(Disclaimer: Tulisan ini merupakan analisis dari ust. Agus Tri Sabdono, seorang aktivis politik Islam)
Isu tentang ISIS yang berkembang di tengah-tengah masyarakat seringkali mengalami pasang surut. Pasang surutnya isu ini sangat dipengaruhi dengan institusi pembentuk opini masyarakat, yaitu media massa. Semakin banyak media massa membicarakan ISIS, maka semakin terbentuklah opini tentang ISIS, yang mengikuti arahan si pembuat opini, yaitu media massa. Entah ada unsur kesengajaan atau kebetulan, isu tentang ISIS kadang pasang surut. Motifnya bisa bermacam-macam. Misalnya, sebagai pengalihan isu. Atau juga, memang sengaja di blow-up untuk membentuk opini negatif di tengah-tengah masyarakat tentang Islam 'Radikal'. Tetapi, apa pun itu motifnya, hendaknya kita tetap harus memandang dengan lebih jeli ketika berinteraksi di tengah-tengah masyarakat.
Ketika membicarakan soal ISIS, sebagian pihak justru tertarik untuk membicarakan soal akidahnya (takfiri), tindakan-tindakannya (kekerasan), dan sejenisnya. Padahal, hal tersebut sudah terlalu banyak disinggung di berbagai media. Para ulama sudah memberikan komentar-komentarnya. Ini semua sebenarnya sudah cukup. Padahal, ada hal yang lebih penting untuk dibicarakan daripada sekedar membicarakan soal tindakan-tindakan ISIS, siapa ISIS, dan sebagainya.
Adalah menarik soal pokok pembicaraan tentang ISIS yang disampaikan Juru Bicara HTI Ustadz Ismail Yusanto dalam acara Indonesia Lawyers Club di salah satu TV swasta, 24 Maret 2015. Dalam pernyataannya, Ustadz Ismail menyampaikan beberapa hal penting, yang sebagian disebutnya sebagai ISIS Effect. Di antaranya adalah sebagai berikut.
Pertama, kriminalisasi terhadap simbol-simbol Islam. Misalnya, kriminalisasi bendera Laa ilaaha Illallah. Bendera yang bertuliskan kalimat tauhid itu (bagaimana pun bentuknya) seharusnya membuat seorang muslim bangga. Tetapi saat ini, justru menjadi bendera yang ditakuti oleh banyak orang, karena sering dilekatkan dengan kekerasan yang dibawa oleh ISIS. Padahal, bendera itu adalah bendera berisi kalimat syahadat, yang menjadi keyakinan mendasar seorang muslim.
Kedua, kriminalisasi ide-ide Islam. Misalnya, terkait pemikiran tentang khilafah dan jihad. Dua pemahaman ini (khilafah dan jihad) adalah bagian dari ide-ide islam yang agung. Keduanya bahkan ada dalam kitab-kitab fikih para ulama, dan diajarkan di pesantren-pesantren di Indonesia. Tetapi gara-gara pemberitaan tentang ISIS ini dibesar-besarkan, maka kedua istilah mulia tersebut justru menjadi istilah yang ditakuti masyarakat.
Ketiga, kriminalisasi terhadap dakwah. Misalnya, terkait dengan aktivitas dakwah tentang syariah dan khilafah. Aktivitas ini adalah aktivitas yang baik. Aktivitas dakwah adalah aktivitas yang menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Tetapi karena isu ISIS ini dibolw-up sedemikian rupa, maka orang akan menjadi merasa risih dan memiliki stigma negatif tentang dakwah. Kalau sering ikut pengajian tertentu, atau ikut menyebarkan dakwah tentang wajibnya syariah Islam, nanti dikira ikut ISIS, dan sebagainya. Padahal dakwah itu adalah aktivitas mulia.
Keempat, isu ISIS ini menjadi alat untuk mengundang intervensi asing. Misalnya, mengundang Amerika untuk turut menangani kasus ISIS. Ini justru akan semakin memperkokoh cengkeraman pihak asing atas Indonesia.
Kelima, isu ISIS ini menjadi alat legitimasi security approach keadaan sosial politik dalam negeri, misal revisi UU Ormas, UU Antiterorisme, dan sebagainya. Jika ini terjadi, maka negara justru menciptakan teror bagi rakyat mereka sendiri. Negara akan menjadi negara bertangan besi, yang dengan mudahnya merampas hak masyarakat untuk berbicara menyuarakan kebenaran. Bahkan, bisa jadi ini akan melukai demokrasi itu sendiri, yang selama ini dijunjung tinggi penguasa.
Berdasarkan hal tersebut, maka membesar-besarkan isu ISIS ini adalah sebuah tindakan berbahaya, karena akan menimbulkan ISIS Effect di atas. Secara tidak langsung, memblow-up isu ini secara besar akan menjadikan masyarakat alergi akan Islam, agama yang dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Jika demikian, maka penguasa dan media massa adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas terbentuknya opini negatif atas Islam di tengah-tengah masyarakat.
Selain ISIS Effect di atas, Ustadz Ismail menambahkan hal yang lebih penting daripada sekedar membicarakan soal ISIS. Yaitu tentang neoimperialisme dan neoliberalisme yang saat ini menjangkiti Indonesia. Kedua isu ini telah membuat Indonesia terancam sumber daya alam dan sumber daya manusianya. Inilah yang lebih penting untuk dibicarakan, agar kedua paham ini lenyap dari bumi Indonesia. Sebab, kedua paham inilah yang justru berperan besar dalam penghancuran Indonesia. Bukannya membicarakan ISIS yang justru akan mengkriminalisasi Islam di Indonesia. Meminjam istilah wakil menteri agama Prof Nazaruddin Umar, kita jangan mengharimaukan kucing. Inilah yang lebih penting untuk disampaikan ke masyarakat.