[caption id="attachment_284859" align="aligncenter" width="300" caption="Film "][/caption] Mungkin terkesan lebay judul tulisan di atas. Tapi saran saya, sehabis membaca ulasan ini....tontonlah film nya, buktikan bahwa saya bukan sedang "bajaga ubek di balai" (artinya: jualan obat di pasar).....istilah ini pun saya dapatkan dari salah satu dialog dalam film ini. Film yang diangkat dari novel karya Haji Abdul Malik Karim Amarullah atau yang lebih kita kenal sebagai salah satu ulama terbaik negeri ini, dengan panggilan yang terkenal Buya Hamka. Novel nya, yang berjudul sama dengan judul film ini, adalah materi bahasan pelajaran sastra, dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia ketika saya duduk di bangku SMP. Film karya sutradara Sunil Soraya sekaligus produser film, menunjukkan kualitas yang Bollywood jika saya belum dapat menyamakan dengan Hollywood. Yaitu mengandalkan keindahan gambar, dialog, hingga alur cerita yang memainkan emosi penonton. Mengambil latar belakang kisah kasih dua insan suku Minangkabau, Zainuddin dan Hayati. Hanya bedanya, Zainuddin (diperankan oleh Herjunot Ali) adalah seorang pemuda yaitim piatu, berayah suku Minangkabau dan ibu berdarah Bugis. Sejak ayahnya meninggal, Zainuddin ikut ibunya pulang kampung ke Makassar, itulah sebabnya selain pandai berbahasa Padang, dalam film ini digambarkan Zainuddin juga mahir berbahasa Makassar. Namun ketika ibunya pun wafat, Zainuddin yang kemudian beranjak remaja, kembali ke kampung halaman ayahnya, dusun (nagari) Batipuh, Padang Panjang, Sumatera Barat. Sementara Hayati (Pevita Pearce), gadis Batipuh, Sumatera Barat, sekampung dengan ayah Zainuddin, berasal dari keluarga asli Minangkabau yang masih memegang teguh adat Minang. Bagi suku Minang, masa itu, tahun 1930-an, garis keturunan itu ditentukan dari pihak Ibu. Bukan dari Ayah sebagaimana lazimnya umat Islam. Karena hal inilah, ketika Zainuddin hendak melamar si cantik Hayati, keluarga Hayati menentang habis-habisan. Alasannya Zainuddin bukan terlahir dari Ibu berdarah Minang, maka ia dianggap tak jelas garis keturunannya. Ia dianggap bukan orang Minang walaupun ayahnya orang Minang tulen. Indak basuku istilahnya dalm film ini. Saya sedikit faham pola pikir seperti ini, karena Maka, sebagai seorang anak dari perempuan berdarah Bugis, Zainuddin, seolah dihukum atas dosa yang tidak dilakukannya. Ia tak boelh menikahi gadis pujaan hatinya. Hayati pun, akhirnya berjodoh dengan Azis (Reza Rahardian) seorang putera orang kaya Padang Panjang, yang bekerja pada perusahaan dagang Belanda. Banyak berkawan dengan orang Belanda, mahir berbahas Belanda, dan bergaya hidup ke Barat-barat an, gemar berjudi, main wanita (dengan bule sekalipun ia kencani), gemar mabuk. Singkat cerita, Zainuddin yang patah hati akhirnya merantau ke Pulau Jawa. Ditemani oleh sahabat setianya Muluk (Randy Nidji), ia pun berkarir sebagai seorang penulis novel yang sukses di Batavia,lalu diangkat sebagai pemimpin sebuah surat kabar "Pewarta Soerabaja" di kota Surabaya, menikmati ketenaran dan kemakmuran namun hidup membujang, karena cinta seumur hidupnya adalah Hayati yang kini telah menjadi istri orang. Kisah pun berbalik, pasangan Azis - Hayati ditakdirkan pindah ke Surabaya, dan akibat Azis bangkrut, mereka pun berbalik terpaksa mengemis belas kasih kepada sesama perantau Minang di Surabaya, yang kini telah menjadi salah seorang jutawan muda yang tenar, Si Puyuh Bugis, Zainuddin yang telah berganti nama menjadi Shabir. Saya tak akan menceritakan semua kisahnya di sini, nanti Anda akan malas menontonnya, meskipun bagi yang telah menamatkan novelnya sekalipun, film ini masih menyimpan kejutan-kejutan di luar yang saya ceritakan di atas. Saya lebih suka mengomentari kualitas film ini. Kalo dibandingkan dengan film-film Indonesia yang sebelumnya menjadi "hits" di bulan Desember 2013 ini, yaitu "Sagarmatha", "99 Cahaya di Langit Eropa" bahkan dibanding film kontroversial "Soekarno".....saya nilai film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ("TKVWD") adalah yang terbaik ! Dari segi apa? 1) Kualitas gambar Setting pemandangan, properti (pakaian, rumah, mobil, delman, sepeda onthel hingga kapal laut) dipilih dari kualitas terbaik, sehingga dapat dikatakan "wah" sekali. Contoh rumah gedong nya Zainuddin di Surabaya, lokasi pacuan kuda di Padang Panjang.....semua nampak bergaya ke Barat-barat an, tampak sekali pengaruh gaya Eropa dalam kehidupan di dalam film tersebut, akibat ketika itu Indonesia masih dalam penjajahan Belanda. Setting film diambil sekitar tahun 1931-1938. Masa Hindia Belanda. Permainan kamera nya pun cermat, menangkap moment-moment penting bahkan, adegan kapal Van Der Wijck berlayar di lautan yang saya tahu betul itu, kapal replika diapungkan di bak di studio, jadi tampak indah dengan baluran sinar matahari senja di Laut Jawa. [caption id="attachment_284862" align="aligncenter" width="300" caption="Detil Setting Properti yang luar biasa (cms.jakartapress.com)"]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI