Mohon tunggu...
Andhika Dwijayanto
Andhika Dwijayanto Mohon Tunggu... -

Alumni Teknik Nuklir UGM, staf Departemen Multimedia Komunitas Muda Nuklir Nasional (Kommun). Melanjutkan kehidupan Islam.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Agent of Crap: Rekonsepsi Intelektualitas Mahasiswa Menuju Islam

21 Februari 2015   23:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:45 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh: Andhika Putra Dwijayanto

Entah mengapa, slogan mahasiswa sebagai agent of change and social controlmakin lama makin terdengar memuakkan.

Bukan apa-apa. Slogan-slogan seperti ini sering sekali didengungkan dalam setiap aktivitas kemahasiswaan, tapi sama sekali tidak terlihat memberi efek apa-apa. Kalaupun ada, paling-paling hanya sebagai pembakar semangat temporer dalam acara-acara tertentu, yang kembali padam dan membeku ketika acara itu selesai. Lalu para mahasiswa pun kembali terbenam dalam rutinitas sehari-harinya yang membosankan dan tidak membawa perubahan apa-apa sebagaimana yang didengungkan dalam slogan itu. Mereka kembali berkutat dengan laporan, jurnal, praktikum, dan usaha untuk memperoleh kesuksesan pragmatis demi kebahagiaan semu yang menjadi dambaannya, mengharapkan comfort zone menjadi pelampiasan kelelahannya selama kuliah. Tidak ada bekas dari seruan-seruan agent of changeyang melekat pada diri mereka sama sekali.

Di sisi lain, para penyeru slogan ini pun tidak berbeda jauh kondisinya. Para so-called aktivis mahasiswa masih saja mengalami masalah dengan slogan yang mereka serukan sendiri. Ya, mereka memang barangkali menjadi motor penggerak slogan agent of change and social control. Namun realitanya, mereka bergerak seperti anak ayam kehilangan induk, tidak punya arah dan tujuan yang jelas. Mereka menyikapi berbagai kebijakan dengan gamang dan tidak memiliki standar jelas. Ketika mahasiswa menolak kenaikan harga BBM, misalnya, apa yang jadi landasan mereka? Tidak jauh-jauh dari urusan perut. Apa mereka menolak persoalan sebenarnya dari kenaikan harga BBM? Apa mereka pernah berpikir secara detail teknis mengenai kasus BBM? Justru cukup mengejutkan kalau misalnya aktivis mahasiswa mainstream ini mengatakan ‘Ya’ dan mampu menjelaskan sampai ke akar-akarnya.

Gerak yang tidak terarah, kembali ditunjukkan dengan tidak jelasnya paham yang mereka usung dan cenderung hanya melakukan aktivitas dan menyerukan solusi tambal sulam. Benar, mungkin dalam satu atau dua hal kecil, hal itu bermanfaat. Misal dengan pembangunan desa binaan, yang ditujukan untuk membantu masyarakat kelas bawah yang tidak diperhatikan penguasa. Namun apa itu benar-benar merupakan solusi? Tentu tidak, itu hanya upaya tambal sulam terhadap kebobrokan yang diakibatkan penguasa yang abai dan malas dalam mengatur rakyatnya.

Paham yang diusung malah lebih tidak jelas lagi. Mengkritisi kebijakan penguasa, tapi menggunakan basis pemikiran yang digunakan penguasa dalam membuat kebijakan yang dikritisi itu sendiri. Ironi? Inkonsistensi? Memang lebih nyaman jika disebut bahwa sebagian aktivis mahasiswa ini memang tidak punya landasan pemahaman yang jelas.

Tidak cukup sampai di situ, seringkali apa yang ditentang para mahasiswa ini juga tidak benar-benar menyentuh seluruh persoalan pada masyarakat. Seruan-seruan penolakan terhadap AEC, APEC, ACFTA, dan perjanjian dagang liberal lainnya tidak banyak terdengar, kalau bukan tidak ada sama sekali. Padahal isu ini sangat fundamental dalam keberlangsungan kehidupan masyarakat kecil, yang mana para aktivis mahasiswa ini mengklaim dirinya sendiri sebagai penyambung lidah mereka! Tidak juga terdengar tuntutan-tuntutan sengit untuk mencegah negeri ini diobral ke negara mafia kapitalisme global, yang mana akan makin melebarkan jurang kemiskinan akibat neoliberalisme yang makin merajalela dan menjadikan negara iniCorporate State yang berorientasi bisnis, tidak lagi menjadi pelayan bagi rakyatnya, tapi sebaliknya, menjadi pelayan bagi perusahaan-perusahaan asing dan swasta.

Moral? Apa peduli mereka soal moral? Yang penting urusan perut aman! Dimana pernah terdengar kritik aktivis mahasiswa terhadap pola kehidupan yang sudah sangat bebas melampaui batas dan menggila seperti hewan di hutan rimba? Sangat sedikit, kalaupun ada. Sikap mereka terhadap maraknya seks bebas? Terhadap maraknya aborsi? Terhadap maraknya pelecehan seksual dan pacaran? Minim, kalau bukan nihil. Sekalinya ada, lagi-lagi tidak jelas dan hanya sebatas solusi normatif yang tidak memberi pengaruh banyak. Mudah-mudahan tidak lebih diperburuk dengan justru terlibatnya mereka dalam aktivitas perusakan moral itu.

Perubahan? Perubahan macam apa yang diharapkan? Menginginkan Indonesia yang maju, berdaulat, adil, makmur, bagaimana caranya? Mengawasi kebijakan? Apa hanya sekadar itu? Menuntut mengganti para penguasa dan pemegang kebijakan? Sudah dilakukan berulang kali, tapi apa pernah ada perubahan? Di satu sisi, mereka menuntut sebuah perubahan, tapi di sisi lain, mereka menolak mengubah satu atau beberapa faktor yang dianggapnya ‘hanya salah pelaksanaan’, tanpa mau mengkaji lebih mendalam apa yang sebenarnya menjadi masalah paling mendasar. Para so-called aktivis masih terjebak dalam kejumudan berpikir dogmatis yang dijejalkan sejak SD sampai kuliah.

Ujung-ujungnya, dari dulu sampai sekarang, para so-called aktivis terus menggunakan langkah yang sama, landasan pemikiran yang sama, slogan yang sama, sambil berharap ada hasil yang berbeda dan lebih baik dibanding pendahulunya. Kalaupun ada perbedaan, paling-paling hanya pada aspek minor nan insignifikan. Jadi teringat kata Einstein, “Kegilaan adalah melakukan hal sama berkali-kali dan mengharapkan hasil yang berbeda.”.

Meski mungkin terkesan berlebihan bagi sebagian orang, rasanya lebih cocok menyebut para mahasiswa pragmatis ini bukan sebagai agent of change, tapi agent of crap. Akhirnya, para mahasiswa, yang harusnya menjadi kaum intelektual muda pendorong perubahan, berakhir di lubang pragmatisme kronis dan menjadi kepanjangan tangan bagi kepentingan para mafia kapitalisme global rakus.

Persepsi Dasar

Ir. Haryono Budi Santosa menyatakan persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia adalah orang-orangnya tidak memiliki nilai yang ditanam di dalam dirinya. Di sisi lain, beliau juga menyatakan bahwa kesalahan penerapan nilai-nilai hidup menjadikan banyak orang yang gagal. Sementara itu, dalam buku Nidzham al-Islam, an-Nabhani menyatakan, “Bangkitnya manusia tergantung pada pemikirannya tentang hidup, alam semesta, dan manusia, serta hubungan ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia dan yang ada sesudahnya. Agar manusia mampu bangkit harus ada perubahan mendasar dan menyeluruh terhadap pemikiran manusia dewasa ini, untuk kemudian diganti dengan pemikiran lain. Sebab, pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat mafahim (persepsi) terhadap segala sesuatu.

Hal ini persis sebagaimana apa yang menimpa kaum mahasiswa saat ini. Nilai-nilai, sebagaimana disebutkan Ir. Haryono, akan menjadi motor penggerak sekaligus pengendali tindakan manusia, sesuai dengan nilai apa yang dianutnya. Ketiadaan nilai pasti pada diri seseorang tentu saja akan membuatnya gamang dan seringkali salah menentukan keputusan, karena tidak tahu seperti apa seharusnya bertindak. Bagaimana nilai-nilai hidup yang diadopsi para mahasiswa mainstream? Bukan hal yang mencengangkan kalau hampir semuanya tidak bisa menjawab. Nilai ini berperan sebagai pijakan dasar, yang menjadi landasan tiap tindakan seseorang. Ketiadaan nilai membuat seseorang tidak memiliki pijakan untuk bersikap dan bertindak, sehingga tidak heran jika apa yang dilakukannya tidak benar-benar mengikuti standar tertentu, hanya terbatas pada pragmatisme dan kepentingan sesaat. Akan tetapi, nilai ini bisa saja bersifat sangat umum dan tidak benar-benar menyentuh segala aspek, sehingga boleh jadi seseorang memiliki nilai yang, katakanlah, terpuji secara moral dalam satu aspek, tapi tidak pada aspek yang lainnya. Sehingga, pembahasan mengenai nilai ini harus diperlengkap lagi.

An-Nabhani menjelaskan secara lebih mendalam sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Bahwasanya seseorang akan bangkit atau jatuh bergantung pada persepsinya (mafahim). Keterpurukan mahasiswa dan kegagalannya dalam menjadi intelektual muda dikarenakan persepsinya, pemikirannya terhadap alam semesta, manusia, dan hidup, serta kaitannya satu sama lain dengan apa yang ada sebelum dan sesudahnya, bukan merupakan persepsi yang benar. Padahal persepsi inilah yang akan menentukan perilakunya terhadap kehidupan, menentukan baik-buruk, benar-salah, amanah-khianat, dan sebagainya. Saat para mahasiswa gagal menentukan bagaimana persepsinya terhadap kehidupan, maka bisa dipastikan caranya berpikir dan bertindak pun akan menuju kegagalan.

Jika diamati secara mendalam, persepsi yang menghantam sebagian besar mahasiswa adalah persepsi sekuler, baik dia berstatus sebagai aktivis maupun bukan. Jika dikaitkan dengan penjelasan an-Nabhani, maka mereka mempersepsikan bahwa mereka memiliki keterpisahan antara urusan agama dan urusan kehidupan, menganggapnya dua variabel independen satu sama lain. Akibatnya, pemikiran-pemikiran yang dihasilkan dan tindakan-tindakan yang dilakukan sama sekali tidak melibatkan faktor agama dan hanya melandaskannya pada pemikiran pribadi mereka sebagai manusia. Segenap wahyu yang mewariskan aturan untuk menata kehidupan pun diabaikan, karena dianggap bukan padadomain-nya. Hasilnya, manusia yang terjebak pada persepsi ini akan menjadi orang-orang yang pragmatis dan dikendalikan hawa nafsunya, kalau bukan mengalami kebingungan mendalam akibat gagalnya akal mereka dalam menyikapi masalah-masalah yang ada.

Inilah yang menjadi titik kemunduran intelektualitas mahasiswa. Bagaimana mungkin mereka mampu benar-benar menjadi kaum intelek sementara persepsi mereka terkungkung pada persepsi sekuler, yang mana meniadakan peran aspek agama dalam kehidupan? Padahal agama, dalam hal ini Islam, memiliki segenap perangkat pemikiran yang paling tepat untuk mengatur persoalan kehidupan?

Rekonsepsi Dengan Islam

Sudah mafhum bahwa pemuda idealnya merupakan tonggak kebangkitan suatu kaum. Jiwanya yang mudah terbakar semangat, menggelora, berapi-api, revolusioner, dan semangat juang tinggi, merupakan beberapa faktor mengapa pemuda selalu memegang peran penting dalam kebangkitan. Pada masa lalu, Rasulullah SAW mengerahkan banyak pemuda dalam dakwahnya untuk menyebarkan ide-ide Islam. Dengan itu, dakwah Islam pun tersebar begtu luas dan membawa Islam meraih kekuatan besar di masa itu. Salah satu contoh paling terkenal adalah Mush’ab bin Umair. Pada masa jahiliyah, Mush’ab adalah pemuda kaya nan terkenal di kalangan Quraisy, yang mana para gadis mengejar-ngejarnya sebagaimana para gadis di zaman ini mengejar-ngejar Harry Styles atau Adam Young. Tentu saja bukan tipe pemuda yang mau tahu dan mau berpikir mengenai betapa rusaknya tatanan hidup Quraisy pada saat itu. Namun, ketika Mush’ab masuk Islam, dia—mengutip istilah Nopriadi dalam buku The Model—di-tuning oleh Rasulullah SAW sehingga menjadi pemuda yang peduli akan umat manusia dan menjadikan Islam sebagai landasan tindakannya. Sampai-sampai, hasil tuning Rasulullah ini berbuah pada terbukanya pintu dakwah ke Yatsrib dan masuk Islamnya tiga petinggi Yatsrib, Usaid bin Hudhair, Sa’ad bin Ubadah, dan Sa’ad bin Mu’adz. Islam telah berhasil mentransformasikan Mush’ab dari pemuda perlente yang masa bodoh dengan kerusakan kaumnya menjadi seorang revolusioner peradaban yang rela mengorbankan apa aja demi ridha Tuhannya.

Tidak lupa juga bagaimana kisah kegemilangan Muhammad II, yang kemudian dikenal sebagai Muhammad Al Fatih, Sultan Utsmani yang memenuhi janji Rasulullah akan penaklukkan Konstantinopel. Sejak kecil, ia telah dibentuk untuk memiliki kepribadian Islam, utamanya oleh Syaikh Aaq Syamsuddin. Dengan pembentukan kepribadian Islam seperti itu, Muhammad II tidak kesulitan untuk menentukan sikap dan tindakan, sehingga pada akhirnya keputusan revolusionernya mampu membawa dirinya membuktikan bisyarah akan penaklukkan ibukota terakhir Romawi. Dan Muhammad II melakukannya saat ia masih berusia 23 tahun!

Dua contoh diatas merupakan contoh kecil dari keberhasilan tuning persepsi ala Rasulullah, tuning dengan menanamkan persepsi Islam dalam diri mereka, sehingga setiap perbuatan dan pemikiran mereka selalu dilandaskan pada Islam. Mereka memahami wajibnya mereka tunduk pada syariat, dan karena tahu bahwa itulah yang terbaik untuk umat manusia. Keberhasilan mereka bukan sekadar keberhasilan semu atau perubahan minor, tapi justru membuka perubahan besar pada sejarah.

Begitulah seharusnya seorang mahasiswa, menjadikan persepsi Islam sebagai pijakan bagi pemikiran maupun tindakannya. Menjadikan Islam sebagai motor penggerak sekaligus pengendali setiap perbuatannya. Jika mahasiswa mau mempelajari Islam dengan sabar dan mampu merekonstruksi pemikiran Islam dalam benaknya, tentunya mereka akan menemukan bahwa Islam adalah jawaban sesungguhnya dari persoalan-persoalan yang ada dan arah sesungguhnya dari perubahan.

Pemikiran Islam adalah pemikiran yang integral dan holistik. Integral, karena konsep pemikiran satu dan yang lainnya saling berkaitan satu sama lain, tidak independen. Holistik, karena menyeluruh dan mengakar, tidak ada yang tidak dibahas dalam Islam dan sekalinya dibahas, maka akan dibahas sampai ke detail serinci-rincinya. Konsepsi Islam memiliki keunggulan yang melebihi konsep-konsep sekuler—yang notabene lahir dari persepsi sekuler, berdasarkan akal manusia belaka. Dalam hal konsep pengelolaan SDA, misalnya, Islam mewajibkan negara menguasai SDA yang jumlahnya berlimpah di alam yang memegang hajat hidup orang banyak dan dikelola demi kemaslahatan umat. Swasta tidak diperbolehkan untuk menguasainya sama sekali. Secara strategis, tentu saja ini merupakan sebuah keunggulan, mengingat dengan dikelolanya SDA berlimpah oleh negara, tidak ada kemungkinan liberalisasi yang mengakibatkan terhambatnya rakyat menikmati SDA tersebut.

Di sisi lain, dalam sistem pergaulan, Islam menerapkan konsep pemisahan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan, selain untuk keperluan yang diperbolehkan syara’. Keduanya tidak boleh berinteraksi jika memang tidak ada keperluan yang dibenarkan. Hal ini tentunya menjadi pijakan penting untuk menghilangkan pergaulan bebas. Dengan menutup peluang terjadinya pergaulan bebas, maka efek kolateralnya yang penuh dengan multi-level kemaksiatan pun akan tertutup pula.

Ini hanya sedikit dan masih sangat mampu didetailkan secara kompleks dan rinci dari sekian banyak konsep Islam yang mumpuni, yang tentunya sudah harus diambil oleh para intelektual abad ini. Namun, konsep-konsep ini tentunya tidak mungkin diambil oleh orang-orang yang memiliki persepsi sekuler, intelektualitas yang dibangun dari intelektualitas berbasis pemisahan agama dari kehidupan. Hanya seorang muslim yang mengadopsi persepsi Islami saja, yang kepribadiannya telah di-tuning dengan kepribadian Islam, yang mau dan mampu mengadopsi konsep-konsep ini. Hal ini sebuah keniscayaan, sebab mana mungkin orang yang memisahkan agama dari kehidupan mau melibatkan Islam dalam kepentingan masyarakat luas?

Seharusnya mahasiswa, sebagai calon intelektual muda, dibangun intelektualitasnya dengan tuning persepsi Islam dan membentuk kepribadian Islam dalam dirinya. Sehingga, para mahasiswa mampu menjadi seorang intelektual yang bisa berpikir di luar kotak, di luar kungkungan pemikiran sekuler abad ini, serta dapat berpikir dan bertindak sebagaimana Islam mensyaratkan. Hanya dengan ini, mahasiswa akan menjadi intelektual sejati yang mampu menjadi agent of change and social controlsungguhan, yang memiliki pijakan kuat dan mutlak dalam berpikir dan bersikap. Bukan menjadi agent of crap yang terjebak pada pemikiran jumud dan bingung, yang alih-alih memberikan solusi sebagaimana idealnya seorang intelektual, malah memperrumit persoalan yang ada. []

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun