Entah baru sadar atau gimana, BEM Universitas baru-baru ini akhirnya turun ke jalan memrotes kebijakan rezim Jokowi yang dianggap nggak memihak rakyat dan makin menyengsarakan. Secara riil, kita bisa lihat sendiri betapa negeri ini makin rusak, alih-alih membaik, setelah pergantian presiden. Paling parah ya kurs Rupiah terhadap Dollar yang ambruk jadi 13 ribuan per Dollar Amerika. Salah satu yang terburuk sepanjang sejarah Indonesia–dan sialnya ditanggapi santai oleh rezim Jokowi. Sisanya bisa cek sendiri di internet.
Karena kondisi serba amburadul ini, akhirnya BEM pun turun juga. Itu juga, barangkali, setelah diprovokasi dan disindir habis-habisan di media sosial. Dianggapnya mahasiswa itu kerjaannya sekarang cuma syuting acara lawak dan talkshow nggak penting yang diisi perempuan-perempuan bermoral rendah. Dan narsis dengan tongsis, tentu saja. Yang urat malunya belum putus ya pasti kesindir, dan akhirnya turun juga ke jalan. Di Bandung, Bogor, Jakarta, BEM Universitas udah menuntut rezim Jokowi. Entah kalau di Yogya. Sampai-sampai mereka memberi ‘deadline’ pada Jokowi buat menyelesaikan masalah ini sampai seenggaknya 20 Mei, kalau nggak salah. Dikasih SP1 gitu, lah. Kalau nggak, Jokowi bakal diancam bakal diturunkan.
Kedengaran heroik banget, kan? Tapi apa bener begitu?
Kendala terbesar dan sampai sekarang nggak juga terjawab oleh kalangan mahasiswa, khususnya dalam aksi-aksi macam ini, adalah apa yang akan dilakukan kalau misalnya terjadi skenario Jokowi benar-benar turun? Normalnya, wapres yang bakal naik jadi presiden. Apa akan membawa perbedaan? Haluan Jokowi dan JK itu sama. Keduanya sama-sama pengusaha dan sama-sama neoliberal akut. Bahkan beberapa kali JK bikin “ngamuk” umat Islam karena pernyataan-pernyataannya. Jelas, percuma aja.
Menyerahkan mandat pada sosok lain selain wapres? Apa itu dibolehkan dalam konstitusi yang ada sekarang? Kalaulah memang bisa, lantas mau diserahkan pada siapa? Apa yang ditawarkan sosok itu buat bikin perbedaan dari yang sekarang?
Masalah yang sampai detik ini masih belum disadari mainstream mahasiswa adalah perubahan sopir nggak akan banyak berguna kalau kendaraannya masih sama-sama bobrok. Entah udah berapa ribu kali aku bilang soal ini. Meski sopirnya Kimi Raikkonen sekalipun, kalau bawa Bajaj ya nggak ada bedanya. Jalannya gitu-gitu aja. Apa artinya? Ganti rezim nggak akan bawa perubahan apa-apa kecuali sosok pemimpin dan pengusaha yang bermain di belakangnya. Ini negara korporasi, jangan lupa. Pemegang kekuasaan sebenernya bukanlah presiden atau menteri, tapi para pengusaha yang memodali mereka supaya bisa duduk di kursi kekuasaan. Nggak usah heran, praktik begini sangat lumrah terjadi si negara demokrasi. Penguasa adalah pelayan bagi pengusaha, bukan rakyat. Pergantian presiden nggak akan ngaruh apa-apa buat rakyat. Semuanya sama-sama bakalan membentuk rezim sekuler-kapitalis yang terjebak dalam kepentingan para pengusaha multinasional dan terpaksa tunduk pada kepentingan mafia kapitalisme global, Amerika Serikat.
Mengutip ulang pernyataan yang dikutip oleh salah satu guruku, jangan sampai kita memberikan cek gratis pada kaum sekuler lain untuk memimpin negeri ini. Seolah-olah mahasiswa capek-capek aksi, ingin memberikan yang lebih baik untuk rakyat sampai-sampai (dalam skenario terburuk) harus bentrok fisik dengan penguasa, cuma untuk ngasih tiket masuk gratis bagi pemimpin sekuler neoliberal lain buat menduduki jabatan tertinggi negara.
Kalau mahasiswa nggak mau berpikir untuk mengubah sistem secara keseluruhan, maka usaha mereka bakal sia-sia belaka. Keluar dari mulut singa masuk ke mulut buaya. Apa udah lupa kejadian tahun 1998? Ketika mahasiswa turun untuk menumbangkan rezim despotik korup Soeharto dengan harapan akan membawa negeri ini menjadi lebih baik, tapi reformasi ini malah dibajak dan membawa Indonesia jadi negara neoliberal akut. Apa udah lupa juga dengan Arab Spring? Ketika pemimpin mereka yang berganti, yang terjadi cuma rezim tiran sebelumnya diganti rezim tiran yang baru.
Masalah negeri ini adalah masalah sistemik, yang berangkat dari ideologi kapitalisme yang dianut mati-matian. Kalau ingin negeri ini jadi lebih baik, maka ideologi ini WAJIB ditumbangkan, bukan sekadar menumbangkan rezim yang cuma menjalankan sistem. Tumbangkan ideologi kapitalisme, dan tegakkan ideologi Islam dalam naungan Khilafah. Revolusi total, dari ideologi buatan manusia yang cacat dan menjajah menuju ideologi yang berasal dari wahyu Rabb semesta alam, yang akan membawa rahmat bagi semesta alam. Itu satu-satunya cara agar Indonesia bisa lepas dari kerusakan sistemik.
Jangan sampai kita selaku mahasiswa mengulangi kesalahan yang sama, sebab keledai pun nggak terperosok di lubang yang sama dua kali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H