membesarkanmu, saat itu juga malaikat memberikan pengganti untuk menjagamu dan semua atas kuasa tuhan, maha pengasih lagi maha penyayang. Tentu malaikat itu bukanlah aku, karena aku hanyalah manusia biasa yang tak bersayap dan tentulah takkan pernah bisa terbang. Rentangkanlah kedua tanganmu, bebaskanlah dan biarkan dosa-dosa kita dimasa lalu ikut terbang terbawa bersama angin. Dosa tidaklah perlu diingat, anggaplah itu hanya sebuah kesalahan. karena tuhan’pun sekiranya telah lupa akan kesalahan kita sebagai manusia. Dia-lah sang maha pencipta, dan tentulah Dia lebih tau perihal kita sebagai hamba-Nya. Nikmatilah saat ini, hiruplah aroma kemenangan yang telah lama kita, atau engkau idam-idamkan. Tiada perlu engkau menengok lagi kebelakang, meskipun jua aku masih tertinggal dibelakangmu. Tengokan kebelakang hanyalah membawa penyesalan akan perbuatan kita dimasa lalu, yang lalu biarlah berlalu dan sudah berlalu. Tataplah lautan dihadapanmu, itulah masa depan. Dan hanya jikalau engkau berkenan, maka tunggulah aku. Sebentar aku akan merayap merangkak naik menyusulmu. Tak perlulah engkau ulurkan tanganmu kepadaku, jika itu engkau merasa keberatan, meskipun juga hal itu sangat aku harapkan. Percaya sajalah bahwa aku sangat mengerti akan keadaanmu sekarang. Saat ini engkau sedang berada dipuncak, dan wajarlah dan wajarlah jikalau engkau mulai terkesima oleh gemerlap air lautan yang berkilauan terpantul cahaya matahari. Engkau mulai berkawan dengan camar-camar putih yang terbang melayang, sesekali menukik kelautan meski hanya pada permukaan namun mudah bagi mereka untuk sekedar mencari makan sesuap ikan segar.

Sepertinya engkau ingin segera berlari, tak sabar hanya cukup memandang lautan dari seberang kejauhan. Kumohon cintaku, tunggulah aku. Tunggulah aku yang sedang lelah dan melemah. Tubuhku terlalu lengket oleh keringat dan darah yang mengering disekujur tubuh. Tunggulah aku sebentar, beri aku waktu untuk sekedar menyeka luka dan darah yang berangsur berubah menjadi nanah. Atau sekedar kukeringkan keringatku yang asin menetes menelusup alis dan bulu mata hingga kurasakan pedih saat menatapmu, menyimpan memori gambar yang terpantul pada sepasang bola mata milikku. Tatapan matamu nampak jauh kedepan. Menatap pasir putih yang berkilau layaknya kemilau berlian di cincin yang menghiasi jari-jemarimu. Liontin yang bergantung diatas dadamu pun ikut berkilau serta, sangat cantik berpadu rangkaian emas memanjang melingkar penghias lehermu yang jenjang putih sewarna pualam wajahmu. Senyummu nampak mengembang, seakan ada lampu menyala tepat diatas kepalamu. Engkau telah berlari menuju hamparan pasir putih. Langkah kakimu semakin cepat, tanpa perdulikan desiran angin laut yang menghambatmu untuk maju kedepan. Jangan sekarang cintaku... aku meneriakimu, dengan lantang berteriak dan memanggil manamu, agar untuk sesaat engkau bersedia menghentikan langkah dan mendengar penjelasanku. Kumohon cintaku, berhentilah sebentar!. Bukan karena aku ingin menghambatmu dalam mengapai mimpi dan harapan di dalam anganmu yang tinggal sejengkal dihadapanmu. Berhentilah dan dengarkan aku, pasir itu nampak berkilau layaknya mutiara karena mereka terdiri dari sekumpulan menyimpan beling-beling kecil yang dapat melukai telapak kaki telanjangmu. Untuk saat ini pasir putih itu tengah membara karena pelan dan perlahan tetapi pasti mereka memendam kemarahan sang raja hari matahari. Dendam dan kebencian mereka tidaklah nampak kasat mata, ibarat api yang menyala didalam sekam. Tenang seakan tanpa gejolak. Tunggulah sebentar digaris batas ini, bersabarlah. Setidaknya sampai panas kemarahan itu terserap dengan sendirinya oleh kelembutan hati sang ibu bumi. Selama engkau sabar menunggu, teruslah pandangi garis cakrawala. Garis itu sebagai pembatas antara khayalan dan kenyataan di horison masa yang akan datang. Sejauh matamu memandang garis itu akan senantiasa nampak, menjaga agar kita tetap tersadar dan mampu membedakan antara lautan dan langit tak bertuan sehingga mereka tidak bercampur antara satu dengan yang lainnya. Namun seakan percuma, engkau tetap berlari dan tiada pernah sejenak untuk memikirkan penjelasan yang berupa kata-kata dari mulutku. Engkau lebih mendengarkan suara-suara asing dari camar putih yang telah kau anggap sebagai kawanmu yang dapat kau percayai. Aku sedih, tentu saja. Camar-camar itu hanyalah bulu-bulunya, sebagaimana kiasan pujangga yang berkata bahwa srigala lapar akan dapat berbulu domba. Mereka jahat dan mereka tiada pernah bertanggung jawab. Bisik rayuannya hanya membiusmu, menyerang syaraf fantasi dan imajinasimu. Hingga sampailah saat engkau lelah, lengah dan melemah dalam mengejar ketidakpastian, mereka akan menertawakan keputusan dan perbuatanmu yang bodoh. Mereka hanya penonton yang bebas berkomentar apa saja. Mereka hanya inginkan hiburan, sehingga apapun yang terjadi pada diri dan kehidupanmu, tetaplah mereka hanya tertawa riang sembari bertepuk tangan.

Kini telapak kakimu terluka. Aku sangatlah tau, bahwa darah adalah ujung dan pangkal ketakutanmu, selain airmata tentunya. Seketika rasa sakitmu menjalar sampai kedada dan akan segera menuju ke kepala. Aku samasekali tiada menyalahkanmu, dan sebaliknya salahkan saja aku yang tiada becus berdaya menjagamu. Kutawarkan padamu pelukan, sebagai obat manjur pereda rasa sakit. Engkau menolakku, engkau menolak pelukan yang kutawarkan. Katamu, pelukan dariku hanyalah kepura-puraan. Tanda ketidaktulusanku dalam mencintai dan menyayangimu. Untuk sejenak, akupun bertanya pada diriku sendiri.

Benarkah bahwa aku tidak mencintainya?

Benarkah hari-hari yang telah kurajut bersama keringat dan darah rasa sakitku, hanyalah sebuah keniscayaan? Mungkin kesalahan terbesarku adalah tidak pernah berpikir bahwa benang emas akan menjadi pakaian kebesaran untuk kita kenakan didalam istana cinta, saat itu kita adalah raja dan ratunya. Bodohnya aku yang terlambat mengerti. Untuk kesekian kali, kembali engkau menanyakan kesungguhan cintaku padamu. Akupun hanya terdiam, bisu tanpa kata. Kini kita telah sampai dibibir pantai. Pasir putih menjadi pijakan kaki telanjang kita berdua. Kembali untuk kesekian kali aku mundur selangkah dari sisimu kekasih. Kuacungkan telunjukku sebagai ganti pena tanpa tinta, hamparan pasir ini adalah kertas putih bagiku. Tanpa kata dan tanpa banyak bicara kumulai menuliskan. Menulis apa saja yang terlintas dibenakku. Mengalirkan suara-suara yang bergema didalam palung pikiranku. Pemikiran dan kata-kata yang kotor terlalu lama mengendap didasar, batas antara jiwa sadar dan jiwa ketidaksadaran. Semua harus mengalir dan terus mengalir demi mencapai keseimbangan. Terus tanpa henti aku alirkan kata-kataku, menulis dengan jemari dan pasir ini sebagai penjara bagi jiwa yang tengah lelah menerka dan mengira-ngira. Engkau boleh membacanya kekasih, dan sesungguhnya tulisan ini hanya teruntuk untukmu seorang. Bagiku inilah perwujudan cinta yang semestinya. Sendirian dan terus kulakukan. Karena aku sadar, bahwa aku bukanlah Baginda Sri Rama raja Ayodyapala yang mampu memberi perintah kepada Bala Wanara untuk menguras lautan dan membangun jembatan menuju Alengka Diraja tempat Dasamuka Rahwana menawan dewi Shinta. Kisah romantisme cinta antara dua manusia yang meskipun jua tiada jelas akhir ceritanya. Tunggulah cintaku, sampai setidaknya aku menyelesaikan tulisanku ini. Semoga tidak sekedar iqra membaca, namun juga pahamilah isinya. Sebelum entah kapan atau secepatnya keesokkan hari air laut pasang dan menghapus semua tulisanku ini. Kekasih, engkau janganlah pergi dulu menuju lautan yang deburan ombaknya memanggil-manggil namamu. Beri aku kesempatan, sebelum engkau teruskan niatmu untuk meminum air laut sebagai penawar dahagamu akan kasih sayang. Jangan cintaku, janganlah terbujuk rayu cinta yang ditawarkan oleh lautan. Lautan cinta itu berbahaya, dalamnya tak terukur oleh angka dan kata-kata, sebagaimana sama halnya dalamnya hati manusia. Ketahuilah, disana dingin dan lembab karena sinar matahari sekalipun takkan sudi singgah untuk sekedar menyapa. Jangan sekali-kali engkau mencoba meminumnya. Sekali engkau meneguk air lautan maka engkau akan senantiasa haus akan pelukan yang berganti-ganti diberikan oleh ombak. Ombak demi ombak itu akan menyeretmu semakin dalam ketengah-tengah pusaran air gelombang badai. Engkau akan tengelam untuk selama-lamanya. Saat itu terjadi, sudah terlambat bagiku untuk mengulurkan tangan ataupun berenang menyelamatkanmu kembali ketepian. Jika engkau benar-benar sangat kehausan sekarang, maka bukalah bekal yang kita atau engkau telah siapkan sedari awal kita memulai perjalanan. Terlihat olehku engkau sejenak berpikir. Engkau terlihat nampak panik, engkau binggung mencari-cari sesuatu. Dengan tersadar engkau memintaku kembali kebelakang, memutar waktu, menyusuri menyusuri setiap jengkal masa lalu untuk mencari-cari seraya ada bagian ingatan yang hilang atau terselip diantara rintik hujan yang sesungguhnya ingin untuk kita lupakan. Baiklah kekasih, akan kulakukan keinginanmu. Aku akan kembali kemasa lalu, untuk mencari sekiranya ada bagian yang tertinggal.

Aku berbalik badan, bersiap untuk berlalu kembali ke masa lalu. Aduh, ada apa ini? Kening kepalaku seakan menghantam dinding nan kokoh. Meski transparan tembus pandang namun dinding ini sekuat baja. Ada permukaan halus yang menjalari telapak tanganku sat kuraba. Dinding ini rata, tanpa gelombang, tanpa celah. Saat kuhela nafas panjang dihadapannya nampaklah embun, kabut uap air. Bukan embun dingin pagi melainkan hangat cenderung panas. Sekuat tenaga aku memukul, menendang dan menghantamkan tubuhku sendiri kedinding itu, dia tiada bergeming, bergetarpun tidak. Aku menjadi kecut, seketika nyaliku berubah ciut. Sejenak aku berpikir, biarlah sekali ini kudengar suara akal yang berbisik. Dinding ini kaca, kaca yang tebal sebagai penghalang agar kita tidak lagi mampu kembali ke masa lalu. Masa lalu dan sekarang hanya terbatasi oleh dinding kaca ini, kita masih mampu melihatnya. Melihat kebelakang sebagaimana ingatan kenangan yang senantiasa melekat didalam sanubari kita. Masa lalu hanya untuk dikenang, tanpa kita bisa merubah setiap potong bagian yang salah dan tanpa kita bisa memperbaikinya lagi. Terlambat... jalan kembali itu telah tertutup. Hanya tersisa kenangan dalam potongan-potongan senyum keindahan yang senantiasa bercampur dengan sedihnya penyesalan dan dendam yang berkepanjangan. Mungkin, terbawa olehmu ataupun olehku sampai dimasa sekarang, hari ini dan saat ini. Namun tidak kekasih, genggam erat jemari tanganku. Mari bersama saling memaafkan diri dan memaafkan kesalahan kita. Kita masih teramat muda, masih panjang jalan untuk kita melangkah. Dihadapan kita samudera membentang, namun bukanlah penghalang. Kita hanya perlu percaya bahwa kekuatan dari sebuah cinta mampu untuk membelah lautan, sehingga kita akan berjalan beriringan sejalan dalam satu tujuan. Selama itu kita tidak akan tengelam, meski bulan purnama akan menarik air laut menjadi pasang. Maka cintaku, kabulkan permintaanku untuk menyembunyikan rasa cemasmu, sebab jika laut berkoar dan langit runtuh, maka kita akan selamat.

Andhoyo Wijaksono

~ruang kesendirian~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun